Belum lama ini saya berkunjung ke sebuah komunitas jemaat Kristen di daerah Jakarta Selatan. Saya tidak perlu menyebut namanya, karena saya kuatir bisa berdampak negatif pada mereka.
Mereka tidak bisa memiliki gereja, karena tidak pernah memperoleh izin pendirian gereja oleh Ketua RT di sana. Padahal segenap persayaratan lain sudah mereka peroleh, walau memang dengan cara yang tidak mudah. Mereka membangun gereja di tanah mereka sendiri sekitar 14 tahun yang lalu.
Selama tiga tahun, kondisi baik-baik saja. Namun kemudian, tiba-tiba saja, ada protes masyarakat menolak pendirian gereja.
Selama 11 tahun, umat Kristen di sana secara perlahan berusaha mendapat dukungan masyarakat setempat, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan juga pemerintah daerah.
Tuduhan yang dilontarkan para pemrotes adalah gereja akan melakukan Kristenisasi. Karena itulah, pengurus gereja terus berusaha mengambil hati rakyat dan mematahkan fitnah tersebut.
Usaha mereka sebenarnya berhasil. Tapi masalahnya, tetap saja ada suara-suara negative yang menyebabkan sang Ketua RT tetap tidak mau membubuhkan tandatangannya.
Apalagi di belakang pemrotes ada juga tokoh masyarakat berdana besar yang entah kenapa tidak menyukai gereja. Ironisnya, sebenarnya dalam peraturan pendirian rumah ibadah, tanda tangan RT itu sebenarnya dibutuhkan sekadar dalam kadar ‘mengetahui’ bukan ‘mengizinkan’.
Tapi bagaimanapun, ketiadaan tandatangan itu masih menjadi penghambat utama. Buat saya, ini sangat menyedihkan. UUD 45 sudah menjamin hak setiap warga beribadah sesuai dengan agama yang diyakininya.
DPR dan pemerintah seharusnya membuat Undang-Undang yang memberikan jaminan bagi Pembangunan rumah ibadah, yang tidak bisa begitu saja dibatalkan oleh para pemrotes.
Saya dan PSI berjanji akan memperjuangkan hak warga untuk memiliki rumah ibadah bila kami nanti masuk DPR.
Ayo gunakan akal sehat. Karena hanya dengan akal sehat, bangsa ini akan selamat.