Calon presiden penantang petahana Prabowo Subianto kerap dicitrakan mewakili sisa-sisa Orde Baru. Ia dituding akan mengembalikan gaya pemerintahan Orde Baru. Pertanyaannya, benarkah itu yang diinginkan Prabowo? Mungkinkah itu dilakukan?
Pernyataan “kembali ke zaman Orde Baru” bersumber dari pernyataan mantan istri Prabowo, Titiek Soeharto, yang kini menjadi politikus partai pendukung Prabowo. Isi pernyataan Titiek sebenarnya adalah bahwa masa pemerintahan bapaknya lebih baik dari sekarang. Ia menjanjikan bahwa kalau Prabowo berkuasa dia akan sanggup membawa Indonesia makmur kembali seperti zaman Soeharto dulu.
Bagi barisan pendukung Jokowi, pernyataan itu memiliki makna yang berbeda. Orde Baru bagi mereka adalah rezim yang korup dan bengis. Mereka mengampanyekan kalau Prabowo menang, negara ini akan dibawa kembali ke sistem pemerintahan yang korup dan bengis itu.
Bagaimanakah situasi di zaman Orde Baru? Soeharto adalah pusat kekuasaan. Secara tak resmi ia memegang semua jenis kekuasaan. Selain merupakan pucuk pimpinan eksekutif, ia memegang kendali secara mutlak terhadap legislatif, yudikatif, dan militer. Jajaran eksekutif tunduk secara penuh kepada Soeharto. Pimpinan daerah tidak punya otonomi. Yang bisa menjadi kepala daerah hanyalah orang-orang yang sudah teruji kesetiaannya kepada Soeharto. Organisasi kepolisian dan tentara menjepit kepala daerah dari kedua sisi, menjadi semacam kunci ganda yang memastikan loyalitas terhadap Soeharto.
Dalam hal kekuasaan legislatif, Soeharto mengendalikan partai-partai politik. Golkar diberikan berbagai fasilitas untuk selalu besar dan menang pemilu. Dana dalam jumlah tak terbatas serta sistem pemerintahan bekerja untuk memenangkan Golkar. Partai lain yaitu PPP dan PDI hanya diberi sedikit ruang untuk hidup. Itu pun dikendalikan oleh Soeharto. Siapa yang menjadi ketua partai harus mendapat restu. Yang tidak mendapat restu
akan terjungkal. Dengan cara itu Soeharto memastikan kendali atas DPR. Itu pun belum cukup. Ia juga memastikan 100 kursi di DPR untuk perwakilan ABRI yang juga ia kendalikan.
Seluruh perangkat penegak hukum dikendalikan oleh Soeharto. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, hingga Mahkamah Agung. Bila ada kejahatan yang melibatkan kroni Soeharto, kepolisian bergerak menutupinya, sehingga tidak sampai ke proses pengadilan. Bila diperlukan, tentara memberi dukungan penuh. Tentu saja media tak berani memberitakannya. Bila ada yang nekat, medianya akan ditutup, atau wartawannya akan dibunuh.
Benarkah Prabowo menginginkan itu semua kembali? Benarkah ia akan menjalankan sistem pemerintahan seperti itu? Tidak. Prabowo tidak pernah membuat pernyataan yang bisa dimaknai bahwa ia menginginkan pemerintahan yang seperti itu. Ia menginginkan demokrasi, penegakan hukum, pemerintah daerah yang punya otonomi, media yang bebas, dan sebagainya. Itu yang ia sampaikan dalam pernyataan visi dan misinya, juga dalam kampanyenya.
Lalu apa dasar untuk menuduh Prabowo begitu, selain atas dasar pernyataan Titiek tadi? Dasarnya adalah fakta bahwa Prabowo adalah bekas menantu Soeharto. Ia adalah jenderal militer di zaman Orde Baru. Kalau itu dasarnya, orang-orang yang sekarang ikut menjadi tulang punggung pemerintahan Jokowi seperti Wiranto, Luhut, Ryanmizard, juga sama. Mereka juga produk Orde Baru dan kini berada di pusat pemerintahan.
Pertanyaan yang lebih mendasar adalah, bisakah Prabowo memerintah secara otoriter kalau ia terpilih jadi presiden? Tidak. Soeharto membangun kekuasaan mutlaknya tidak dalam sekejap. Ia memulainya dari kekacauan pasca 1965, kemudian secara bertahap menggunakan kekuatan militer yang secara penuh mendukungnya. Di tubuh militer pun orang-orang yang tidak sejalan dengan Soeharto disingkirkan.
Siapa pun yang jadi presiden sekarang tidak akan bisa mengendalikan militer secara penuh. Kendali presiden terhadap TNI berada dalam pengawasan DPR dan diatur ketat oleh UU. Di samping itu militer juga sudah punya wilayah kekuasaan yang tidak dengan mudah mereka serahkan untuk dikendalikan seseorang.
Dalam hal legislatif, Prabowo hanya bisa mengendalikan 10-15% anggota DPR dari partainya. Dengan koalisi pun maksimal ia bisa menguasai 50-60%. Itu pun bukan koalisi yang solid. Setiap keinginan harus dibayar dengan ongkos besar, pembagian porsi kekuasaan. Prabowo harus membagi kekuasaan dengan cara pencet balon, pencet di sini akan membuat bagian sana menonjol.
Sementara itu kepala daerah berasal dari beragam partai, dan punya kekuasaan otonom. Tidak akan ada yang sanggup mengendalikan kepala daerah untuk berada di bawah satu komando. Belum lagi media yang sama sekali tidak bisa dikendalikan. Media sosial khususnya, mustahil dikendalikan. Dengan media sosial setiap orang menjadi wartawan sekaligus penerbit. Untuk mengendalikannya pemerintah harus mengendalikan jari ratusan juta manusia. Mustahil.
Yang paling mungkin terjadi adalah perubahan gaya kepemimpinan. Prabowo adalah orang yang cenderung emosional, yang gampang berkata berbasis emosi. Berbeda dari Jokowi yang serbatertata, sampai sulit ditebak apa yang sebenarnya dalam pikirannya. Dalam hal ini sebenarnya Jokowi justru jauh lebih mirip dengan Soeharto ketimbang Prabowo.
Intinya, mengatakan bahwa Prabowo akan membawa kembali zaman Orde Baru adalah pernyataan tanpa dasar. Itu lebih merupakan ungkapan kampanye negatif saja.