Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kemajemukan yang tak lagi dapat diperbantahkan: suku-bangsa, agama (dan pluralitas intra-agama), budaya, bahasa, dan lainnya. Kemajemukan ini merupakan berkah tersendiri, tapi persoalan klasik tetap terejawantah: bagaimana kemudian mengolah embun kemajemukan untuk tak menjelma bah.
Salah satu bahaya dari negara dengan tingkat kemajemukan yang tinggi adalah apa yang kita kenal sebagai pendekatan politik identitas. Dan inilah persoalan klasik yang selalu menjadi tantangan bagi negara-bangsa ini. Dengan mudahnya kemajemukan di negara ini terkoyak karena ada dan dipakainya pendekatan politik identitas. Berbagai konflik berlatar belakang etnis dan agama beberapa kali mencuat dalam perjalanan bangsa yang telah berumur 74 tahun ini.
Saya pribadi berpendapat bahwa politik identitas memang boleh dipakai sebagai pendekatan politis, dan hal ini juga telah dijamin oleh konstitusi. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, ketika pendekatan politik identitas ini melewati batas kewenangannya, atau apa yang pernah saya sebut sebagai sebentuk kegagalan dalam menerjemahkan kepentingan yang pada dasarnya bersifat praktis-partikular di ruang publik sehingga menghasilkan sektarianisme belaka yang bersifat eksklusif (Gus Dur, PKB dan Politik Kaum Sarungan, https://bangkitmedia.com).
Problem identitas memang merupakan salah satu problem pelik dalam dunia filsafat. Secara nalar, sebenarnya orang tak gampang untuk diidentifikasi. Taruhlah orang Madura, Jawa—atau untuk mengaitkannya dengan identitas keagamaan—Islam ataupun Hindu, dan lainnya. Orang tak menemukan parameter yang bersifat definitif tentang identitas-identitas itu.
Andaikata orang berbicara tentang karakter antara orang Bangkalan dan Sumenep sudah jelas berbeda—meskipun sama-sama Madura. Demikian pula Jawa, antara Surabaya dan Jogja, meskipun sama-sama Jawa, sudah tak lagi sama.
Identitas keagamaan juga setali tiga uang. Orang dengan gampangnya berbicara tentang Islam seperti tak ada masalah yang perlu diperbantahkan. Pada praktiknya, seumpamanya saja, antara praktik keagamaan NU, Muhammadiyah ataupun kalangan salafi wahabi lainnya, jelas tak dapat dikatakan serasa. Kepelikan tersebut menyangkut doktrin-doktrin yang sifatnya eskatologis di mana hanya iman yang subyektif pada akhirnya yang berperan.
Yang acap dilupakan oleh kalangan “Islamis,” yang berupaya menghilangkan renik perbedaan, penggila “Islam abstrak,” adalah bahwa persoalan agama tak semata persoalan ilmu dan nalar, tapi juga “dzauq” (rasa-batin) Karena itulah, barangkali, al-Qur’an membuat semacam garis batas: “lakum diinukum waliyadin.” Segurat ayat ini saya kira juga mesti berlaku secara intra-agama.
Jadi, apa yang orang sebut sebagai identitas pada akhirnya hanyalah proyeksi atau idealitas yang tak pernah kongruen dengan realitasnya. Proyeksi atau idealitas inilah yang oleh Ben Anderson pernah disebut sebagai “angan” yang mendasari ide tentang nasionalisme dan kebangsaan (imagined communities). Orang tak lagi dapat dikatakan membela Indonesia ataupun membela Islam dalam kacamata ini. Tapi ia tengah membela angan tentang “Indonesia” ataupun “Islam.”
Tapi, ketika identitas itu hanyalah sebuah angan, tak berarti ia tak penting atau tak diperlukan. Pada satu titik, seperti banyak peristiwa dalam sejarah, angan itu dapat menautkan satu orang dengan orang lainnya sehingga terbangunlah—meskipun rapuh—sebuah ikatan dan berbagai turunannya.
Saya katakan rapuh, sebab ketika angan itu sudah tak lagi sesuai dengan realitas sebagaimana yang diharapkan sebelumnya, ketika realitas tak sepenuhnya sebangun dengan angan, muncullah kekecewaan dan apa yang oleh Nietzsche sebut sebagai ressentiment. Celakanya, tak sebangunnya antara angan dan realitas itu bagi banyak orang dikarenakan oleh suatu sebab. Di sinilah kemudian logika kambing hitam menemukan fungsinya.
Saya kira banyak tatanan ataupun peradaban terbangun pula oleh adanya mekanisme pengambinghitaman, sebagaimana yang dinubuahkan oleh Rene Girard—terlepas apakah pengambinghitaman itu positif atau negatif: Hitler dan Nazi dengan Yahudinya, Orde Baru dengan PKI, dan komunismenya, dll. Tapi, rupanya tak sekadar kisah-kisah terbangunnya sebuah tatanan dalam sejarah, bahkan agama sendiri—yang tak sepenuhnya bersifat historis—terbangun pula dengan sebuah kambing-hitam: Setan.
Bacaan terkait
Posisi NU dan Keseimbangan Sosial-Politik
Keluar dari Jebakan Politik tanpa Identitas
Populisme Islam, Ancaman Politik Etnis, dan Manuver 2024