Jumat, November 8, 2024

Mengapa Harga Buku Mahal?

Eka Kurniawan
Eka Kurniawan
Penulis novel "Cantik Itu Luka".
- Advertisement -

Banyak yang bertanya-tanya, kenapa harga buku “mahal”?

Ya, kalau dibandingkan dengan bajakan, memang jauh. Karena saya sendiri bukan orang bisnis, belakangan saya tanya-tanya kepada beberapa teman yang mengerti, harga buku itu isinya apa saja, sih? Kenapa bisa ketemu harga yang banyak orang pikir “mahal” itu. Ini rangkuman saya:

Satu. Dari harga buku Rp.100 ribu, misalnya, pertama-tama dipotong oleh potongan toko buku, yang rata-rata 40 persen. Dari angka Rp.40 ribu itulah toko buku memperoleh keuntungan, sekaligus harus menutupi biaya operasional toko. Kenapa sebanyak itu? Saya tak tahu. Angka itu mungkin ketemunya nego-negoan toko dan penerbit. Tapi bayangkan saja, kebanyakan toko buku besar kita terletak di pusat perbelanjaan, yang kita tahu harga sewa properti per meternya memang mahal.

Bahkan kalau nengok toko buku besar di mal, sekarang lebih mirip toko ATK (bahkan jual tas, gitar, speaker, dll) daripada toko buku. Mungkin dari angka 40 persen yang gede itu pun, buku enggak nutup overhead sewa properti di mal? Kalau iya, solusinya sih mungkin: harus mulai ada toko buku indipenden, di luar mal. Saya rasa ini kelemahan sistem perbukuan kita. Bisa dibilang hampir tak ada toko buku independen yang layak. Sebagian besar di antara kita, jika tertarik dunia perbukuan, terjun ke penerbit, bukan toko buku.

Tentu saja karena dengan menerbitkan 1-2 judul buku, seseorang sudah bisa menjadi penerbit; tapi butuh ratusan bahkan ribuan judul buku di katalog/display untuk membuat toko buku yang layak. Dengan toko buku indipenden dan di luar pusat perbelanjaan, dengan sewa properti yang murah, ada kemungkinan untuk mengembalikan 40 persen itu kepada konsumen. Misal dalam bentuk diskon 20 persen (ya, sudah ada yang melakukannya). Alternatif kedua, ya penjualan daring yang tak perlu repot dengan sewa properti, sehingga mereka bisa kasih diskon juga.

Ini masih mungkin di kita, sebab di Prancis dan Jerman, menjual buku dengan harga berbeda dari yang tertera (didiskon atau dibuat lebih mahal) merupakan tindakan melawan hukum (tapi justru dengan aturan ini, toko-toko buku kecil di kedua negara bisa tumbuh subur, sebab mereka tak perlu perang harga untuk bersaing dengan jaringan besar, cukup mereka bersaing pelayanan dan mungkin lokasi yang lebih dekat ke konsumen).

Dua. Setelah dipotong 40 persen oleh toko buku, jangan lupa negara memungut PPN atas buku yang Anda beli sebesar 10 persen. Tidak seperti kopi yang PPN-nya nampak di struk dan ditambahkan ke harga ketika bayar di kasir, PPN buku agak “tersembunyi”. Dia sudah dimasukkan ke dalam harga buku yang tertera. Bayangkan jika diperlakukan seperti kita beli kopi. Harga Rp.100 ribu, di kasir kita bayar Rp.110 ribu. Pasti lebih banyak lagi yang ngedumel. Solusi? Minta Jokowi dan Sri Mulyani untuk menghapus PPN penjualan buku.

Tiga. Jadi penerbit hanya memperoleh 50 persen dari harga buku. Tunggu. PPN itu kan Pajak Pertambahan Nilai. Ada pajak dari satu titik ke titik lain. Nah, ketika keluar dari penerbit (ke toko buku), kena PPN 10 persen, artinya 5 persen dari keseluruhan. Bagian yang ini saya tak mengerti benar, mohon koreksi jika salah. Yang saya tahu, dari perusahaan kayu dikirim ke pabrik kertas, jelas kena PPN.

Dari pabrik kertas ke percetakan, kena PPN. Dari percetakan ke penerbit, kena PPN. Semua pajak itu akhirnya dibebankan ke konsumen akhir, Anda sebagai pembeli buku. Ini tak hanya berlaku untuk buku, tapi juga untuk kaos oblong, roti, sepedal, dll, dll. Solusinya kembali bujuk Jokowi dan Sri Mulyani menghapus PPN dalam perbukuan (dengan iming-iming masyarakat lebih pintar)

Empat. Sisa 45 persen: sekarang jangan lupakan penulisnya. Ambil rata-rata royalti 10 persen dari harga buku. Saya rasa keterlaluan kalau meminta bagian ini dihapuskan. Bahkan dengan 10 persen royalti saja, kebanyakan penulis sulit hidup.

- Advertisement -

Lima. Sisa 35 persen. Bagaimana dengan distribusi? Dari tanya sana-sini, distribusi buku bisa menyita hingga 10 persen dari total harga buku. Kalau mau gampang, nerbitin buku di Jakarta jual di Jabodetabek, atau nerbitin buku di Yogya, jual di hanya di toko-toko Yogya. Saya rasa pembajak buku melakukan itu, tapi penerbit umum tak mungkin melakukan itu, kan? Dulu untuk menyiasati biaya distribusi begini, koran-koran melakukan cetak jarak jauh. Tapi untuk buku yang “cuma” dicetak 3000 eks, masuk akal enggak, sih?

Saya tak tahu bagaimana menekan biaya distribusi ini, karena bahkan ini pun menjadi problem lain dari toko-toko daring yang bisa mendiskon harga buku, tapi tetap saja tak bisa menekan biaya ongkos kirim. Zaman dulu, kita bisa kirim surat ke mana pun di Indonesia dengan harga prangko yang sama, mungkin enggak sih hal ini diterapkan kembali untuk katakanlah pengiriman buku (dibatasi satu buku per amplop). Soalnya, beberapa toko buku daring luar bahkan ada yang memberi “free shipping” termasuk ke Indonesia.

Enam. Sisa 25 persen. Masih ada biaya yang harus dibayar penerbit, yang disebut sebagai biaya produksi. Yakni, kertas, cetak, binding, wrapping, desain sampul, layout. Ongkos produksi ini lumayan gede. 20 persen. Susah diutak-atik. Biasanya harga buku ditentukan dari angka ini. Ongkos produksi kali lima, itulah harga bukunya. Kira-kira begitu.

Sisanya? 5 persen. Itu keuntungan yang didapat penerbit. Angka itu pun dengan mudah menguap, karena pak bos penerbit kadang harus traktir penulis, bikin promosi di sana-sini, beliin penulis tiket pesawat untuk peluncuran, dll. Belum lagi bayar PPH (iya, ini pajak yang berbeda, pajak penghasilan). Sekali lagi hitungan itu rada kasar. Untuk bisa bernapas, beberapa penerbit mencoba menekan ongkos produksi, atau menaikan harga jual (6x ongkos produksi sama dengan harga jual, misalnya). Beberapa menekan lebih rendah royalti penulis (kasihan, kan?).

Beberapa hanya mendistribusikan di kota-kota besar, atau bahkan hanya di Jawa, atau hanya di Yogya (mengorbankan pemerataan). Beberapa mungkin ngemplang pajak (penerbit kecil sih mungkin bebas PPH, tapi PPN saya rasa tak pengaruh besar-kecilnya usaha, terutama kalau udah masuk toko buku besar). Beberapa lagi tidak masuk toko buku besar, hanya dijual daring atau di pameran-pameran. Semuanya bisa dilakukan untuk mengurangi biaya-biaya itu. Tapi arus utama penerbitan ya tetap di jalur yang saya sebut di atas, dan begitulah ketemu harganya.

Kenapa bajakan lebih murah? Ya gampang. Mereka tak perlu masuk toko buku besar. artinya sudah 40 persen lebih hemat. Mereka tak bayar pajak. 10 persen lebih hemat lagi. Mereka tak bayar royalti. 10 persen lebih hemat lagi. Mereka tak keluar biaya distribusi yang luas. Mungkin 10 persen lebih hemat lagi. Mereka mengurangi biaya produksi secara signifikan (tak bayar desainer/layouter, pakai kertas lebih jelek). Katakanlah bisa hemat 10 persen lagi. Wajar kalau kemudian jatuhnya cuma tinggal 20 persen, cuma 20 ribu perak.

Buat banyak orang, harga buku mungkin mahal. Tapi daripada menyuburkan pembajakan yang jelas akan menghancurkan iklim kreativitas perbukuan, ada alternatif lain yang lebih murah bahkan gratis: baca buku melalui perpustakaan.

Ya, perpustakaan memang masih timpang dan tidak merata. Tapi beberapa perpustakaan mencoba memberi solusi dengan menyediakan koleksi mereka dalam bentuk daring. Koleksi mereka dengan mudah diakses melalu gawai pembaca. Gratis, dan legal.

Eka Kurniawan
Eka Kurniawan
Penulis novel "Cantik Itu Luka".
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.