Rabu, April 24, 2024

Michael Bambang Hartono, Getting What Money Can’t Buy

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Apa yang tidak bisa dibeli oleh Michael Bambang Hartono, salah satu orang terkaya di Indonesia? Tidak banyak. Dengan kekayaannya yang melimpah ruah, ia bisa membeli banyak hal. Tapi tetap saja ada benda atau hal-hal yang tidak bisa dibeli. Satu di antaranya adalah medali Asian Games. Demikian pula medali Olimpiade.

Dulu ada banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Seiring perkembangan dunia yang makin materialis, hal-hal yang tak bisa dibeli itu berubah menjadi bisa dibeli. Misalnya, gelar sarjana. Tidak langsung seperti orang membeli beras memang, tapi dengan uang Anda bisa terdaftar di sebuah perguruan tinggi (termasuk PTN ternama), lalu menjadi sarjana, hingga doktoral. Segenap bagian organisasi, termasuk dosen-dosen intelek
siap melayani Anda. Bahkan profesor, yang bukan gelar akademik melainkan jabatan, bisa diperoleh dengan uang.

Demikian pula dengan gelar bangsawan, gelar adat, dan sejenisnya. Dengan sejumlah uang Anda bisa mendapatkannya. Ada yang dijual dengan cara yang nyaris literal. Ada yang melalui proses yang agak rumit guna menutupi substansi transaksinya.

Hal lain yang juga bisa dibeli adalah status “penulis”. Orang-orang kaya bisa menyewa “ghost writer” untuk menulis buku atau artikel, yang kemudian diterbitkan atas nama si pembayar. Orang-orang yang membaca akan mengira bahwa itu gagasan si pembayar.

Nah, medali Asian Games bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang. Seseorang dengan uang berlimpah bisa jadi pengurus organisasi olah raga. Ia mungkin bisa membayar sejumlah orang untuk menempatkan dirinya dalam tim yang ikut bertanding. Prosesnya mirip dengan orang kaya yang bisa membeli status calon gubernur atau calon wakil presiden dari pengurus partai. Tapi mendapatkan medali di Asian Games adalah hal yang sama sekali berbeda. Satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah dengan prestasi nyata, yaitu memenangkan pertandingan.

Ada orang-orang yang masih bisa menikmati hal-hal palsu yang ia beli. Ada yang tidak. Ia hanya bisa menikmati sesuatu yang substansial. Dulu waktu naskah pertama buku saya Emakku bukan Kartini  ditolak penerbit, ada teman yang menyarankan saya untuk memakai jasa “ghost writer”. Dengan jasa itu mungkin buku saya bisa terbit dengan segera. Tapi saran itu saya tolak, karena dengan cara itu saya tidak akan menikmati hal yang substansial, yaitu menulis. Melalui proses penulisan ulang dan revisi bertahun-tahun
akhirnya buku itu bisa diterbitkan, dan terjual cukup baik.

Bambang Hartono sepertinya adalah orang yang juga tidak suka dengan kepalsuan. Ia seorang penikmat substansi, dalam hal ini bermain bridge. Ketenaran mendapat medali, atau bonus dari medali itu, tentu baginya tidak penting. Bermain bridge, dan mengetahui level yang bisa dicapai adalah hal yang ia nikmati.

Orang yang sehat jiwanya seharusnya seperti itu. Coba kita bayangkan kalau ada seseorang yang memesan medali Asian Games, kemudian memajangnya sambil mengaku bahwa ia seorang juara. Apa yang kita katakan tentang dia? Orang gila. Label yang sama sebenarnya bisa dilekatkan pada orang-orang yang membeli kepalsuan tadi. Bedanya sedikit saja, yaitu proses untuk memperolehnya tidak terbuka seperti Asian Games, sehingga tidak banyak yang tahu. Tapi si pembeli sendiri tahu. Ia tahu bahwa ia palsu, tapi ia tetap menikmatinya.

Yang bisa kita jadikan pelajaran dari prestasi Michael Bambang Hartono ini adalah
sikap untuk fokus menjalani hal-hal yang substansial, dan tidak membeli kepalsuan, meski kita punya uang untuk membelinya.

Pelajaran lain adalah, memiliki berbagai sisi dalam hidup, dan sukses dengan berbagai sisi itu. Michael Hartono adalah orang sukses sebagai pengusaha. Tapi itu tidak membuat ia berhenti. Ia punya sisi lain, dan ia menekuni sisi itu sampai sukses juga. Boleh jadi itu pun belum lengkap baginya. Ia mungkin punya sisi lain yang juga ia tekuni.

Kita mengenal Jaya Suprana, seorang pengusaha di satu sisi, dan di sisi lain adalah seorang pemain piano. Ia pandai bermain piano, orang-orang menonton konsernya bukan karena ia orang kaya, tapi karena ingin menikmati permainan musiknya. Saya, selain menjalani profesi sebagai karyawan perusahaan, menekuni sisi lain, yaitu menulis. Saya menulis buku-buku, juga menulis kolom di media online. Hal lain yang juga saya tekuni adalah memasak.

Setiap orang pada dasarnya punya berbagai sisi atau bakat. Namun hanya sedikit yang mau dengan tekun mengasahnya. Banyak orang malah tidak menyadari bakat itu. Atau, sebenarnya bisa kita katakan bahwa sebenarnya tiap orang bisa berprestasi dalam banyak sisi hidupnya, selama ia mau menekuni berbagai sisi itu. Ada ungkapan “hard work will beat talent if the talent doesn’t work hard”. Artinya, kita sebenarnya bisa mengatakan “talent doesn’t matter, hard work does”.

Jadi, tidak terlalu penting untuk mencari-cari apa bakat kita. Cukup pilihlah sesuatu, lalu tekuni. Kita akan sukses dengan itu.

Michael Bambang Hartono mendapat medali perunggu Asian Games di usia 78 tahun. Mencapai usia itu saja pun sudah sebuah prestasi. Lebih penting lagi, usia bukan penghalang baginya untuk berprestasi. Age is just number.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.