Malam itu menjadi momen yang tak terlupakan. Saya kira, saya hanya akan menghabiskan malam dengan makan atau nongkrong di kafe favorit bersama sang kekasih. Seperti pasangan muda pada umumnya, romantis dan memanjakan, saling berbagi cerita dan menebar rasa. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Pada malam-malam lalu, justru berlari sembari menahan mata perih akibat teargas lah yang mau tak mau harus kami nikmati.
Awalnya kami terpisah. Terpisah karena memang sayalah yang memisahkan diri dari massa aksi kampus. Biasa, keselamatan massa diutamakan katanya, sehingga terpaksa harus ditarik mundur demi kemaslahatan bersama. Saya dan kawan saya yang gerah oleh sikap main aman kampus, memutuskan untuk keluar dari barisan massa aksi, mencopot almamater, dan melebur bersama massa aksi lain yang telah berada di garda terdepan: “Cek ombak lah yuk, majuin”, Ucapnya.
Ternyata itu adalah keputusan yang tidak bijak, kami berdua terjebak dan tak bisa melarikan diri, ditemani oleh batu dan beling, tak luput gas air mata yang melalang buana. Perempatan Jalan Kebon Sirih sudah terjadi bentrokan, pun di Jalan Medan Merdeka lebih parah lagi, belok kearah M.H Thamrin sudah di blokade. Terpaksa kami berdua menahan dan berlindung diri di halaman depan Hotel Mecure, sembari beberapa kali membela diri jika para aparat membidik kami.
Menjelang maghrib, bentrokan mulai mereda. Kami berdua kembali menuju ke arah Tugu Tani, itupun kami harus sedikit bercekcok dengan aparat. Ternyata, di Tugu Tani masih terjadi bentrokan, kami berdua dipaksa aparat untuk belok ke Jalan Kebon Sirih. Sembari mengumpat karena ditekan aparat, kami juga sedikit kesal karena ternyata rombongan massa aksi kampus kami sudah berada di angkutan kota menuju Depok. Yasudah, kami beristirahat dahulu saja di bahu trotoar jalan.
“Memisahkan diri dari massa aksi untuk cek ombak, adalah keputusan yang buruk!” Itulah yang menjadi pikiran saya saat itu. Kami memutuskan untuk ke Stasiun Gondangdia. Beberapa saat berjalan dengan pontang-panting, ada yang memanggil kami dari sebrang jalan. Ternyata mereka kawan-kawan saya di FISIP, dan juga terdapat sang kekasih. Suasana hatiku berubah, pikiranku lantas berucap: “Ini adalah keputusan yang tepat!”
Inilah bagian terbaiknya, saya dan kawan-kawan semua memutuskan kembali ke medan aksi dan berjalan ke arah Tugu Tani, dan ternyata bentrokan masih terjadi. Situasi kacau sekali, pos polisi di pinggir jalan sudah habis terbakar, dan mobil berplat merah menjadi sasaran empuk kemarahan. Pada malam itu juga, di sosial media sedang ramai perbincangan bahwa terdapat halte yang dibakar di daerah Sudirman.
Merespons hal tersebut, saya menjadi merefleksikan suatu hal, sehingga saya sadar bahwa memang tujuan dari demonstrasi adalah menciptakan ketidaknyamanan dan mendobrak kondisi kenormalan. Apalagi, Omnibus Law ini amat erat menyangkut hidup mereka, saya paham jika banyak di antara demonstran merasa desparate terhadap situasi sosial-politik yang ada.
Ironisnya, banyak diantara kita menafikan fakta sejarah bahwa justru kekacauan seperti inilah yang membawa kita pada reformasi sosial; hukum yang mapan, kemerdekaan, sampai kenyamanan yang kita nikmati saat ini. Karena memang kekacauan seperti aksi ini adalah manifestasi kemarahan sosial pada situasi yang ada, dan kemarahan tersebut amat tulus dilepaskan.
Tidak pernah ada kemerdekaan tanpa melawan penjajahan, dan tak pernah ada rasa aman jika tak diperjuangkan. Semua pengrusakan adalah bentuk konflik yang visible, terdapat konflik laten dan itu tetap dilanggengkan, yakni; diskriminasi dan kemiskinan. Marah jugalah pada kedua hal tersebut.
Bukan berarti saya berusaha untuk menormalisasi segala bentuk pengrusakan yang terjadi. Pun saya juga sepakat bahwa aksi pengrusakan bukanlah cara yang baik. Namun, jika kita kontraskan dengan segala bentuk eksploitasi dan penindasan yang ada, justru lebih banyak diaktori oleh mereka yang mengaku sebagai pengatur kestabilan. para ‘pengrusuh’ hanya melakukan apa yang memang harus dilakukan. Sekarang, seberapa banyak aksi damai yang menuai keberhasilan?
Meskipun demikian, saya tau kondisi ini berbahaya. Semakin berbahaya ketika aparat menembakan senjatanya dan menyisir paksa mereka-mereka yang memang sedang meluruskan kaki di pinggir jalan. Pengrusakan memang nyata, begitupula dengan represi yang dilakukan aparat; itu fakta dan perlu untuk dientaskan.
Semua hal diatas masih terjadi meskipun jarum jam berada pada pukul 23.00 WIB. Seolah-olah massa aksi tak ingin membubarkan diri sebelum tuntutannya dipenuhi, solidaritas sangat terasa sekali. Begitupun juga saya, sangat tak ingin membubarkan diri, karena kapan lagi bisa menikmati momen mata perih dan kaki pegal karena berlari ketika aksi bersama sang kekasih.
Atas segala hal yang telah saya sampaikan, sesungguhnya saya ingin mengucapkan terimakasih kepada pemerintah, DPR dan para aparat. Berkat kalian, kami menjadi percaya bahwa kami harus menjaga bersolidaritas untuk tetap berdiri di kaki kami sendiri. Sehingga kami sebagai rakyat Indonesia, saya dan tentunya sang kekasih, menjadi lebih saling menyayangi!