Rabu, April 17, 2024

Permutasi Pelajaran Sejarah

Erni Juliana Al Hasanah Nasution
Erni Juliana Al Hasanah Nasution
Dosen FISIP UMJ dan ITB AD Jakarta, Alumni PPRA LIX Lemhannas RI

Di tengah hiruk pikuk kontroversi tentang pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (Omnibus Law), energi kita tidak boleh semuanya terfokus pada masalah ini. Ada persoalan lain yang masih perlu kita perhatikan secara saksama, misalnya soal isu penghapusan pelajaran sejarah di sekolah, yang saat ini isunya mulai menghilang dari pemberitaan.

Tulisan ini bukan bermaksud mengungkit kembali isu itu, tapi justru ingin menempatkan pada proporsinya. Ada kesalahpamahaman dalam memahami pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, yakni upaya permutasi yang dianggap sebagai penghapusan.

Permutasi, secara etimologi berarti penyusunan kembali suatu kumpulan objek dalam urutan yang berbeda dari urutan yang semula. Untuk menyederhanakan kurikulum agar sesuai dengan kondisi pandemi, Menteri Nadiem Makarim melakukan permutasi sejumlah mata pelajaran, di antaranya mata pelajaran sejarah.

Tapi, karena ada kesalahpahaman, Mas Menteri –demikian Nadiem Makarim biasa dipanggil—dianggap akan menghapus pelajaran sejarah. Isu ini lantas berkembang (viral) dan membuat banyak kalangan kaget bahkan marah, mengecam Mas Menteri. Isu ini mirip dengan yang menimpa Menteri Agama, yang dianggap akan menghapus pelajaran agama. Padahal kalau dicermati dengan saksama, yang dilakukan adalah perluasan materi pelajaran agama.

Yang dilakukan Menteri Nadiem bisa dikatakan sebagai upaya perluasan atau penguatan materi pelajaran sejarah. Upaya ini tak lepas dari adanya kesadaran bahwa bangsa besar adalah bangsa menghargai sejarah perjuangan bangsanya. Yakni sebagai bentuk aktualisasi dari pesan Bung Karno, Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah).

Sejarah penting untuk memperkuat identitas suatu bangsa. Sejarah memberikan “solusi” pelajaran dan pengalaman dalam menghadapai persoalan bangsa ke depan. Di samping menjadi pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu, sejarah juga penting untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Di kancah internasional, sejarah bisa menjadi modal diplomasi. Contoh dalam kasus Papua yang diangkat oleh Vanuatu di Sidang PBB, dengan bekal pengetahuan sejarah yang baik, diplomat Indonesia mampu mematahkan serangan Vanuatu.

Apa sebenarnya sejarah itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sejarah dapat diartikan  sebagai asal-usul,  keturunan atau silsilah; sejarah juga merupakan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lalu; riwayat; sejarah juga dapat berupa pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang betul-betul telah terjadi dalam masa lampau.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan apa pun yang ada di dunia ini pasti memiliki asal usul, memiliki cerita yang benar-benar terjadi di masa lalu. Seperti halnya diri kita, lingkungan kita, ruang hidup (geopolitik/negara) kita juga punya asal usul berupa peristiwa yang terjadi sebelumnya. Apa yang terjadi sekarang merupakan buah panjang  dari proses peristiwa dimasa lalu.

Tujuh puluh lima tahun kemerdekaan kita sekarang merupakan sebuah perjalanan panjang penuh darah dan air mata. Di masa lalu, ada serentetan masa sulit akibat penjajahan, disusul dengan perjuangan untuk membangkitkan rasa nasionalisme sebagai pembuka pintu gerbang  kemerdekaan. Para cerdik pandai (cendekiawan) melahirkan organisasi-organisasi (perkumpulan) dari yang berbasiskan semangat kedaerahan, keagamaaan, hingga semangat kebangsaan seperti Budi Oetomo (1908) di dalam negeri dan Perhimpunan Indonesia (1908) di negeri Belanda.

Berawal dari organisasi-organisasi itulah tercetus Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) yang merupakan momentum perumusan jadi diri bangsa yang puncaknya berujung pada Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Pasca kemerdekaan, peristiwa pengusulan, perumusan, dan pengesahan Pancasila pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) juga tidak lepas dari dinamika politik yang sangat monumental dalam sanubari bangsa Indonesia, antara lain ditandai dengan perbedaan aspirasi antara golongan Islamis dan nasionalis.  Perbedaan itu mereda dengan dihapusnya tujuh kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta yang kemudian menjelma menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kesepakan luhur para pendiri bangsa ini menjadi catatan sejarah yang memberikan banyak pelajaran berharga bagaimana menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara anak-anak bangsa. Untuk membangun keutuhan negara yang waktu itu usianya masih sangat muda, para pemimpin negeri ini dengan lapang dada mau melepas baju kedaerahan dan keagamaannya dalam suasana kebersamaan yang penuh kedamaian.

Hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta disebut Alamsyah Ratu Perwiranegara sebagai hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia. Namanya hadiah, tentu, dipersembahkan dengan penuh keikhlasan, tak berharap imbalan. Jika ada pihak yang mengungkit-ungkit kembali hadiah itu, dengan cara berupaya menghidupkan/mengembalikan Piagam Jakarta, mungkin karena belum ikhlas menerima perbedaan. Belum move on dari utopia membangun negara Islam di tengah kemajemukan.

Di awal-awal masa kemerdekaan yang penuh tantangan, Pancasila memang menghadapi ujian berkali-kali, dimulai dari pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah sampai agresi militer Belanda yang berlangsung selama lebih kurang empat tahun hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada   tanggal 27 Desember 1949. Setelah itu peristiwa-peristiwa penting lainnya seperti Dekrit presiden 5 Juli 1959, Gerakan 30 September 1965 (G30S PKI) berakibat  peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto  yang diawali dengan terbitnya Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), sampai pada perundingan-perundingan dan diplomasi internasional yang dilakukan para diplomat Indonesia untuk memepertahankan eksistensi bangsanya.

Itu merupakan sekelumit cerita perjuangan bangsa di awal kemerdekaan yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh siapa pun yang memiliki kesadaran pentingnya menjaga keutuhan bangsa dan negara. Bagaimana mungkin generasi sekarang dapat mengisi kemerdekaan dengan baik, manakala tidak memahami perjalanan sejarah perjuangan bangsanya.

Dan salah satu cara untuk dapat mempelajari sejarah adalah melalui institusi pendidikan dengan kurikulum yang kondusif baik di tingkat dasar, tingkat menengah dan atas, maupun di tingkat perguruan tinggi.

Dengan pemahaman sejarah yang baik, diharapkan warga negara Indonesia yang berada di dalam maupun luar negeri, akan memahami dengan utuh pentingnya esensi identitas nasional. Apa jati diri bangsanya dan kenapa itu penting dipahami. Bagaimana memaknai keberanekaragaman yang ada sebagai kehendak dari Allah SWT menjadi bagian dari sejarah berdirinya negeri ini.

Peristiwa masa lalu memberikan pelajaran dan informasi berharga bagaimana mengimplementasikan kolaborasi antar semua komponen bangsa yang kita sebut gotong royong dalam menghadapi berbagai persoalan yang melilit bangsa ini.  Ingatan kita dapat memberikan contoh situasi serupa yang pernah dialami sebelumnya, sehingga memungkinkan kita untuk merenungkan bagaimana kita mengelola ego sektoral itu sebelumnya dan apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman itu. Demikian juga kaitannya dengan interaksi sosial. Belajar dari kesalahan masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Karenanya kebijakan Menteri Nadiem Makarim yang menegaskan bahwa mata pelajaran Sejarah tidak akan dihapus dari kurikulum nasional, patut diapresiasi. Pelajaran sejarah tidak dihilangkan, cuma disederhanakan agar sesuai dengan kondisi pandemi. Karena banyak kritik, di era pandemi, para pelajar terbebani dengan terlampau banyak pelajaran.

Tapi, upaya penyederhanaan yang sejatinya bersifat temporal karena pandemi ini disalahpahami sebagai penghapusan. Padahal yang ada hanyalah permutasian yang juga dilakukan pada mata pelajaran yang lain. Upaya permutasi  dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan banyak kalangan melalui diskusi terpumpun yang diharapkan bisa melahirkan kurikulum baru yang kondusif di masa pandemi.

Erni Juliana Al Hasanah Nasution
Erni Juliana Al Hasanah Nasution
Dosen FISIP UMJ dan ITB AD Jakarta, Alumni PPRA LIX Lemhannas RI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.