Senin, Oktober 14, 2024

Politik Dukungan Milenial. Milenial yang Mana?

Ibnu Nadzir
Ibnu Nadzir
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Kebudayaan LIPI (PMB-LIPI)

Menjelang Pilpres 2019 ini, baik Kubu Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sama-sama giat mengadakan acara dengan jargon milenial. Itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka kandidat yang paling mengerti generasi ini, dan dengan demikian paling layak dipilih.

Terlepas dari program yang dijanjikan, yang absen dari keriuhan tersebut adalah persoalan bahwa sebagian besar perbincangan soal anak muda ini hampir selalu mengandung bias kelas yang nyata.

Perbincangan soal generasi milenial hari ini dibangun berdasarkan asumsi mengenai kelompok umur tertentu yang memiliki aspirasi politik maupun perilaku sosial khas. Pertanyaannya, benarkah generasi ini punya karakteristik yang sedemikian khusus?

Konsep generasi milenial diajukan untuk membedakannya dari generasi sebelum mereka, yakni Gen X dan Baby Boomers. Tidak ada kesepakatan tunggal soal batas umur kelompok generasi ini. Sebagian orang menyebut milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1970-an hingga 1990-an. William Strauss dan Neil Howe, dua perintis konsep milenial, mengajukan batas yang lebih spesifik: milenial adalah mereka yang lahir antara 1982 hingga 2004.

Pew Research memetakan milenial Amerika Serikat sebagai kelompok yang independen baik dalam pekerjaan maupun pandangan politik. Mereka juga secara umum lebih liberal dalam arti menaruh prioritas yang amat tinggi pada kebebasan atas pilihan individu. Kecenderungan ini juga sangat berpengaruh pada cara mereka memilih pekerjaan, pilihan hubungan percintaan, dan hubungan mereka dengan negara.

Ciri-ciri seperti tadi jugalah yang sering disebut jika orang bicara milenial Indonesia belakangan ini. Yoris Sebastian, manajer Hard Rock Cafe, misalnya, mengusulkan kata langgas sebagai padanan kata milenial. Langgas yang bermakna bebas ini dipilih untuk menggambarkan generasi yang lebih merdeka dalam memilih dan punya kepercayaan diri tinggi.

Alvara Institute, yang sering melakukan survai soal milenial, juga berfokus pada kelompok menengah urban yang ditandai dengan tiga karakteristik: connected, creative, dan confidence.

Penggambaran itu identik kalau bukan malah dicangkok langsung dari gambaran soal anak muda di Amerika Serikat.

Deskripsi tadi jelas bermasalah, sebab mengandung bias kelas menengah urban yang kuat. Artinya, dalam keramaian diskusi milenial, ada sekelompok besar orang dalam usia tersebut yang luput diperbincangkan.

Sebagai ilustrasi, lihatlah dua sosok yang jadi bagian generasi tersebut, Rich Brian dan Hatf Saiful Rasul.

Rich mungkin lebih banyak dikenal orang. Dia adalah rapper yang lahir dan besar di Jakarta dan menempuh pendidikan lewat homeschooling. Ia belajar bahasa Inggris melalui tutorial rubik yang tersedia di YouTube. Bermula dari keisengan, Rich membuat lagu dan video klip rap bersama teman-temannnya yang belakangan diunggah di YouTube. Di luar dugaan, video itu ternyata sangat populer dan ditonton hingga ratusan juta kali. Berkat kepopuleran itu, Rich kemudian mendapatkan tawaran kontrak untuk pindah dan berkarir di Amerika Serikat sebagai rapper profesional.

Hatf bukan selebriti seperti Rich, namun beberapa waktu lalu namanya sempat meramaikan tajuk media massa nasional. Publik mengenal namanya karena ia terbunuh ketika ambil bagian sebagai tentara ISIS di Suriah. Hatf adalah anak pertama dari Saiful Anam, teroris yang terlibat di Poso.

Seperti Rich, ia memiliki aspirasi yang terhubung dengan gagasan dan kelompok di luar Indonesia. Jika Rich mengidolakan rapper Amerika, Hatf mengagumi prajurit-prajurit ISIS. Hatf bangga berfoto menyanding AK-47 yang hampir lebih besar dari tubuhnya sendiri. Sekitar setahun setelah menjadi prajurit ISIS, ia tewas terhantam bom pasukan koalisi.

Baik Hatf dan Rich tumbuh sebagai bagian dari generasi yang menerima gawai dan internet sebagai keseharian. Keduanya juga terhubung dengan komunitas global layaknya banyak milenial. Namun, sosok Rich akan lebih mewakili imajinasi umum soal generasi ini. Ia percaya diri, memiliki aspirasi tinggi, dan yang paling penting, populer.

Sebaliknya, sosok seperti Hatf hampir tidak diingat orang kecuali berita soal kematiannya. Hatf dilupakan sebab ia tidak mewakili citra ideal publik mengenai milenial yang kosmopolit. Kondisi terlupakan ini sayangnya, bukan hanya dialami oleh Hatf pada generasi seusianya.

Walaupun mungkin tidak melangkah sejauh Hatf, kenyataan bahwa anak di generasinya memilih jalur konservatif atau radikal dalam agama sama sekali tidak jarang. Kajian PPIM misalnya menunjukkan tingginya dukungan pelajar dan mahasiswa pada penerapan aturan agama dalam pengelolaan negara. Alih-alih menjadi kosmopolit, mereka tumbuh sebagai kelompok ekslusif justru karena menautkan diri dengan ideologi di luar batas negara. Fenomena kontras ini seharusnya tidak terlalu mengherankan mengingat sejak awal milenial memang sebenarnya tidak seragam, baik dalam kesempatan maupun aspirasi.

Di Indonesia hari ini, sebagian besar kelompok usia 15-24 tahun tadi adalah pengangguran. Survei CSIS soal milenial juga menunjukkan sebagian besar generasi ini hanya menempuh pendidikan setingkat SMA. Itu tidak saja mempersulit akses terhadap lapangan kerja, namun juga berpengaruh pada ketimpangan antara pendapatan dengan kebutuhan.

Dalam perbincangan soal milenial sekarang, konteks dan fakta tersebut sering dilupakan. Hanya karena sama usianya, seseorang dibayangkan memiliki kapasitas inheren untuk jadi kreatif, bermimpi bebas, dan merdeka dalam menentukan pilihan.

Imajinasi soal sosok milenial yang optimistik tadi disokong munculnya figur muda yang kaya dan populer berkat dukungan sosial media: seperti Rich Brian, Ria Ricis, atau Atta Halilintar. Sementara keterbatasan milenial yang lain, karena masalah latar struktural, sosial, ekonomi, dan politik, tidak muncul dalam pembahasan. Di balik tiap milenial yang sukses berkat YouTube, ada banyak teman seusia mereka yang mungkin tidak pernah mengenal gawai.

Oleh karena itu, jika hari ini para kandidat presiden sibuk berjanji untuk milenial, kita patut bertanya balik, “Milenial yang mana?” *

Ibnu Nadzir
Ibnu Nadzir
Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Kebudayaan LIPI (PMB-LIPI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.