Presiden Jokowi beberapa hari lalu menyebut adanya politikus sontoloyo. Menurutnya, politikus macam ini memakai “cara-cara politik adu domba, cara-cara politik yang memfitnah, cara- cara politik yang memecah-belah hanya untuk merebut sebuah kursi, sebuah kekuasaan, menghalalkan segala cara.”
Tidak sampai dua hari kemudian, ada acara yang namanya “Aksi Bela Tauhid”. Ini adalah aksi untuk mempolitisasi pembakaran bendera HTI di Garut.
Apa hubungan antara keduanya?
Bagi saya, sulit untuk mengatakan tidak ada hubungan. Saya memperhatikan apa yang terjadi—lokasi aksi-aksi serupa, jumlah peserta, dan isu yang diusung. Saya kira, aksi-aksi yang merespons pembakaran bendera HTI ini adalah sebuah “concerted efforts” atau usaha-usaha yang digerakkan secara bersamaan.
Usaha-usaha ini sangat serius. Saya duga ini melibatkan pemain besar, dengan kemampuan koordinasi yang bagus, dan tentu saja dengan dana yang kuat.
Sampai perlu seorang Presiden Jokowi sendiri yang turun tangan dan berkomentar akan hal ini, saya kira, menunjukkan derajat keseriusannya. Saya kira dia mendapat laporan tentang seriusnya keadaan yang akan dia hadapi.
Banyak yang mungkin tidak sependapat dengan saya. Mereka akan menunjuk bahwa keadaan di tingkat masyarakat (akar rumput) tetap tenang. Orang tidak terpengaruh akan apa yang terjadi.
Saya tidak menampik pendapat itu. Benar sekali. Sebagian besar orang tidak peduli.
Namun Piplres 2019 masih enam bulan lagi. Saat ini bukan saatnya pergi ke massa. Dalam gerakan, saat ini adalah saat memasang sekrup-sekrup, membereskan pelumas, membersihkan mesin, dan memastikan mesin ini bergerak dengan baik pada saatnya nanti.
Orang mungkin juga akan bilang, enggak mungkin isu ini akan jadi serius karena ada NU.
Dalam soal ini kita bisa berdebat. Menurut saya, sekalipun massa NU solid (tidak selalu sebenarnya), itu tidak cukup untuk membendung jika gerakan ini menjadi sebesar Aksi Bela Islam yang menjatuhkan Ahok.
Mungkin juga akan ada yang bertanya: lawan yang dihadapi kan bukan Kristen?
Saya melihatnya dengan kaca mata lain. Pertarungan di Pilpres ini adalah “battle for the soul of Islam“. Katakanlah demikian. Yang akan dieksploitasi adalah visi Islam yang mana yang “lebih baik dan lebih benar”.
Dengan demikian, pertarungannya akan menjadi jauh lebih keras. Saya kira, itulah yang sangat meresahkan bagi Presiden Jokowi. Skenario paling kotor mungkin sedang disiapkan.
Kemarin saya melihat satu video bagaimana Nusron Wahid, mantan Ketua Umum Ansor dan Banser NU, dikonfrontasi di Luar Batang. Dia ditantang untuk membakar bendera hitam yang bertuliskan kalimat Tauhid.
Di bagian lain juga terekam bagaimana kebencian orang-orang yang mengonfrontasi Nusron Wahid. Tidak saja terhadap Nusron, tetapi juga terhadap versi Islam yang dianggap mewakili dia yakni Islam Nusantara. Kata-kata yang dilontarkan oleh mereka yang mengonfrontasi Nusron jelas menunjukkan garis tegas antara dua visi Islam yang hendak dikontraskan.
Saya menangkap di dalam NU sendiri sesungguhnya pertarungan itu bukannya tidak ada. Banyak orang NU yang tidak lagi “tradisional” seperti yang kita kenal sebelumnya. Dari pemberitahuan beberapa kawan, ada juga kiai-kiai NU yang setuju bahwa yang dibakar di Garut adalah bendera Tauhid. (Di manakah Ma’ruf Amin berdiri seandainya dia tidak menjadi cawapres-nya Jokowi? Pertanyaan ini menarik untuk dicari jawabannya).
Saya kira, akan ada usaha untuk memisahkan NU yang tradisional dengan versi yang lebih konservatif dan bermusuhan dengan tradisi. Ini adalah hal yang mudah sekali untuk dieksploitasi. Dan para pemain-pemain politik tahu persis hal ini.
Yang saya khawatirkan adalah, seperti pepatah mengatakan, “Apakah gajah-gajah bercinta atau berkelahi, rumputlah yang rusak terinjak-injak.”
Itulah.