Resensi Buku: Usman Hamid dan Darmawan Triwibowo (ed.), Menolak Matinya Intelektualisme, Jejak Perjalanan dan Pemikiran A.E. Priyono; dan Usman Hamid dan Ahmad Taufiq (ed.), Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi, Setangkai Kesaksian Sosok A.E. Priyono. Kedua buku ini diterbitkan Mizan, Jakarta (2020). Dunia perbukuan Indonesia, terutama di era 1980 hingga 1990-an, diwarnai oleh buku-buku hasil terjemahan dan suntingan A.E. Priyono (selanjutnya disebut AE). Terutama buku-buku berkualitas bertemakan keislaman, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Buku-buku hasil olahannya kala itu begitu menginspirasi, terlebih bagi kalangan pergerakan mahasiswa yang sedang berjuang melawan rezim Orde Baru.
Dalam epilog yang ditulis oleh Amich Alhumami dalam buku Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi, ia mengatakan bahwaq AE adalah sosok intelektual yang punya pemikiran yang sangat serius, reflektif, dan mendalam mengenai isu isu penting, strategis dan fundamental terutama di bidang politik, demokrasi, pemikiran Islam, aktivisme Islam serta kontestasi ideologi dan mazhab pemikiran. Kematangan intelektual AE tergambar sangat jelas melalui berbagai karya tulis, seperti artikel ilmiah popular, artikel jurnal, esai yang termuat di dalam buku kumpulan karangan, dan buku-buku lain dengan standar kualitas bagus yang disuntingnya, atau ia sebagai editor.
Cukup banyak karya yang dihasilkan oleh A.E. Salah satunya yang terkenal di alam pemikiran Islam Indonesia, adalah suntingan kreatif dan elaboratifnya terhadap pemikiran Kuntowijoyo, cendekiawan Muslim dan sejarawan terkemuka UGM, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, yang diterbitkan Mizan pada 1991. Buku ini sangat terkenal dan bermutu yang membuatnya makin masyhur di kalangan para sarjana dan intelektual Muslim.
Dalam memberikan kata pengantar pada buku tersebut, AE menegaskan titik utama atau poin penting dalam pemikiran Kuntowijoyo. Yakni bagaimana agar Islam bisa dipahami sebagai etika profetik. Menurut pandangannya, gagasan etika profetik tersebut lahir dari penelusuran Kuntowijoyo atas doktrin-doktrin pokok konvensional Islam mengenai tauhid, yang ditafsirkan sebagai prinsip universalisme Islam, yaitu Tuhan yang satu, dan kemanusiaan yang satu. AE berpendapat, di samping tauhid, ada doktrin lain yang dipahami sebagai misi bersama agama-agama, yakni emansipasi/humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Membaca kata pengantar yang apik tersebut, bukan hanya bermanfaat bagi para pembaca untuk bisa langsung mendapatkan ide sentral dari Kuntowijoyo. Apa yang diuraikan oleh AE, telah membawa ketertarikan bagi banyak peminat pemikiran Islam saat itu, baik kepada pemikiran Kuntowijoyonya, maupun kepada sosok AE. Dia seperti menuntun para pembaca tulisan demi tulisan Kuntowijoyo agar pesan utamanya dipahami.
Tak berlebihan pelibatan untuk memahamkan itu kalau ditarik dengan subjudul yang dibuat AE, Interpretasi untuk Aksi. Kalimat ini tak hanya menggerakkan tapi juga memancing terus menimba khazanah. Dan kalimat ini kendati berlanggam intelektual tapi tidak bertendensi genit sensasional, sebagaimana beberapa editor yang berlatar sama dengannya, sering melakukannya. Sangat jarang nama editor terangkat bersama dengan menyuatnya sang tokoh. Terangkat sekali lantas dikenal luas. Bersama populernya nama Kuntowijoyo pada waktu itu, popular juga A.E. Pryono.
AE yang wafatpada 12 April 2020, adalah sosok penting bagi dunia aktivisme ataupun intelektualisme. Selain Paradigma Islam, karya lain suntingan AE yang sepertinya menu wajib aktivis ataupun peminat intelektualisme generasi 1990-an adalah Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, dan Tantangan Dunia Islam Abad 21. Bersama Usmad Hamid, mantan koordinator Kontras, AE juga melahirkan buku tebal berjudul Merancang Arah Baru Demokrasi; Indonesia Pasca-Reformasi. Buku 899 halaman ini khas AE, merupakan kumpulan karangan. Namun ide dasarnya yang terpenting: bagaimana mengisi demokrasi dengan penguatan masyarakat dengan menghadirkan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.
Demikianlah, ketika banyak kaum intelektual terbawa jadi pendengung kekuasaan, AE sepertinya memilih jalur senyap sesuai idealismenya. AE memilih untuk menjadi pemikir sambil berusaha memberi kerangka atas semua praktek perubahan sosial yang dilakukan oleh para intelektual maupun aktivis.
AE dikenal sangat cemerlang dalam membuat sajian tulisan. Ia punya kemampuan merajut berbagai gagasan yang berserak. Banyak orang kagum membaca pengantarnya, memilah tiap gagasan, merakitnya dengan rapi dan kemudian memberinya diskripsi yang utuh. Ia seperti memberi peta tiap kali membaca pengantarnya. Mungkin itulah yang hilang dari kalangan cendekiawan atau penulis hari ini. Kemahiran membuat peta sehingga kita jadi paham kita berada di mana dan seberapa jauh jalan yang sudah dilintasi.
Sosok AE adalah teladan bagi anak-anak muda. Terutama soal keteguhan dan komitmennya terhadap demokrasi di Indonesia. Juga ketulusannya terhadap mereka yang terpinggirkan. Kiprah intelektual AE ini bisa dibaca pada dua buku yang membahas tentang AE ini, yakni Menolak Matinya Intelektualisme dan Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi, yang ditulis oleh berbagai kalangan, seperti akademisi, intelektual, jurnalis, dan seterusnya. Kedua karya ini menyadarkan kita, berefleksi dari hidup AE, masih banyak tugas-tugas dan kerja-kerja intelektual yang perlu diteruskan.
Buku Menolak Matinya Intelektualisme yang dieditori oleh Usman Hamid dan Darmawan Triwibowo, ditulis untuk mengenang dan sebagai bentuk penghormatan untuk seortang aktivis prodemokrasi, yaitu AE. Priyono. Buku ini memberikan pembelajaran yang amat berharga. Dari AE kita bisa belajar, sikap ideal dari seorang intelektual adalah selalu menautkan antara teori dan praksis. Buku ini sangat penting untuk dibaca, terutama untuk kalangan muda milenial, karena dapat menumbuhkan semangat menjadi seorang intelekual organik dan profetik.
Sementara, buku kedua, Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi yang dieditori oleh Usman Hamid dan Ahmad Taufiq merupakan buku yang penting untuk dibaca dan dikaji lebih lanjut. Buku ini di samping untuk mengenang sosok ilmuwan dan aktivis pro-demokrasi, yakni AE Priyono, buku ini juga berisi catatan-catatan kritis terkait permasalahan demokrasi Indonesia yang menjadi keresahan AE, dan masih perlu terus kita refleksikan dalam situasi sekarang.
Permasalahan dalam demokrasi Indonesia yang menjadi keresahan AE misalnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Wilson Obrigados, dalam buku ini, yakni soal maraknya politik identitas, dan terjadi diskoneksi antara basis lokal gerakan demokrasi dan konsolidasinya di tingkat nasional. Langkah strategis yang bisa ditempuh untuk menyikapi dua tantangan demokratik itu, yakni dengan mengembangkan basis-basis massa yang inklusif, serta mentransformasikan gerakan sosial keagamaan berdasarkan pemihakan politik kelas. AE pun menyuarakan agar nilai-nilai Islam tentang politik diintegrasikan ke dalam gerakan demokratisasi (h. 273).
Demokrasi membutuhkan ruang publik yang bebas dari dominasi sempit agama, etnik ataupun sentimen-sentimen primordial lainnya. Semakin mengkristalnya sentimen primordial ke dalam ruang publik, hal itu akan mengganggu proses konsolidasi demokrasi itu sendiri. AE sendiri diketahui aktif dalam melakukan pemberdayaan masyarakat sipil, ia berupaya menguatkan basis-basis massa di tingkat lokal. Ini perlu untuk terus diupayakan, agar diskursus-diskursus mengenai demokratisasi tidak hanya berhenti pada teks. Buku ini bisa juga menjadi bahan renungan atau refleksisekaligus pengingat bahwa masih ada tanggung jawab etis bagi kalangan yang disebut intelektual. Masih banyak kerja-kerja intelektual yang perlu untuk terus diupayakan untuk memperbaiki mutu demokrasi di Indonesia.
Menurut Usman Hamid, ada tiga tema besar yang menjadi perhatian dan terpancar dari pemikiran A.E. Priyono, yakni demokrasi, hak asasi, dan Islam. Usman Hamid mengemukakan, AE Priyono percaya bahwa ketiga tema tersebut memiliki beragam nilai intrinsik kebajikan manusia, salah satunya adalah keadaban. Meskipun AE Priyono sendiri menyadari ketiga kaidah tersebut kerap melahirkan interpretasi yang diwarnai kesalahpahaman, kontroversi dan pertentangan (h. 3).
Bagi AE Priyono, ketiga tema tersebut selalu dalam ruang kontestasi yang tidak berkesudahan. Selama hidupnya, AE tidak pernah menemukan batas akhir yang konklusif di mana ketiga tema tersebut berjalan dalam keterpaduan. Bahkan, ketika ia mendalami sufisme dan pemikiran Islam, ia tetap terlihat tidak menyerah untuk mencari titik perjumpaan pemikiran-pemikiran di balik tiga tema tersebut (h.4). Kita bisa menjumpai ketiga tema tersebut dalam buku-buku yang disuntingnya maupun tulisan-tulisannya. AE terlihat berusaha untuk mempertemukan tiga topik tersebut, karena ia meyakini di dalam ketiga tema tersebut terdapat nilai-nilai kebajikan yang dapat memajukan peradaban.
Usaha AE tersebut bisa kita lihat melalui buku yang disuntingnya, yakni Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi yang diterbitkan oleh Mizan yang sudah disebut di atas, yang dapat dikatakan merupakan usaha AE untuk mempopulerkan gagasan Islam yang berkesesuaian dengan nilai universalisme hak-hak asasi, yang tertuang dalam pemikiran Kuntowijoyo. Selain itu, kita bisa juga melihat dalam tulisan AE Priyono sendiri, yakni Masa Depan Islam-Politik dan Islamisme di Indonesia (2019), di mana AE berpendapat bahwa apa yang disebutnya sebagai post-Islamisme perlu dikembangkan untuk keberlangsungan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Kedua buku, Menolak Matinya Intelektualisme, Jejak Perjalanan dan Pemikiran A.E. Priyono; dan Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi, Setangkai Kesaksian Sosok A.E. Priyono ini mencoba menggali pemikiran dan aksi A.E. dari berbagai dimensi. Usman Hamid, salah satu editor dari kedua buku ini, yang juga dikenal sebagai aktivis HAM terkemuka di Indonesia, memetakan sosok multidimensi A.E. dengan meminjam perspektif Paul Johnson, ketika melakukan sebuah eksaminasi atas sosok-sosok intelektual terkemuka di dunia seperti J.J. Rousseau, Karl Marx, Tolstoy, hingga Bertrand Russel.
Paul Johnson menilai seorang intelektual dengan menakar konsistensi para intelektual itu, misalnya bagaimana mereka memperlakukan keluarga dan pasangannya; seberapa setia terhadap sahabat-sahabatnya; dan seberapa hebat penghormatan seorang intelektual pada nilai-nilai kebenaran. Dari kedua buku tersebut menurut Usman Hamid, kita dapat menakar konsistensi dan integritas seorang A.E. Priyono.
Membaca kedua buku ini, tampak jelas bagaimana dedikasi tinggi seorang AE dalam memperjuangkan kehidupan demokrasi. Beliaupun menyadari bagaimana posisi marginal masyarakat saat ini. Oleh karena itu, ia mengemukakan mengenai pentingnya pemberdayaan masyarakat sipil, terutama dengan membangun basis-basis kekuatannya di tingkat lokal.
Hal yang paling mengagumkan, berdasarkan keterangan para koleganya, AE sangat aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat di tingkat lokal. Kesemua itu dilakukannya bukan berdasarkan keuntungan pribadi. Ia melakukan itu semua, sebagai wujud konkret bagaimana ia ia ingin memperkuat mutu demokrasi kita. Bukan sebatas wacana akademis semata, melainkan sebagai sebuah praxis.
AE meskipun raganya telah meninggalkan kita, akan tetapi pikiran-pikirannya akan tetap hidup. Perspektif dari AE yang terekam dalam kedua buku ini, dapat menjadi pengingat kita bahwa masih banyak perjuangan-perjuangannya yang perlu diteruskan, masih banyak masalah-masalah dalam kehidupan politik kita, yang perlu kita carikan dan advokasikan solusinya.
A.E. tetaplah seorang A.E. yang menjalani hidup dengan idealisme dan sarat ilmu. Sampai akhir hayatnya. Ia hanya ingin tetap bermakna dan bermanfaat untuk perkembangan aktivisme keilmuan dan transformasi Indonesia yang lebih baik. “AE boleh pergi dahulu, tetapi catatan-catatan kritis A.E pasti akan terus hidup bersama orang-orang yang menyadari bahwa demokratisasi di Indonesia belum selesai,” ungkapan tersebut ditulis oleh Andrinof A. Chaniago dalam buku Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi (h.108).
A.E. lahir di Temanggung 6 November 1958, dan wafat di Jakarta 12 April 2020. Phneumonia di paru-paru kanannya mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Kepergiannya sangat layak diantar ungkapan terima kasih dari banyak sekali orang. Aktivisme AE dikenal sejak duduk di bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
A.E. pernah memimpin majalah Mahasiswa Keadilan, Ketua Komisariat HMI FH UII, dan Ketua Cabang HMI Yogyakarta. Semasa hidup, almarhum pernah bergiat di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) serta lembaga kajian dan advokasi hak asasi manusia, Demos. Ia juga merupakan salah satu pendiri Majelis Sinergi Kalam (Masika) Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI).
——————–
A.E. Priyono adalah penggagas laman forum yang sekarang kita sebut “Esoterika-Forum Spiritualitas”. Untuk mengenangnya, dan terus menyosialisasi gagasannya dalam dua buku yang diterbitkan baru-baru ini, yaitu Usman Hamid dan Darmawan Triwibowo (ed.), Menolak Matinya Intelektualisme, Jejak Perjalanan dan Pemikiran A.E. Priyono; dan Usman Hamid dan Ahmad Taufiq (ed.), Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi, Setangkai Kesaksian Sosok A.E. Priyono, jika teman-teman tertarik mau membacanya, silakan teman-teman cari di Penerbit Mizan, Jakarta.