Puasa memaksa kita duduk tafakur, meninggikan Allah SWT, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Namun jauh sebelum semuanya teraktualkan dalam tindakan hidup keseharian di bulan suci ini, kita malah lebih gemar menyalakan hasrat tubuh ketimbang mengendalikannya—untuk tidak mengatakan memadamkannya secara total.
Demikianlah kita pada umumnya menjalankan puasa di tengah budaya konsumerisme yang mengepung kesadaran kita. Kita hanyut tenggelam dalam lautan hidup konsumtif, serba materi, yang sebetulnya adalah glorifikasi atas nafsu dan kultus atas tubuh. Sementara yang ruhani, yang merupakan sisi lain, dan inti dari manusia, acapkali terabaikan, bahkan sengaja diabaikan.
Memang, spiritualitas masyarakat di bulan mulia ini mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Itu ditandai dengan meningkatnya gairah mereka melaksanakan solat tarawih berjama’ah di masjid-masjid, tadarus al Qur’an, atau duduk tafakur merapal doa-doa. Namun di saat yang bersamaan, nafsu berburu materi juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Lihatlah bagaimana cara mereka mencari takjil (menu buka puasa) atau perilaku konsumtif mereka saat menjajaki mal-mal dan pasar-pasar aneka makanan. Semuanya memperlihatkan gaya hidup konsumerisme yang massif. Pengeluaran di bulan ini hampir dipastikan bertambah, dua sampai tiga kali lipat. Padahal semangat puasa adalah pengendalian diri, kepekaan sosial, bukan sekali-kali untuk berlomba memenuhi hasrat tubuh.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme diartikan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang sebagai ukuran kebahagiaan dan kesenangan semata. Hingga pada akhirnya, membeli bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan melainkan demi gaya hidup (life style), kemewahan, kebanggaan, atau menunjukkan status sosial.
Di hari pertama, bahkan beberapa minggu sebelum Ramadhan itu tiba, iklan-iklan produk konsumtif melalui tayangan televisi menjejali kita. Mulai dari bangun tidur sampai mau kembali tidur lagi. Masyarakat secara massif terus-menerus digempur oleh iklan-iklan yang membius, lagi menggiurkan. Hingga yang terjadi adalah hilangnya kesadaran akan hakikat dari kebutuhan. Masyarakat kebanyakan nyaris tidak lagi membedakan mana kebutuhan primer, dan mana keinginan yang disulut nafsu belaka.
Psikolog kenamaan Abraham Maslow menjelaskan, manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat-tingkat. Yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik. Selanjutnya, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, kata Abraham Maslow, manusia akan mengusahakannya dengan kegiatan konsumsi.
Di penghujung bulan mulia ini, biasanya perhatian masyarakat diarahkan pada baju baru dan kue lebaran. Sehingga yang terjadi adalah mal-mal, pasar, dan toko (baju atau kue) penuh sesak. Kaum ibu datang memadati. Tak ketinggalan para remaja dan ABG ikut nimbrung meramaikan semangat konsumtif yang sudah menggejala dari tahun ke tahun.
Maka dengan meningkatnya budaya konsumerisme di bulan suci ini, kian menggambarkan betapa puasa kehilangan makna hakikinya. Ramadhan dikapitalisasi sedemikian rupa untuk menjauhkan—setidaknya melenakan—masyarakat dari pesan-pesan substansial yang diajarkan agama melalui puasa: kesederhanaan, empati, kepekaan sosial, keluhuran budi, kemanusiaan dan spiritualitas.
Semoga di bulan ini, kita tidak tergolong manusia yang mengedepankan urusan tubuh ketibang mengurusi urusan ruhani. Jangan sampai puasa yang kita jalani ini hanya sekedar seremonial amal yang berlalu tanpa pesan dan kesan yang tertinggal dalam diri. Jika demikian maka menjadi manusia yang takwa hanya akan menjadi sekedar cita-cita, semoga saja itu salah.
Ada baiknya mengakhiri tulisan ini, saya kutipkan bait syair dari mistikus Islam Jalaluddin Rumi: “Jauhkanlah dari makanan tubuh karena hidangan ruhani telah tersedia”. Selamat menunaikan ibadah puasa!