Jumat, Oktober 11, 2024

Saat Demokrasi Membuai: Sayap Kanan dan Sayap Kiri Melebur

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

Dua tahun silam saya pernah menulis sebuah catatan pendek di laman Facebook. Catatan pendek itu terinspirasi dari diskusi alot dengan salah seorang pelajar Rusia di salah satu perguruan tinggi Taiwan. Mulanya kami diskusi budaya, politik hingga akhirnya menyerempet ke kondisi demokrasi di negara kami masing-masing.

Catatan itu, saya kira, masih relevan di tengah-tengah perbincangan demokrasi Indonesia pasca-pemilu belakangan ini. Ada yang bilang kalau “demokrasi makin meningkat” di bawah pemerintahan hari ini. Di pojokan lainnya, seseorang berseloroh “demokrasi telah mati” di bawah kepemimpinan sekarang ini. Setiap orang bebas berpendapat dan menyuarakan pandangannya soal demokrasi Indonesia hari ini.

Saya ingat, pada hari itu, saya sungguh antusias menjelaskan gambaran demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan presiden-presiden yang berkuasa. Di tengah diskusi, saya bertanya: apakah Rusia adalah negara demokrasi? Apakah Rusia demokratis?

Pelajar Rusia itu lalu memberi pernyataan dengan melabeli Rusia sebagai pemerintahan yang “otoriter.” Hampir separuh anak-anak muda Rusia tidak suka dengan pemerintahan Rusia sekarang ini. Ia juga sepakat dengan beberapa pakar yang menyebut rezim Rusia adalah “rezim hibrid,” mengekang kebebasan sipil, dan nondemokratis. Rusia yang lambat-laun mulai tergelincir ke arah totalitarianisme di bawah kepemimpinan Vladimir Putin.

Ia menegaskan salah satu ciri demokrasi adalah pers yang bebas. Akan tetapi, pemerintah Putin telah memerintahkan pers dengan menolak lisensi siaran, memaksa perusahaan agar tunduk kepada negara. Pers yang tidak sejalan dengan pemerintah akan dibredel, menangkap wartawan dan kadang-kadang membunuh mereka. Selain itu, nasionalisme Rusia menjadi luas, rakyat Rusia melihat ide-ide Barat (termasuk demokrasi) sebagai alien dan mengancam.

Saya lalu berkesimpulan: problem demokrasi yang rumit itu tidak hanya terjadi di Rusia saja. Tetapi, menjadi problem besar oleh setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, aspek kebebasan sipil menurun, disebabkan meningkatnya hambatan kebebasan berkumpul, berserikat, dan diskriminasi. Munculnya ketakutan masyarakat terhadap penangkapan semena-mena oleh penegak hukum. Munculnya rasa takut masyarakat saat berbicara tentang politik, baik di ruang publik ataupun di media sosial.

Dari perkara yang sederhana hingga perkara yang paling krusial sekalipun. Demokrasi telah mempengaruhi segala lini kehidupan. Hal ini merupakan tantangan bagi setiap negara yang turut mengadopsi konsep demokrasi dalam siklus kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata demokrasi tampaknya—entah bagaimana—identik dengan kebebasan. Demokrasi tidak berarti kebebasan, tetapi dalam beberapa skenario itu bisa menjadi sebaliknya.

Demokrasi berarti bahwa seseorang akan diberikan hak untuk memilih atau mencalonkan diri untuk sebuah jabatan. Sebagai gantinya, ia akan diharapkan untuk mematuhi kehendak mayoritas. Sekarang, di sebuah negara di mana Anda adalah minoritas dan kepercayaan Anda, nilai-nilai dan pendapat Anda ditekan, itu sangat bertentangan dengan kebebasan.

Selain itu, kelompok-kelompok kecil kadang paling rentan, juga paling sedikit terwakili. Meski kadang mereka berhasil mendapatkan sekutu dari mayoritas, ujungnya tidak selalu demikian. Di negara yang demokratis, sentralisasi kekuasaan pemerintah yang cenderung mengarah ke tirani.

Lihatlah negara-negara yang telah memusatkan pemerintahan di abad ke-20, seperti Jerman, Rusia, Cina, Korea Utara, dan negara-negara lain yang pernah mengadopsi kekuasaan tirani tersebut. Apa yang terjadi? Kekuasaan tirani melahirkan kerusakan sistemik sosial-politik. Kekuasaan tirani sejatinya tidak akan hidup dan bertahan untuk waktu yang lama. Ia akan selalu menemui takdir dan kejatuhannya.

Keyakinan Ilusi

Keyakinan bahwa memilih berarti memberikan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat tetap dipegang secara luas. Keyakinan ilusi ini menciptakan situasi di mana perbedaan antara penguasa dan yang diperintah menjadi kabur. Ilusi bahkan muncul bahwa perbedaan tidak lagi ada: bahwa dalam pemerintahan yang demokratis tidak ada yang diperintah oleh siapa pun, kecuali semua orang malah mengatur dirinya sendiri.

Perlawanan terhadap pemerintah secara sistematis melemah. Ini memberikan kesempatan kepada orang-orang di puncak hierarki politik untuk mengambil lebih banyak posisi dalam kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk polisi, media, pengacara, hakim, jurnalis, dan lainnya.

Awalnya negara Anda memiliki satu set partai Sayap Kiri dan partai Sayap Kanan. Kedua set bergantung pada pemodal “superkaya” untuk dana akomodasi partai. Partai-partai Sayap Kanan probisnis dan partai-partai Sayap Kiri adalah kelas proburuh (setidaknya secara teori), tetapi kaum Kiri harus menarik keseimbangan antara kelas pekerja dan bisnis besar (pemodal/investor). Sebab, sama seperti saingan mereka, mereka juga bergantung pada orang-orang kaya untuk mendanai kampanye pemilihan mereka. Keduanya membutuhkan dana dari para pemodal.

Seiring berjalannya waktu, perbedaan antara Sayap Kanan dan Sayap Kiri menjadi kabur dan keduanya bergabung menjadi sebuah pusat yang sangat probisnis. Partai-partai Sayap Kiri masih “liberal secara sosial”, tetapi secara ekonomi mereka tidak berbeda dari Sayap Kanan. Pusat yang baru dibentuk ini mengejar kebijakan yang menguntungkan “superkaya”, tetapi menyebabkan masalah seperti pengangguran, privatisasi, kehilangan tunjangan, penurunan upah, penyalahgunaan hak-hak buruh, inflasi dan stagnasi ekonomi untuk yang lain.

Karena faktor-faktor yang disebutkan di atas, pemilih perlahan-lahan mulai condong ke partai-partai Sayap Kanan. Partai-partai Sayap Kanan menyalahkan minoritas dan imigran atas kemerosotan ekonomi. Mereka menjanjikan beberapa reformasi, tetapi sejauh menyangkut ekonomi, mereka juga prokaya. Sama seperti saingan sentris mereka—mereka juga bergantung pada bisnis besar untuk mendanai kegiatan dan kampanye pemilihan mereka.

Pemilihan juga sebagian besar diadakan sebagai kontes popularitas, bukan wawancara kerja. Orang yang paling populer hampir tidak akan pernah menjadi yang paling mampu, atau paling berkualitas, atau pilihan terbaik. Warga negara tidak diberikan CV lengkap politisi mereka untuk pemilihan. Media melakukan wawancara sebagian besar menanyakan tentang skandal atau posisi kebijakan, tetapi tidak pernah bertanya: mengapa kebijakan itu dianggap lebih tinggi atau lebih rendah sehingga sebagian besar hanya platform janji-janji kosong, basa-basi, dan serangan terhadap oposisi.

Selanjutnya, tentang masalah janji. Beberapa di antaranya adalah kebohongan yang disengaja, tetapi yang lebih penting adalah kenyataan bahwa sering kali, baik politisi yang membuat janji, maupun rakyat, tidak tahu apakah politisi itu akan memiliki kekuatan untuk melaksanakan janji tersebut.

Masalah lain demokrasi saat ini adalah ia tidak murni sebagai semacam metode untuk membuat keputusan. Sebaliknya, demokrasi terkait dengan kebebasan, keadilan, hak asasi manusia, dan segala macam nilai. Tetapi, nilai adalah sesuatu yang dikonstruksikan secara sosial. Artinya, tidak semua orang memiliki nilai yang sama, beberapa nilai yang paling kita hargai bahkan tidak dapat diterima oleh orang lain.

Jadi, masalahnya: karena semakin banyak negara menerapkan pengaturan politik demokrasi (tidak peduli dengan reformasi atau revolusi), nilai-nilai ini juga dipromosikan sebagai semacam program paket dan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini.

Pada titik ini, demokrasi lebih baik daripada yang lain, tetapi tidak ada negara yang menemukan sistem yang akan membuatnya berfungsi dengan sempurna. Memutuskan sesuatu dengan “suara” sering kali tidak sepenuhnya masuk akal. Banyak keputusan lebih baik dibuat oleh para pakar: ilmuwan, cendekiawan, dokter, ekonom, sosiolog, dan sebagainya.

Pakar yang baik dapat menolak untuk berpartisipasi dalam proses politi, tetapi pendapat mereka juga dapat ditolak oleh massa yang tidak berpendidikan, karena menurut mereka itu tidak logis atau menyinggung.

Beberapa negara tidak menyukai kata “demokrasi” bukan karena kelemahan dari pengaturan kelembagaan yang demokratis, tetapi juga karena mereka tidak menyukai nilai-nilai yang dikombinasikan dengan demokrasi. Demokrasi tidak disesuaikan dengan peradaban bangsa yang hidup di suatu negara. Demokrasi berarti Anda harus mengubah masyarakat Anda menjadi masyarakat “Barat”.

Jadi, hasil akhir dari demokrasi adalah stagnasi ekonomi yang menghasilkan kemenangan dan pengambil-alihan pemilu oleh Sayap Kanan. Kita bisa melihat ini terjadi di Eropa dan beberapa negara demokrasi Asia, yang mana neoliberalisme memicu munculnya partai-partai dan pemimpin politik Sayap Kanan. Sayangnya, banyak orang telah dicuci otaknya untuk berpikir bahwa demokrasi adalah sistem yang sempurna, dan itu adalah hasil akhir dari pemikiran rasional manusia dan tidak serta-merta disalahkan.

Konten terkait

Makar dan Senyum Presiden

Oligarki, Yang Disayang Yang Ditentang

Oligarki, Politik Populisme, dan Orang Baik

Pilpres 2019: Geliat Oligarki dalam Pesta Demokrasi

“Kadeudeh” Oligarki dan Kapitalisme dalam Demokrasi Politik Pilkada

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.