Selasa, April 23, 2024

Merayakan Kematian PLN, Kita Mati Gaya

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah

PLN mati lagi untuk yang kesekian kali. Tanpa permisi dan basa basi. Lebih dingin dari kematian yang disebabkan malaikat pencabut nyawa, yang biasanya memberi tanda-tanda ritual kematian bagi alam di sekitarnya.

Rakyat marah, nyengir, dan bengong dengan matinya PLN. Rambu-rambu lalu lintas mati di berbagai tempat yang menyebabkan kemacetan berlangsung secara mendadak.

Bisnis terganggu seketika, karena tidak bisa bertransaksi akibat kehilangan energi. Banyak orang berhamburan ke luar rumah. Menghindari kejenuhan di rumah akibat mati listrik, yang menyebabkan rangkaian kematian lainnya. Terutama kematian media sosial yang bersifat “Suri”. Singkat kata kita mati gaya karena sinyal tak ada.

Kematian PLN menyebabkan pelanggannya menjadi cemberut dengan berbagai gaya, bak tengah selfi atau berswa foto. Selalu fenomena semacam ini yang muncul dan biasanya diikuti dengan protes plus caci dan maki atas berlangsungnya situasi itu.

Bagaimana memahami kematian PLN? Secara yuridis formal, pada Pasal 29 ayat huruf b UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, menyatakan bahwa, “Konsumen Berhak mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik”.

Artinya listrik tidak boleh mati, demikian kata teman saya di grup WA kami dengan serius. Saya menimpali dengan sedikit canda, “Listrik (PLN) tidak boleh mati. Pelanggan listrik boleh mati. Candaan itu sedikit menghibur. Ha ha….”

Listrik bisa saja mati, bahkan berhari hari dimungkinkan. Namanya juga buatan manusia. Segala yang diciptakan manusia dimungkinkan untuk mengalami gangguan, berupa kematian.

Pelanggannya boleh saja protes dan bahkan marah (dan tidak pernah berduka apalagi dengan cita) atas kematian listrik yang sering tanpa basa basi dan permisi itu.

Tetapi saya sepakat, bahwa PLN harus memberi konpensasi kepada masyarakat yang dirugikan, misalnya dalam bentuk voucher token dalam jumlah tertentu sebagai pertanggungjawaban atas kematiannya (baca: kelalaiannya).

Di sisi lain, manusia modern perlu merenungkan kehidupannya yang sangat bergantung pada energi, teknologi dan embel embel kemajuan jaman lainnya, yang tidak jarang membuatnya “mati kutu” dalam menghadapi bencana semacam mati listrik.

Ketergantungan kita dengan energi harusnya juga diletakkan dalam dimensi kesadaran yang fungsional, bahwa energi perlu diberlakukan dengan bijak dan arif.

Perilaku menghamburkan energi akan berdampak pada persoalan inefisiensi dan kerugian yang besar baik dalam skala personal terlebih lagi nasional. Sayangnya, masyarakat dan bangsa ini gemar sekali membuang energi yang dimilikinya.

Manusia modern juga, harus bersiap siap dengan mentalitas dan spiritualitas yang kokoh, manakala teknologi mengalami kematian dan bahkan mengancam kelangsungan hidup manusia.

Manusia perlu menyadari bahwa aspek ini, karena teknologi juga sesungguhnya bukan sekedar mati, tetapi sudah mengacam kehidupan manusia yang otonom dan privasi itu.

Itulah mengapa manusia dengan kehidupan modernnya sangat rentan masa depannya. Tapi kebanyakan manusia tidak pernah (mau) menyadari situasi itu, sampai mereka dihadapkan pada situasi to be or not to be.

Mari kita merayakan kematian PLN dengan bijak dan penuh keprihatinan.

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.