Senin, Oktober 14, 2024

Pembajakan Buku Membunuh Pekerjaan Banyak Orang

Safar Bangai
Safar Bangai
Pegiat Arsip di Warung Arsip. Mantan Playboy.

Penerbit, penulis, dan semua yang terlibat dalam industri perbukuan menjadi resah karena pembajakan buku. Tidak tanggung-tanggung buku bajakan tersebut dijual bebas di toko buku luring dan daring, di marketplace seperti Bukalapak, Shopee, Tokopedia bejibun jumlahnya. Di Instagram dan Facebook pun buku bajakan merajalela.

Mengapa itu bisa terjadi? Bila kita tanya kepada pembaca yang kerap membeli buku bajakan, pasti akan menjawab: MURAH. Apa iya buku asli itu mahal? TIDAK JUGA. Penerbit-penerbit indie di beberapa kota menjual buku mereka begitu murah. Melalui preorder, akses kepada bacaan bermutu tidak sesulit yang dipikirkan oleh mereka yang doyan beli buku bajakan. Yang mahal itu bukan harga buku, tapi ongkos kirim dan PPN harga kertas.

Atau, bila tak ingin membuang uang Anda untuk membeli buku, perpustakaan digital solusinya. Tinggal beli paket data, masuk ke Play Store, unduhlah perpustakaan digital. Di sana sangat banyak judul buku. Melalui perpustakaan (digital), Anda bisa berhemat dan tak berdosa.

Banyak penerbit dan penulis “mengeluh” di media sosial atas tindakan pembajakan ini. Eka Kurniawan menulis perihal pembajakan buku di Facebook dan Muhidin M. Dahlan membuat esai di Mojok.co dan Jawa Pos. Mereka mengalami bagaimana ketidaksejahteraan penulis di negeri ini.

Tere Liye sempat mengeluhkan royalti penulis yang kecil dan pajak yang tinggi, tidak menghitung hari, keluhan itu langsung direspons oleh pemerintah. Bagaimana dengan keluhan penulis lainnya mengenai pembajakan buku tersebut? BELUM ADA KABAR.

Mayoritas penerbit Jogja dan Jakarta resah terhadap masalah ini. Pemilik penerbit Jogja kebingungan bagaimana mengatasinya. Penerbit di Jakarta, seperti Marjin Kiri kalang kabut melihat buku terbitan mereka dibajak dan dijual bebas di marketplace dan media sosial. Siapa yang harus bertanggung jawab?

Saya tampilkan status Ronny Agustinus, pemilik penerbit Marjin Kiri, di Facebook, 25 Februari 2019:

Kawan-kawan yang masih peduli perbukuan Indonesia, saya mengharapkan bantuannya melaporkan massal akun Buku Rakyat di IG agar segera diambil tindakan. Akun ini menjual banyak sekali buku bajakan yang jelas bukan hanya dari Marjin Kiri saja, tapi juga aneka penerbit baik besar, kecil, mayor, indie. Dia secara jelas mencantumkan nonori pada deskripsi.

Tahun lalu kami sudah mengingatkannya lewat WA maupun DM tapi rupanya tidak dianggap serius sehingga sepertinya memang harus seperti ini cara mengingatkannya.

Dulu juga, alasan membajak buku adalah bukunya sudah langka sementara cetak ulangnya tidak ada. Lalu ada juga yang bilang, ah penulisnya sudah kaya, buku dibajak juga tidak apa-apa. Buku Konferensi Asia Afrika karya Wildan Sena Utama ini jelas mematahkan alasan-alasan enggak bermutu dan enggak masuk akal tersebut. Buku ini aslinya masih banyak beredar dan mudah didapat, lalu saya tahu betul penulisnya yang adalah pengajar dan peneliti, bukan orang kaya. Dia membutuhkan royalti dari penjualan bukunya yang jelas2 digarong oleh pembajak-pembajak berkedok ideologis macam Buku Rakyat ini.

Tapi kan enggak cuma Buku Rakyat saja pelakunya? Benar, tapi kita bisa mengupayakan para pembajak ini ambruk satu-satu dari media sosial dan marketplace.

Buku Rakyat beralamat di Kec. Depok, Kab. Sleman, DI Yogyakarta. Saya mengecek kembali akun IG-nya, alamat lengkap sudah tidak ada. Mereka takut. Dan, ini perlu ditindak secara hukum apabila mereka tidak mau menghentikan penjualan buku bajakan tersebut. Yang mengagetkan adalah akun IG-nya memiliki pengikut 18 ribu. Sudah berapa keuntungannya dari hasil jualan buku bajakan? Saya tidak bisa membayangkannya.

Toko buku bajakan lainnya, seperti Wacana Sosialis menjual buku bajakan di Shopping, pasar buku terbesar di Jogja. Wacana Sosialis bertempat di lantai 2, naik tangga, belok kiri, lorong tengah, kios kedua sebelah kanan.

Saya pernah membeli buku bajakan. Saya kira kebanyakan mahasiswa baru yang menginjak Jogja pernah melakukan ini. Saat saya terlibat di dunia buku, ternyata membuat buku itu susah. Susah. Sangat susah.

Menulis itu susah. Mengedit itu susah. Memeriksa aksara itu susah. Me-layout itu susah. Mendesain sampul itu susah. Dengan serba susah ini ditambah lagi kesusahan mereka oleh pembajak buku. Royalti penulis terputus. Pemutaran keuangan di penerbit mandek.

Coba baca kembali status Ronny Agustinus di atas!

Atau, kita simak cuplikan esai Muhidin M. Dahlan, “Pram dan Pembajakan Buku”, yang dimuat di Jawa Pos, 7 Februari 2019: “Soal pembajakan buku, Pram tak punya kata damai. Bahkan, bila itu dilakukan sahabat terdekatnya sekalipun. Lebih baik putus tali persahabatan yang lama ketimbang membiarkan praktik pembajakan buku berlangsung di hadapannya. Tak ada kemuliaan persahabatan (arti dari Hasta Mitra) dalam perihal pembajakan”.

Pramoedya tidak mau akur dengan pembajak buku. Selain karena merugikan penulis dan penerbit, pembajakan buku adalah tindakan kriminal.

Yang jadi pertanyaan, ke mana saja pelaku perbukuan Indonesia? Mengapa tidak melaporkan pembajakan buku tersebut? Bagaimana kabar IKAPI?

Bila kita lihai menggoreng isu penyitaan buku komunis, mengapa tidak bisa menggoreng isu pembajakan buku? Padahal, banyak orang yang dirugikan. Bahkan, membunuh banyak orang, sebab sirkulasi bisnis buku terhambat. Penerbit kolaps. Pekerja dipecat. Keuangan keluarga terancam. Siapa yang diuntungkan di sini? Jelas produsen dan penjual buku bajakan.

Pada 21 April 1997, Gatra meliput fenomena pembajakan ini. Redaksi memberi judul “Pembajak Pun Tetap Melenggang”. Pembajakan buku telah membuat rugi penerbit Balai Pustaka sebesar Rp125 miliar. Jumlah yang banyak. Tidak hanya Balai Pustaka yang mengalami kerugiaan pada saat itu, pun Mizan dengan buku terbaik mereka, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai Persoalan Umat karya M. Quraish Shihab. Kamus Inggris-Indonesia dan Kamus Indonesia-Inggris karya John M. Echols terbitan PT Gramedia Pustaka Utama hingga sekarang bajakannya masih banyak beredar.

Yang perlu dimusnahkan adalah produsen dan penjual buku (bajakan). Walaupun UU Buku belum ada, tapi UU yang mengatur Hak Cipta sudah jelas. Mengapa kita tidak berani melapornya? Daripada meributkan cebong dan kampret, lebih baik pelaku buku seluruh Indonesia menentukan sikap bahwa pembajak buku harus dihabisi dari akar-akarnya. Itu mudah bila kita mau.

Safar Bangai
Safar Bangai
Pegiat Arsip di Warung Arsip. Mantan Playboy.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.