“Kuliah tidak menjamin kamu akan mendapatkan kerja lebih bagus dari pada lulusan SMA atau SD. Menurut data dan fakta di lapangan, jenjang S1 kerap kali menjadi sebuah pelarian untuk menunda pengangguran selama empat tahun di Indonesia,” ungkap Najwa Shihab pada acara dalam debat cawapres dengan Prabowo Subianto di Gedung Pancasila UGM.
Perspektif yang diajukan oleh Mbak Nana, turut saya setujui ketika mendengar perihal fakta cemplang itu. Entah baiknya dibilang fakta atau nasib tragis. Tak sedikit lulusan sarjana masih kalang kabut mencari pekerjaan, baik yang linier sampai yang bersebrangan sekalipun. Asalkan dapat kerjaan dan ngga nganggur. Sebab kalau lulusan S1 masih nganggur, mental yang disiapkan harus lebih ekstra kebal, kokoh, kuat, dan tahan banting. Ekspektasi lingkungan atau orang tua yang ‘masih awam’ menagnggap lulusan sarjana gaji langsung bisa dapat dua digit. Mau saya amin-kan, tapi faktanya ngenes.
Sebagai sarjana fresh graduate yang dulunya sempat bekerja setelah lulus SMA, saya masih terhitung anak baru, ga punya pengalaman, ketika wawancara kerja beberapa kali. Sambil goleran, saya menebar puluhan jala untuk mencari pekerjaan. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Jadi saya mencoba melamar di seluruh lowongan kerja yang ada meskipun itu berseberangan dengan gelar yang saya sandang setelah lulus. Sarjana Sains dan Informasi. Pilihan menjadi seorang sales dan marketing sebagai salah satu pekerjaan dilamar menjadi jalan ninja coba-coba berhadiah.
Nikmatnya Kuliah
Mencari pekerjaan tak semudah menyelesaikan soal-soal kuliah. Yakinlah, ini fakta sebab saya mengalaminya sendiri. Apalagi di negeri +62 yag kebanyakan masih mengandalkan orang dalam, atau lowongan kerja dengan persyaratan yang amat rinci hingga bercabang-cabang, tak menjamin gaji yang diberikan sesuai. Saya paham ini sebab saya pernah bekerja sebelumnya. Kalau boleh sedikit berbasa basi busuk ala-ala terpelajar, rencana masa depan jangka panjang termasuk kamu mau kerja di mana, jadi apa, itu memang perlu dipertimbangkan dengan matang.
Adik-adikku yang masih mengejar sarjana, tak perlu sebegitunya menangis dan mengeluh menjadi-jadi karena tugas yang rumit dan memuakkan. IPK bagus tak menjamin kamu auto diterima kerja jadi direktur. Kalian harus menyiapkan mental untuk menangis dalam diam di pojok kamar sambil menunggu notifikasi “Anda lolos seleksi selanjutnya……” saat sibuk menebar jala mencari nafkah dan bertahan hidup.
Lanjut S2
Salah satu solusi agar gak malu-malu amat jadi pengangguran lama, salah satu rencana saya adalah mau sekalian ngambil S2. Ya, saya ingin menambah penundaan nganggur selama dua tahun lagi. Itupun kalau saya lulus dengan tepat waktu ya. Gengsi memang agaknya suka lebih tinggi dari pada kesadaran diri. Pertama saya ngga punya previles untuk lanjut studi S2 menggunakan beasiswa orang tua. Kedua, saya kurang cakap berbasa asing yang dibutuhkan untuk mendapatkan skor TOEFL atau IELTS. Jadi mau gak mau kerjaan setelah lulus kuliah dan menyandang gelar sarjana adalah sok menyibukkan diri biar nggak terlihat nganggur. Alias pencitraan. Beruntunglah kalian yang sudah bekerja ketika kuliah. Itu bagus.
Ambisius dan bersungguh-sungguh saat kuliah memang sangat diperlukan agar lulus tepat waktu dan mendapat nilai terbaik. Tapi perlu diingat sekali lagi, jadi lulusan terbaik pun tak menjamin pekerjaan yang didapatkan linier dengan jurusan yang diambil. Mau ngga mau harus banting setir. Ibarat kaki jadi kepala, kepala jadi kaki. Sekeras itu hidup seorang sarjana yang masih pengangguran.
Kata salah satu teman saya yang juga senasib, “Bersyukurlah kalau kalian lulusan baru, dan gaji kalian sudah berkisar 1,5 juta,” ungkapnya sambil tertawa hambar.
Ngga usah pilih-pilih kerjaan
“Pekerjaan loh banyak, kamu aja yang terlalu milih-milih,” kalimat nyata yang tak jarang saya dengar hingga pengen menyumpal mulut yang menguarkan polusi suara itu. Ya jelaslah kalau saya milih-milih kerjaan. Wong teman saya harus pilih-pilih, yang ngga boleh pilih-pilih itu baik sama orang. Ibaratnya, kalau ada peluang ya tentu saya coba. Hidup juga perlu realistis ya, cinta. Apalagi dengan gaji di negeri +62 yang sebesar biji zarrah ini. Wow tentu cukup untuk kebutuhan minum. Makannya hemat aja ya, jangan boros. Ngga baik. harus rajin menabung. Padahal yang mau ditabung juga ngga ada. Chuaakz.
Jobdesk dan pekerjaan yang tumpang tindih
Aturan-aturan yang nyeleneh dan gaji yang tak berperi kemanusiaan itu hingga sekarang masih menjadi polemik dan fakta mengenaskan di negara +62. Seperti yang kita ketahui bahwa undang-undang ketenagakerjaan pun tak dapat melindungi hak karyawan. Alasannya sederhana, setiap perusahaan memiliki cara kerja yang berbeda. Dari pengalaman kawan saya, semakin saya tahu bahwa dunia kerja di Indonesia sungguh bodong. Memanfaatkan dan menginginkan SDM yang kompeten tapi bayaran tidak kompeten. Lalu masih banyak yang menyarankan untuk mencari peluang di kantor BUMN. Hei penonton, tak segampang itu.
“Fresh graduate, ngga usah terlalu muluk mengharapkan gaji besar,” padahal dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah disebutkan jelas bahwa upah yang diberikan perusahaan kepada pegawai atau pekerja tak boleh lebih rendah dari UMK. Para pengusaha dilarang memberi upah di bawah upah minimum tertera dengan jelas pada pasal 60 ayat 2 UU Nomor 13 tahun 2003.
“Ya sudah makanya jadi pengusaha saja, jangan jadi pegawai.” Tepok jidat. Wahai netizen yang budiman, bikin usaha tak segampang bikin rumah-rumahan dari karung dan gedebok pisang di kebon. Buka usaha perlu modal besar. Tak semua orang memiliki previles kekayaan dan warisan dari keluarganya. Banyak generasi sandwich di era ini. Modal dari mana? Dari mbahmu kah?
Mental lagi, mental lagi
Belum lagi para elit dan generasi boomers sering nyeletuk, “Anak muda jaman sekarang tuh lembek semua. Mental tempe. Dicecar sedikit mental down, dapat cobaan sedikit langsung melempem. Mental breakdown lah, ini lah itu lah. Kebiasaan dimanja jadi ngga tahan banting”.
Begitulah tren perspektif mayoritas tetua terhadap anak muda sekarang. Beruntunglah anda yang tidak merasakan betapa celotehan penonton yang riang gembira mengomentari para pengangguran melalui sosial media yang saat ini telah merambah. Gambaran tak mau usaha lebih keras, tak mau mencoba banyak peluang, terlalu pilih-pilih pekerjaan, menjadi top komen yang berhasil membuat mental anak muda sekarang ini semakin tangguh. Mental tempe? Lah wong tempe itu kan makanan yang memiliki protein tinggi khas Indonesia yang nilai gizinya telah diakui dunia, kok malah dijadikan konotasi negatif. Haduh.
Jadi bapak ibu, kawan-kawan, alangkah lebih indahnya bahwa kita saling memberikan dukungan kepada sanak saudara ataupun teman-teman kita. Dari pada sekedar mencerca, dibantu carikan info loker saja kami sudah gembira loh. Daripada ‘dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesti loro’. Jaman dulu dan sekarang ini sudah beda, tak perlu juga lah mengkotak-kotakkan mental. Setiap orang yang masih bisa berusaha sekuat tenaga dengan sisa dari patahan hujatan, nyinyiran, dan tuntutan keluarga hingga sosial itu sangat hebat loh. Kami terseok-seok sembari tangguh mencari kerja. Hebat kan, daripada cuma nyinyir.