Rekan saya, orang Jepang yang bekerja untuk lembaga pemberi bantuan
pelatihan kepada para pekerja perusahaan di Indonesia bercerita tentang
turunnya minat para pejabat Indonesia terhadap manajemen industri.
Hal-hal yang selama ini menjadi isu sentral dalam pelatihan kepada
tenaga profesional Indonesia seperti soal Kaizen, 5S, Lean
Manufacturing, dan sebagainya, sepertinya sudah tidak menarik lagi bagi
mereka. “Mereka banyak bicara soal Industri 4.0,” katanya bercerita.
Dalam suasana kampanye pemilihan presiden sekarang pun kata kunci yang
sama menyeruak ke tengah perbincangan. Presiden Joko Widodo diberitakan
sudah meluncurkan Roadmap Industri 4.0. Menteri Perindustrian juga
berbicara tentang hal yang sama.
Tapi apa itu Industri 4.0? Kenapa ia jadi penting buat kita? Ringkasnya
itu adalah tahap keempat dari revolusi industri. Revolusi industri yang
pertama kita kenal dalam sejarah ketika mesin-mesin pertama kali dipakai
dalam industri. Ini dipicu oleh penemuan mesin uap oleh James Watt.
Sebelumnya proses produksi bertumpu pada tenaga manusia. Perlahan
mesin-mesin dengan kekuatan jauh melampaui kekuatan manusia dipakai.
Akibatnya, kapasitas produksi meningkat drastis.
Revolusi industri kedua ditandai dengan diperkenalkannya sistem produksi
massal oleh Henry Ford. Dengan sistem itu, produksi menjadi lebih
efisien, menghasilkan produk-produk yang ongkos pembuatannya murah.
Produk menjadi bisa dijangkau oleh lebih banyak lapisan masyarakat, dan
perusahan produsen berkembang menjadi lebih besar.
Revolusi ketiga adalah otomasi. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan
dengan tangan manusia kini digantikan oleh mesin-mesin otomatis. Hal-hal
rumit yang tadinya hanya bisa dilakukan oleh manusia, kini bisa
dilakukan oleh mesin-mesin cerdas, yang digerakkan oleh komputer yang
diprogram.
Industri 4.0 adalah industri yang digerakkan oleh komputer yang bisa
belajar. Komputer tidak lagi bekerja hanya berdasarkan program yang
dituliskan untuknya. Ia sudah bisa berpikir sendiri, menganalisis
situasi, dan memutuskan untuk bertindak sendiri. Ini dikenal dengan
sebutan Artificial Intelligence.
Nah, bagaimana situasi industri Indonesia? Sebelum bicara jauh, kita
perlu bertanya dulu soal apa itu industri Indonesia. Kalau kita lihat
industri negara lain, misalnya Jepang, Cina, Korea, Taiwan, dan
Singapura, kita akan menemukan hal-hal yang nyaris serupa. Industri
mereka dimulai setidaknya sejak zaman Industri 2.0. Banyak yang malah
sudah mulai dari Industri 1.0. Perusahaan berkembang dari industri
rumahan yang dikelola keluarga, tumbuh besar menjadi raksasa. Honda
misalnya, dimulai dari sebuah bengkel.
Apa yang membuat mereka begitu? Para pengusaha itu tidak pernah berhenti
belajar, untuk memahami teknologi baru. Lalu mereka berkreasi,
menciptakan teknologi baru. Perusahaan adalah learning center, tempat
anak bangsa belajar dan mengembangkan keahlian. Mereka menciptakan
teknologi sendiri, bukan membeli dari orang lain. Kalau pun ada yang
mereka beli, selanjutnya mereka kembangkan sendiri.
Apakah kita punya yang seperti itu? Ada, tapi tidak banyak. Yang lebih
banyak mengisi ruang-ruang kegiatan industri kita adalah
perusahaan-perusahaan asing, bukan perusahaan kita sendiri. Banyak dari
perusahaan itu yang masih menerapkan sistem Industri 2.0. Mereka pindah
ke sini dari negara asalnya untuk mendapat keuntungan dari tenaga kerja
murah. Ada juga yang berproduksi di sini karena target pasar mereka
adalah negara kita.
Jadi, kalau kita bicara soal Industri 4.0, kita bicara soal apa?
Kemungkinan besar kita bicara soal orang lain. Kita hanya bicara, bukan
pelaku. Industri kita di level 2.0 saja pun belum terwujud. Jumlahnya masih
jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kita.
Lalu, apakah semua bagian di negara maju itu sudah bergerak ke Industri
4.0? Tidak juga. Produk-produk Cina yang membanjiri pasar kita itu
banyak yang merupakan produk Industri 2.0. Produk-produk itu membanjiri
pasar kita, karena kita tidak punya industrinya. Artinya, sebenarnya
kita masih perlu berjuang sangat keras untuk membangun Industri 2.0.
Maksudnya, apakah tidak perlu bicara soal Industri 4.0? Perlu saja. Tapi
harus proporsional. Porsi terbesar kita seharusnya di 2.0. Perhatikan
bahwa berada di 2.0 itu bukan berarti kita usang dan ketinggalan zaman.
Dunia industri bergerak dari 2.0 ke 3.0 lalu ke 4.0 itu karena
kebutuhan, bukan untuk gagah-gagahan. Kalau memang masih perlu di 2.0
dan menghasilkan laba, kita tidak perlu tergopoh-gopoh untuk beranjak.
Kasarnya, jangan latah dan timpang. Jangan bicara Industri 4.0 agar
terlihat keren. Juga jangan sampai fokus terlalu kuat di situ, dengan
mengabaikan yang lain. Cina menjadi pemain utama industri manufaktur
dengan mengandalkan Industri 2.0. Justru itu kekuatan Cina yang
membuatnya sulit ditandingi negara lain. Cina tidak meninggalkan wilayah
itu, tentu dengan tidak mengabaikan yang 3.0 dan 4.0.
Prinsipnya, tak lari Industri 4.0 dikejar.