Jumat, April 19, 2024

Papua, Eksploitasi, dan Lahirnya Suatu Negeri

Riyan Danu
Riyan Danu
Alumnus SMKN 18 Jakarta. Tinggal di Malang.

Negara dengan luas wilayah terbesar di Asia Tenggara merayakan hari jadinya ke-74. Dari Sabang Sampai Marauke, itulah klaim yang sampai detik ini didoktrinkan kepada masyarakat umum (khususnya di pulau Jawa) sejak di bangku sekolah dasar. Namun dalam sejarahnya, upaya Republik Indonesia dalam meraih teritorialnya banyak menempuh jalan pemaksaan, intimidasi, represi, bahkan pembunuhan.

NKRI Harga Mati, sudah tutup mata dan telinga kita akrab dengan slogan tersebut. Mulai dari institusi pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi tak sekalipun abstain dalam mencekoki slogan ini. Slogan yang acap terdengar di orientasi sekolah, ospek, upacara bendera saban senin–umumnya di sesi pidato singkat amanat pembina upacara, hingga pidato wisuda kepala sekolah maupun rektor.

Bukan hanya institusi pendidikan, tak jarang institusi dengan basis agama pun punya andil besar dalam penyebarluasan slogan NKRI Harga Mati. Begitupun dengan institusi militer yang menganggap slogan ini sebagai dogma yang tak terbantah.

Dalih NKRI

Masih ingat dengan konflik bersenjata di provinsi Serambi Mekkah yang berawal ketika Hasan di Tiro, seorang cicit ulama terkemuka dari Pidie, memproklamasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976? Sejak itu, TNI memperlakukan seluruh penduduk sipil Aceh sebagai kombatan yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Hingga 2005, konflik yang berlangsung nyaris selama 30 tahun ini tercatat telah menewaskan sekitar 15.000 warga sipil.

Alasan Hasan di Tiro melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia bukan tanpa sebab. Michael L. Ross dalam karyanya yang berjudul Resources and Rebellion in Aceh menuliskan bahwa salah satu motivasi utama Hasan di Tiro selama bergerilya bersama GAM adalah isu kedaulatan sumber daya alam Aceh. Proyek eksploitasi gas alam oleh negara dan dibukanya keran investasi gas alam untuk perusahaan asing dinilai Tiro sebagai sebab dari miskinnya sosial ekonomi masyarakat Aceh.

Pada tahun 2005 pemerintah Indonesia dan GAM dibantu Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari sebagai fasilitator menandatangani nota kesepakatan damai. Dan tanggal 27 Desember 2005, GAM melalui juru bicara militer Sofyan Dawood menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal. Konflik usai sudah, namun alasan negara melakukan penyerangan terhadap warga yang hanya ingin melindungi aset daerah dan justru menuduhnya sebagai upaya melawan negara, merupakan suatu kesesatan berfikir.

Aceh dan Papua mengalami nasib serupa, diperjuangkan demi kepentingan eksploitasi. Jika kita lebih teliti dalam melihat sejarah, Pada 19 Desember 1961 Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima. Komando mandala diberi tugas guna Merencanakan, Mempersiapkan, dan Menyelenggarakan “Operasi Militer” untuk menggagalkan rencana kerajaan Belanda membuat “negara boneka” di Papua.

7 April 1967 setelah Soeharto berhasil mengkudeta Soekarno, ia menetapkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman Modal Asing. Kontrak karya itulah yang menciptakan sejumlah permasalahan di Papua Barat, disamping terus melancarkan operasi-operasi militer untuk menumpas kelompok-kelompok revolusioner di Papua Barat.

Operasi militer berujung dengan New York Agreement pada 15 Agustus 1962 dimana Amerika Serikat menekan Belanda menyerahkan Papua ke pihak Indonesia. Pada 1969, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan penentuan pendapat rakyat di Papua. Idealnya ini harus one-man-one-vote.

Dalam upaya referendum ini, Indonesia justru melakukan tindakan-tindakan yang syarat dengan kepentingan untuk menduduki Papua Barat. Banyak represi yang terjadi terhadap orang-orang Papua.

Dalam The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962-1969 karya John Salford, menjelaskan bagimana seorang wakil Papua dalam musyawarah di Mulia, Puncak Jaya, bertanya kepada wakil pemerintah Indonesia tentang apa yang akan terjadi bila dia memilih merdeka. Jawabannya sederhana. Dia akan ditembak.

Pemerintah Indonesia pun berupaya mengusir masyarakat Papua dari tanahnya. Upaya itu dilakukan melalui pembukaan lahan bisnis perkebunan. Membumihanguskan hutan-hutan guna membuka lahan kelapa sawit, beras, tebu untuk menopang kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, terkhusus Jawa. Dan tentu saja, mencemarinya dengan tumor raksasa PT. Freeport.

Akibatnya mereka yang tinggal di daerah dengan sumber daya paling kaya di dunia, menurut Badan Pusat Statistika, Papua memiliki banyak penduduk miskin. Di Tahun 2017 jumlah total penduduk Papua mencapai 4,1 juta, sebanyak 1,1 juta merupakan penduduk miskin.

Sampai saat ini nasib Papua belum menemui titik terang. Jumlah korban dalam tragedi berkepanjangan ini tidak diketahui pasti, namun dari tahun 2010-2018 Amnesty Internatinal mencatat ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum dengan pelaku petugas keamanan di Papua. Amnesty International juga mencatat ada 25 kasus yang tidak diselidiki sama sekali.

Narasi heroisme 

Jika kita melihat sejarah Aceh dan Papua yang diajarkan di buku pelajaran sekolah, kita akan menemukan cerita heroisme Tentara Nasional Indonesia dalam mempertahankan Indonesia dari upaya-upaya separatisme, serta pembebaskan Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Diksi yang ditulis pun ironi; “Pembebasan” Irian Barat. Namun ada satu hal yang harus kita ketahui, sejarah selalu ditulis oleh pemenangnya dalam rangka memuluskan segala kepentingan.

Ini selaras dengan apa yang dikatakan Michel Foucault tentang lahirnya resistensi dan relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan beroperasi lewat sistem sosial yang ada, termasuk lembaga pengetahuan-pendidikan. Kekuasaan dioperasikan dengan mekanisme pelarangan, pembatasan dan lain-lain.

Maka jika dilihat dengan lebih teliti, masyarkat Aceh dan Papua adalah orang-orang yang dipaksa kalah diatas kekayaan hayati lingkungannya. Mereka dialienasi dari kekayaan hayatinya. Dimiskinkan secara terstruktur, melalui praktek kotor dan hukum-hukum yang memihak penguasa dan pengusaha.

Perampokkan kedaulatan hayati, ironisnya atas nama kesejahterahan bersama yang ditentukan dengan nominal pemasukkan negara dari hasil pajak investasi asing terhadap eksploitasi sumberdaya hayati masyarakat.

Demi kesejahteraan bersama? Tidak kawan, ini hanyalah praktik kolonialisme baru, imprealisme baru. Sebab orang pemilik lahan, dipaksa untuk melepaskan tanahnya dan kemudian dipekerjakan sebagai buruh lepas harian untuk memenuhi konsumsi orang-orang menengah-atas di luar wilayah itu.

Kongkalikong para pengusaha dan penguasa sambil didukung sembunyi-sembunyi oleh banyak wakil rakyat dan di backup oleh aparat-aparat keamanan.

Apa yang harus kita lakukan?

Ada baiknya masyarakat modern Indonesia mulai melihat konsep “kesejahteraan bersama” secara lebih luas, memiliki slogan yang lebih global. Kesejahteraan bersama tak sebatas NKRI Harga Mati, namun juga perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

NKRI merusak HAM harus dilawan. Hak untuk hidup, hak untuk menikmati SDA, hak kebebasan berekspresi, dan hak merdeka atas sumber daya hayati adalah harga mati!

Riyan Danu
Riyan Danu
Alumnus SMKN 18 Jakarta. Tinggal di Malang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.