Minggu, Oktober 6, 2024

Mengembalikan Kehormatan Presiden

Wiwin Suwandi
Wiwin Suwandi
Anggota Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan dan alumnus Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Jangan menyiram bensin pada api yang berkobar. Padamkanlah api itu dengan hati, bukan pakai polisi.

Bagaimana seorang pemimpin seharusnya? Bagaimana kekuasaan itu digunakan? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada seorang Stalin, Mussolini, Hitler, Reza Pahlevi, Marcos, Kim Jong II, Soeharto, dan semua diktator kelas wahid, maka mereka akan menggunakan tangan besi untuk berbicara kepada rakyatnya.

Tapi, jika pertanyaan ini diajukan kepada seorang Mahatma Gandhr, maka ia akan menjawab, “I suppose leadership at one time mean muscles, but today its mean getting alone with people.” (pada suatu saat, kepemimpinan berarti otot, namun pada hari ini, makna kepemimpinan adalah berbaur dengan semua orang). Itu kata Gandhi sesaat setelah ia mengonsolidasikan rakyat India untuk menentang penjajahan Inggris, yang kemudian dikenal dengan gerakan Swadeshi.

Dunia banyak melahirkan tokoh-tokoh besar, tidak sedikit dari mereka berwatak otoriter, tapi tidak sedikit juga yang memimpin dengan hati. Beberapa menjadi “besar” karena kejahatannya, sebagian lagi karena gaya kepemimpinannya yang menggunakan hati, sehingga dunia mengenal mereka sebagai negarawan yang dicintai rakyatnya.

Indonesia pernah memiliki pemimpin dengan dua karakter berbeda itu. Di era Orde Baru, Soeharto menggunakan tangan besi untuk mengekang demokrasi dan hak-hak sipil. Para pengkritik dipidana dengan pasal subversif, tidak sedikit yang meregang nyawa dan jasadnya tidak ditemukan sampai sekarang. Korupsi menyisakan hutang yang menggunung, dinasti politik dan para aristokrat korup membajak demokrasi.

Sebaliknya, gemilang reformasi menghadirkan dua pemimpin negarawan yang menjadi antitesis Soeharto; Habibie dan Gus Dur. Habibie dikenal karena membuka keran demokrasi bebas dan menjamin kebebasan sipil. UU Pers, menjamurnya parpol, bahkan Habibie memerintahkan Jaksa Agung saat itu untuk membebaskan semua tahanan politik yang dipenjara Orba. “Penjara hanya untuk kriminal, bukan mereka yang berbeda pendapat,” ujarnya saaat itu.

Gus Dur mengedepankan dialog dan hati untuk menyelesaikan masalah Papua. Ia bahkan mengembalikan hak sipil tapol dan napol yang di cap “komunis” oleh rezim Orba. Istana terbuka untuk siapa saja yang hendak berdialog dengan Presiden. Ia bahkan berani “berkelahi” dengan DPR dengan mengeluarkan maklumat pembubaran DPR yang dianggapnya sudah sangat korup dan abai saat itu.

Keduanya adalah presiden dan negarawan dalam waktu bersamaan. Meskipun kudeta politik mengakhiri kepemimpinanya, itu tidak mengurangi kredit negarawannya. Karena semua tahu, kudeta politik itu didesain oleh para politisi demagog.

Habibie melemparkan senyum saat pidato pertanggungajawabannya tidak diterima DPR. Gus Dur menghalangi rencana pengerahan massa Ansor besar-besaran, saat ia dilengeserkan secara licik sebagai Presiden. “Indonesia lebih berharga dari jabatan Presiden”. Ia lebih memilih mengorbankan jabatannya daripada menyaksikan sesama anak bangsa bertikai, betapa mulianya.

Sipil yang Militer

Habibie dan Gus Dur adalah dua model kepemimpinan sipil yang menggunakan cara-cara sipil dalam menjaga demokrasi. Keduanya meletakkan fondasi bernegara yang sangat penting dalam diskursus demokrasi, yaitu dialog-musyawarah. Akan tetapi, sangat disayangkan, kepemimpinan sipil pasca keduanya justeru menggunakan cara militer untuk berkomunikasi dengan rakyat yang telah memilihnya.

Gejolak Papua dihadapi dengan senjata, bukan dialog. Gelombang aspirasi rakyat yang menolak disahkannya beberapa UU dan RUU kontroversial, dihadapi dengan popor senapan, baracuda dan gas air mata.

Pada era ini brutalitas aparat dijadikan alat intimidasi. Mereka yang mengkritik dikenakan pasal makar dan penghasutan. Pada era ini hak imunitas advokat diterabas saat advokat mendampingi korban penggusuran. Pengacara publik ditangkap dan disidang saat mendampingi aksi buruh.

Pada era ini pengangkangan hukum paling brutal dengan menggunakan aparat berpakaian preman untuk memukuli warga yang menyampaikan pendapatnya secara konstitusional. Pembangkangan terhadap hukum acara pidana (KUHAP) terjadi secara terang-terangan, penangkapan tanpa surat penangkapan dan pemberitahuan kepada keluarga korban.

Aparat keras terhadap pengkritik yang dianggp “melawan rezim”, tapi diam dengan aksi persekusi kelompok masyararakat terhadap masyarakat lain. UU ITE dijadikan alat legitimasi untuk melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang berbeda pendapat di media sosial.

Sang Pemimpin hendak membangkitkan “hantu Orde Baru” yang sudah membusuk dalam buku sejarah melalui pasal subversif dalam RKUHP, hantu yang masih menyisakan trauma, utamanya keluarga korban penculikan yang janjinya juga dikhianati. Kebebasan pers dan hak imunitas advokat juga terancam dengan RKUHP ini. Kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi hendak dimatikan oleh RKUHP.

KPK hendak dimatikan dengan desain yang mengerikan; pembentukan Dewan Pengawas (DP), alur izin sadap yang melibatkan DP, wewenang menerbitkan SP3, pegawai KPK adalah ASN, dan banyak pasal kontroversi lain. Ironisnya, KPK hendak dimatikan oleh bagian dari rezim yang pernah melahirkannya.

Saat KPK sedang menjalankan tugas mulia memberantas korupsi, dan mandat itu diberikan langsung oleh negara, justeru negara menarik mandat itu dengan cara yang keji. KPK hendak dilumpuhkan dengan beragam siasat, revisi UU KPK, opini talibanisasi di KPK, ’Pimpinan KPK titipan’, sampai pada teror dan kriminalisasi yang menimpa personelnya.

Seorang yang memiliki rekam jejak buruk dan melanggar kode etik berat bahkan terpilih secara aklamasi sebagai pimpinan KPK, hasil musyawarah kolutif di Senayan. Saat fit and proper test, sang pimpinan KPK terpilih bahkan menawarkan proposal kolutif dengan hendak mengevaluasi wewenang penyadapan KPK.

Proposal ini disambut antusias dan gegap gempita. Nalar sehat rakyat tidak sulit mencari alasan di balik musyawarah kolutif ini. Data KPK tiap tahun menunjukkan jika aktor terbanyak korupsi yang ditangani adalah anggota DPR/DPRD, kemudian swasta. Swasta juga berkongsi dengan mereka.

Padahal KPK tidak minta dilahirkan jika Indonesia baik-baik saja. KPK tidak minta dilahirkan jika Polri dan Kejaksaan bisa menjalankan fungsinya dengan baik. KPK juga tidak genit minta kewenangan ekstra jika penjahat yang hendak dilawan dan diberantasnya hanya maling ayam. Tapi KPK hadir karena Indonesia sedang sakit. Sakit digerogori ’kanker korupsi stadium 4’. Kanker yang nyaris membunuh Indonesia sebagai negara gagal, negara dengan utang menggunung, negara dengan tingkat korupsi masif ketika dikelola Orba. Sampai-sampai hanya untuk mengurus surat keterangan lahir saja harus menyogok.

Kejahatan yang dilawan KPK adalah korupsi, kejahatan kerah putih (white collar crime). Sebuah kejahatan yang sudah membuat bangkrut banyak negara; Irak, Libya, negara di Afrika seperti Rwanda, Filipina era Marcos. Penjahat yang dilawan KPK adalah koruptor. Golongan penjahat kerah putih yang berotak cerdik, licik. Kadang menampilkan wajah alim, tapi di belakang maling.

Anehnya, situasi ini terjadi pada kepemimpinan sipil yang mendapat legitimasi suara yang sangat signifikan di (pilkada) Solo, DKI Jakarta, dan dua pilpres. Seseorang yang pernah dielu-elukan dengan gaya kepemimpinan ”ndeso”nya. Seseorang yang pernah menjanjikan ”nawacita” yang kemudian menjadi dukacita.

Sang Presiden tampaknya lebih suka menjaga irama koalisi sehingga takut berseberangan dengan kepentingan partai politik di DPR dengan menolak menerbitkan Perppu penyelamatan KPK. Sang Presiden lebih terbuai dengan bisikan para demagog di sekitarnya dan abai terhadap aspirasi rakyat. Padahal, sikap politik rakyat itu adalah ”pesan politik” rakyat kepada pemimpinnya, agar sang Presiden mendapatkan kembali kehormatannya.

Pada situasi ini, rakyat rindu dengan kenegerawanan Habibie dan Gus Dur. Pemimpin yang tidak menyiram bensin ke api yang sedang menyala, tapi berusaha memadamkannya dengan hati.

Bapak Presiden, padamkanlah api itu dengan hati, bukan pakai polisi.

Bacaan terkait

Menjadikan RI Negara Polisi

Antara Polisi, Marinir, dan Mahasiswa

Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”

Persatuan Bangsa: Jokowi dan Prabowo Belajarlah Kepada Gus Dur

KPK Mangkat? Lahul Fatihah…

Wiwin Suwandi
Wiwin Suwandi
Anggota Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi Selatan dan alumnus Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.