Saya mengenalnya sejak tahun 1990. Saya sendiri baru sadar bahwa itu waktu yang lama sekali. Saat itu saya sedang mengerjakan skripsi S1 tentang jendral-jendral yang tidak puas dengan Suharto.
Para jendral itu (dari berbagai angkatan dan kepolisian) bergabung dengan koalisi longgar yang bernama “Kelompok Petisi 50.” Mereka seusia dengan Suharto. Mereka juga angkatan 45. Itulah sebabnya mereka melakukan, dalam istilah saya, “oposisi dari atas.”
Saya membutuhkan perspektif lain untuk memahami para jendral ini. Pada saat itulah, seorang anggota Petisi 50, Chris Siner Keytimu, menyebut nama Rahman Tolleng.
Sebenarnya, saya sudah pernah mendengar namanya. Saya membacanya dalam buku François Raillon, seorang akademisi Perancis yang menulis buku “Les Etudiants Indonesiens et L’Ordre Nouveau,” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia.”
Buku Raillon tersebut mengulas tentang sebuah koran yang terbit di Bandung, “Mahasiswa Indonesia.” Ini adalah koran mahasiswa namun mampu bertiras puluhan ribu dan dibaca di berbagai kota.
Pada awalnya, koran ini mendukung Orde Baru. Dia memberikan landasan intelektual untuk Orde Baru. Namun tidak begitu lama, kelihatan bahwa Mahasiswa Indonesia (MI) dan Orde Baru harus berpisah jalan. Koran ini pun dibredel oleh Suharto pada tahun 1974, mengikuti peristiwa Malari.
Ide dan cita-cita dari MI dari sejak awal sudah nampak, yaitu tidak akan pernah segaris dengan Orde Baru. Makin lama koran ini semakin kritis terhadap Orde Baru. Ia menyoroti korupsi dan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh Orde Baru. Juga bagaimana Orde Baru mengkhianati cita-cita awalnya.
Rahman Tolleng adalah salah satu pendiri MI. Dia adalah tokoh yang sangat terlibat dalam proses-proses awal Orde Baru. Dia berkawan dengan hampir semua orang yang kemudian diidentifikasikan sebagai Angkatan 66: Soe Hok Gie, Wiratmo Sukito, Liem Bian Koen (Jusuf Wanandi), Liem Bien Kie (Sofjan Wanandi), Cosmas Batubara, Arief Budiman, Aristides Katoppo, dan lain sebagainya.
Dia memulai aktivismenya di Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis) pada tahun 1950an. Saat itu, dia adalah mahasiswa ITB di jurusan Apoteker. Namun sekolahnya tidak diluluskan.
Gemsos adalah organisasi yang berafiliasi kepada Partai Sosialis Indonesia (PSI), partai yang didirikan oleh Perdana Menteri RI pertama, Sutan Sjahrir. Karena PSI menjadi partai yang dilarang oleh Sukarno, maka semua aktivitas Gemsos pada masa itu dilakukan dibawah tanah.
Rahman Tolleng juga sangat terlibat dalam meruntuhkan Sukarno. Tidak heran, ketika masa-masa awal Orde Baru, dia juga aktif merumuskan apa yang harus dicapai oleh Orde Baru. Semua ide itu dituangkan didalam Mahasiswa Indonesia, yang ideologinya ditulis dengan sangat bagus oleh Raillon.
Para mahasiswa yang mendukung Orde Baru punya pengalaman pahit dengan partai-partai politik. Pada umumnya mereka sangat anti dengan partai. Itulah sebabnya Rahman Tolleng pun ikut mendirikan Golkar (Golongan Karya).
Dia juga sempat menjadi anggota DPR dari Golkar. Dia juga ikut mendirikan koran Golkar, Suara Karya, dan sempat menjadi pemimpin redaksinya. Disamping sempat menjadi Sekjen HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia).
Namun, semua karir politiknya tamat pada tahun 1974. Dia dituduh terlibat dalam Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Dalam peristiwa itu, mahasiswa berdemonstrasi menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.
Namun demo itu berubah menjadi kekerasan rasial. Kemudian baru diketahui bahwa Malari adalah akibat dari pertarungan dua jendralnya Suharto, Jendral Soemitro dan Ali Moertopo. Rahman Tolleng ditahan selama 16 bulan tanpa diadili. Karir politiknya habis. Semua jabatannya di Golkar juga dibabat.
Ketika saya menemuinya pada tahun 1990, dia menjadi direktur dari PT Pustaka Utama Graffiti. Ini adalah perusahan penerbitan yang satu perusahan dengan Majalah Tempo. Penerbit ini banyak menerbitkan buku-buku bagus.
Seingat saya, Rahman Tolleng juga membantu saya menghubungkan dengan beberapa narasumber. Jaringannya di kalangan para elit Indonesia sangat luas.
Dia biasa berdiskusi. Terlihat bahwa dia pengkonsumsi berat berbagai macam buku politik. Dia juga membaca semua buku yang terbit tentang Indonesia. Jadi, selain interview, saya juga sering diajak berdiskusi. Tentu, disela-selanya, dia senantiasa bertanya, “You sudah makan?” Dia selalu menyapa saya dengan kata bahasa Inggris itu.
Dia adalah tokoh legendaris yang dikenal hampir semua lapisan elit politik Indonesia. Bersama Marsilam Simanjuntak, Gus Dur, dan beberapa tokoh lainnya, dia mendirikan Forum Demokrasi. Rahman Tolleng jarang mau muncul ke permukaan. Namun, secara diam-diam dia merumuskan banyak idenya dan menerjemahkannya ke dalam gerakan. Orang lain yang akan muncul ke permukaan.
Dia juga tidak pernah berhenti. Saya tahu dia masih “membina” anak-anak muda. Dengan demikian dia masih menancapkan pengaruhnya di dalam politik Indonesia.
Setelah Suharto tumbang, saya pergi dari tanah air. Saya tidak banyak berhubungan dengan dia. Hanya kadang-kadang kami berhubungan lewat email. Kadang dia mengomentari apa yang saya tulis. Ini menyenangkan untuk saya. Bagaimana pun juga dia memperhatikan tulisan-tulisan di IndoProgress, tempat dimana saya biasa menulis. Sesekali dia mengutarakan ketidaksetujuannya.
Terakhir, saya berkomunikasi lewat email dengannya pada 2016. Ketika itu saya sedang menyiapkan naskah tentang Pater Beek dan gerakan Khasebulnya.
Saya bertanya, apakah dia tahu ada kader dari Beek yang disusupkan ke dalam Sekretariat PKI dan bekerja dibawah Sudisman. Saya mendapat informasi itu dari buku memoarnya Jusuf Wanandi.
Dia mengakui dia membaca memoar itu tapi tidak menyadari ada informasi soal penyusupan itu. Wanandi menulis bahwa kader itu adalah bekas CGMI, lulusan dari Universitas Gadjah Mada. Dia menyuruh saya untuk menghubungi Tan Swie Ling, bekas sekretaris Sudisman.
Saya menghubungi Tan Swie Ling. Sayang sekali, dia pun tidak tahu siapa orang ini. (Tan Swie Ling meninggal minggu yang lalu).
Rahman Tolleng adalah sumber yang baik untuk mengerti politik Indonesia. Dia tahu persis labirin politik Jakarta. Dia tahu semua pemainnya. Analisanya tajam dan bernas. Dia juga kawan yang asyik untuk mengobrol. Ketika masih sehat dia akan minum bercangkir-cangkir kopi dan menghisap rokok tanpa berhenti.
Pada 2015 dia terkena serangan jantung. Beberapa hari lalu, saya mendengar berita dia meninggal dunia. Ditengah berita sedih itu, saya ingat satu pertanyaan dalam email terakhir saya padanya. Pertanyaan saya itu tidak pernah dia jawab.
“PS. Oh ya, apakah Pak Rahman tidak mau membikin memoar? Atau sudah terbit?”
Selamat jalan Pak Rahman!