Saya bukan pakar politik, nyaris tidak pernah menulis tema politik, dan kalaupun menulis politik biasanya saya lebih suka mengulas kelakuan para suporter politik daripada tokoh-tokohnya hehehe. Namun, hari ini saya teringat Anies Baswedan.
Meski jutaan pasang mata sekarang sedang terfokus kepada kedua paslon capres-cawapres, juga kepada Ustaz, eh, Syekh Abdul Somad dan masa depan hubungannya dengan alumni 212, tidak selayaknya kita melupakan Anies Baswedan. Bagi banyak orang, Anies adalah harapan terbesar mereka.
Benar, menjelang penentuan pasangan capres-cawapres tempo hari, segenap lembaga survei menunjukkan bahwa elektabilitas Anies Baswedan masih di bawah Prabowo Subianto. Namun dalam berbagai obrolan, saya menangkap bahwa banyak pendukung Prabowo sebenarnya waktu itu mengharapkan Anies yang maju nyapres. Bagi mereka, Prabowo hanyalah kompromi untuk menghadang Jokowi, sedangkan Anies Baswedan adalah “Pemimpin Pilihan Umat” sejati.
Mayoritas pendukung Anies Baswedan itu sekarang mendukung Prabowo-Sandi. Ini tidak perlu dibahas lebih jauh lagi. Basis pendukung Anies tersebut saat ini beramai-ramai berjuang memenangkan Prabowo, agar Prabowo jadi Presiden RI mulai 2019. Sembari itu, mereka menjaga harapan 2024 atau 2029 agar Anies Baswedan yang bisa didorong dengan penuh semangat untuk merebut kursi RI 1.
Sekarang, mari kita andaikan Prabowo-Sandiaga menang kontes di April 2019 nanti. Pertanyaannya, mungkinkah basis massa prabowers (atau basis massa alumni 212) mendukung Anies pada 2024, jika petahana saat itu adalah Prabowo sendiri? Lantas, kalau Prabowo melanjutkan kepemimpinan di periode kedua, mungkinkah Anies punya kans besar sebagai RI 1 di 2029?
Hitung-hitungan inilah yang kerap dilupakan. Sementara, harapan-harapan yang dijaga itu ternyata sulit diwujudkan.
Begini. Andai Prabowo menang di 2019, lalu memegang tampuk kekuasaan selama 5 tahun, maka pada 2024 Prabowo akan maju lagi bertarung untuk periode kedua. Kalaulah Prabowo mundur karena sudah terlalu tua, siapa yang akan pegang kunci? Anies? Lho ya bukan. Sandiaga Unolah penguasa panggung dengan sorot kamera paling terang. Terus Anies gimana?
Anies kemungkinan besar pada 2024 itu sedang menjalani periode keduanya sebagai Gubernur DKI. Dalam posisi itu, dia tidak mungkin maju nyapres sendiri berhadapan dengan Prabowo sebagai petahana, atau menantang Sandi jika Sandi yang maju sementara Prabowo pensiun. Basis suara Anies dan basis suara Prabowo atau Sandi jelas sama, dan pertarungan Prabowo atau Sandi versus Anies akan membuat gudang potensi elektoral itu koyak-moyak. Pemenangnya bisa-bisa malah pasangan Dildo.
Peluang yang masih mungkin muncul adalah Anies jadi cawapres mendampingi Sandi, itu pun kalau Prabowo benar-benar mau pensiun. Padahal, apa iya pencinta Anies Sang Pemimpin Pilihan Umat itu mau Anies cuma jadi wakil? Enggak cuma para Anies lovers, lha Anies-nya sendiri apa ya mau cuma jadi wapres?
Menurut bisik-bisik yang saya dengar, target ketat Anies sejak lama memang RI 1. Buat Anies itu harga mati, mirip-mirip NKRI. Jadi, rasanya dia enggak bakalan sudi cuma disuruh duduk di RI 2. Anies punya modal terlengkap untuk menyikat kursi RI 1. Mulai dari panggung, sorotan kamera, hingga sentimen dan imajinasi pendukung yang memandang Anies Baswedan sebagai pilihan umat paling ideal (ingat betapa dramatisnya 212, dan peristiwa 212 itu sangat lekat dengan Anies, bukan dengan Prabowo, sementara harus diakui bahwa suara alumni 212 masih menjadi kekuatan politik yang signifikan).
Maka, pasti bakalan ada yang bilang: ya Anies nanti jadi presiden setelah Prabowo tuntas dua periode, dong! Atau kalau Prabowo cuma ambil satu periode, Anies akan maju setelah Sandi. Dia akan maju di 2029!
Whottt?? Enak aja. Lagi-lagi itu tidak mungkin.
Pertama, jika Sandi yang maju di 2024 sementara Prabowo pensiun, maka 2029 masihlah menjadi podium Sandi. Anies cuma mungkin jadi cawapres, atau malah tidak mendapat peluang sama sekali.
Kedua, ini tentang rumus bahwa politik itu mirip infotainmen. Benar, kompetensi memang dibutuhkan di situ, dan memang selayaknya begitu. Sialnya, elektabilitas selalu berjalan seiring dengan popularitas, dan popularitas selalu ditentukan oleh penguasaan panggung. Politik, dalam banyak sisi, adalah perkara sorotan kamera. Semakin sering seorang tokoh politik disorot kamera, dia punya peluang semakin besar untuk menancapkan namanya di benak publik.
Maka, jangan heran kalau kebanyakan petahana mampu mempertahankan kekuasaan melawan penantangnya. Memang tidak semua sih, tapi kebanyakan demikian. Salah satu alasannya ya selama empat tahun pertama kekuasaan pra-pemilihan periode kedua, petahana punya peluang jauh lebih besar untuk terus tampil di media, show off atas apa pun yang dia jalankan, sehingga mata publik terus menontonnya.
Modal kesempatan seperti itulah yang saat ini sedang dipegang Anies Baswedan. Anda boleh meyakini bahwa dia bergerak diam-diam. Diam-diam membangun, diam-diam merapikan Jakarta, dan tahu-tahu muncul hasilnya. Ah, tidak sesederhana itu, Laura. Anies itu politisi, bukan makelar politik atau dukun santet. Rugi sekali kalau dia kerja diam-diam.
Coba ingat bagaimana gelaran teatrikal ketika Anies menyegel bangunan-bangunan di pulau-pulau reklamasi waktu itu. Itu adalah pertunjukan akbar nan kolosal yang memaksa kamera untuk menyorot ke arahnya.
Belakangan, ada liputan Tirto.id yang mempertanyakan sejauh apa kebijakan itu dilaksanakan, karena praktiknya tidak seheboh yang dikabarkan pada saat seremoni penyegelan. Tapi kita tidak sedang berdebat tentang pulau reklamasi. Abaikan dulu itu.
Poin yang ingin saya tekankan adalah betapa kesempatan demi kesempatan untuk tampil di sorotan spotlight itu selalu digenggam tangan Anies Baswedan. Jika dia bisa mempertahankan ini hingga pada satu tahun menjelang Pilpres 2024, secara logis kita akan menyaksikan elektabilitas Anies yang naik terus.
Malangnya, kembali ke atas tadi, jika 2019 Prabowo-Sandi menang, basis suara 212 pada 2024 adalah milik Prabowo atau Sandi. Anies kebagian, tapi cuma sedikit.
Menunggu 2029? Telaaaat! Jika Anies berkuasa lagi di DKI pada periode kedua, masa kekuasaannya sudah akan berakhir pada 2027. Ingatlah itu. Ada jeda dua tahun kosong antara 2027 dan 2029, dan dua tahun adalah kekosongan yang terlalu panjang dalam perkara sorotan kamera. Selama dua tahun itu, Anies akan menganggur di belakang layar. Dia pasti kehilangan banyak momentum. Pemberitaan akan dikuasai oleh Gubernur DKI penggantinya, entah siapa dia.
Belum lagi kalau 2029 Sandi yang maju. Anies dapat apa? Dia tidak akan dapat apa-apa. Atau para Anies lovers masih sabar menunggu sampai 2034? Hahaha, kelamaan. Pasti waktu itu sudah muncul jagoan politik baru. Bisa Dul Jaelani, atau minimal Hanum Rais. (Coba bayangkan Hanum Rais for RI 1, keren kan?)
Walhasil, formula yang kita temukan hari ini memang agak menyakitkan bagi para Aniesers: Jika Prabowo-Sandi menang pada 2019, maka Anies Baswedan tidak akan pernah jadi Presiden RI. Selamanya. Selamanya. Oh tidaaak.
Pintu untuk Anies justru akan terbuka lebar-lebar jika 2019 Prabowo-Sandi kalah. Jokowi-KMA akan menyelesaikan tugas pada 2024, Prabowo pasti sudah habis, dan Pilpres 2024 akan menjadi ajang pertarungan akbar yang baru. Dan tentu saja: Anies Baswedan akan menjadi salah satu petarungnya yang paling perkasa.
Boleh saja sampean tidak percaya. Tapi silakan screenshoot terawangan politik ini baik-baik, dan kita buktikan kelak pada hari H. Hiahaha.