Menjadi editor tak pernah terpikirkan dalam hidup saya di Banggai Laut, Sulawesi Tengah, mendapat lembar-lembar uang (bukan puing emas) dari kerja mengedit naskah.
Saat kecil, saya seperti anak pada umumnya yang bercita-cita kalau besar nanti akan menjadi polisi, guru, atau tenaga kesehatan (baca: profesi yang memakai pakaian seragam).
Editor adalah “menunda” untuk menjadi seorang penulis. Atau, mengambil jalan editor karena ia gagal dalam kepenulisan. Ada pula orang yang bisa menjadi editor sekaligus penulis.
Editor adalah pembaca kuat. Matanya mata elang, tengok sana dan sini. Niatnya mencari lubang-lubang yang luput diperhatikan oleh penulis. Beberapa editor yang saya kenal di Yogyakarta bertahan di posisinya sekarang, sebab memang tidak ada jalan lain, dengan konsekuensi di belakangnya. Salah satunya perkara honor.
Ada mekanisme pembayaran honor yang belum paten di ekosistem perbukuan Yogyakarta, khususnya di penerbitan indie, yang banyak membutuhkan jasa editor lepas.
Pekerja tetap di penerbit memiliki gaji pasti, yang mungkin sesuai UMR setempat, dalam hal ini di Yogyakarta. Sedangkan, besaran gaji pekerja lepas tidak memiliki patokan pasti. Beberapa penerbit memiliki honor yang berbeda kepada editor, ada juga yang sama.
Kita ketahui bahwa UMR daerah ini begitu rendah dibandingkan UMR daerah lain di Indonesia. Sedangkan, biaya hidup terus melonjak dan meninjak.
Saya editor lepas di beberapa penerbit. Kadang, saya mengambil pesanan dari luar Yogyakarta. Saat ada pesanan dari luar Yogyakarta, saya bisa menentukan honor yang mesti si pemesan bayar. Namun, saya belum bisa menerapkan itu di penerbit Yogyakarta karena ada semacam aturan pembayaran yang belum jelas dari mana asalnya dan itu dilakukan oleh penerbit indie: Rp5.000.00 per halaman Microsoft Word atau halaman buku. Bukan angka lima ribu itu yang bermasalah, namun per halamannya, sesuai Microsoft Word atau buku.
Misal, penerbit A menerapkan Rp5.000.00 per halaman MS. Word A4 (huruf Times New Roman, ukuran huruf 12, dan spasi 1.5), penerbit B menerapkan Rp5.000.00 per halaman buku.
Yang menjadi masalah saat penerbit B memiliki ukuran buku yang berbeda-beda. Ukuran buku yang kerap diterapkan oleh penerbit: 12 x 18 cm; 13 x 19 cm; 14 x 20 cm; 14 x 21 cm; 15 x 23 cm. Jika ukuran buku kecil, editor akan diuntungkan. Tapi, bila ukuran buku cukup besar maka mereka akan dirugikan. Sebab, semakin besar ukuran buku, semakin berkurang pula jumlah halamannya.
Belum lagi penerbit yang nakal mengotak-atik spasi dan memainkan ukuran, itu akan memengaruhi jumlah halaman buku dan pula berdampak kepada bayaran.
Perbedaan honor editan ini membuat teman-teman editor yang saya kenal menjadi bingung. Standar honor mana yang mesti kita—semua pelaku buku—terapkan? Tidak ada standarisasi format yang jelas akan merugikan semua pihak.
Kita banyak membaca berita di media massa bahwa buruh di perusahaan tertentu di kota tertentu tidak menerapkan upah buruh layak. Lalu, bagaimana dengan kasus buruh editor? Apakah sudah layak?
Mungkin membicarakan gaji di publik adalah hal tabu. Tapi, di lingkaran kecil di warung kopi, gaji seperti ini kerap dibicarakan. Penerbit A menerapkan dengan jumlah sedikit, sedangkan penerbit B menerapkan jumlah banyak. Ada semacam pembicaraan yang tak mungkin dikomunikasikan secara langsung kepada penerbit, namun diam-diam kita membicarakannya di belakang. Apa yang salah bila gaji editor mempunyai standarisasi?
Bila royalti penulis bisa dibicarakan secara terang-terangan: penerbit A memberi royalti 10% dan penerbit B mengasih 15%, kenapa gaji editor tidak? Atau, jika royalti penulis sudah mempunyai standar, mengapa gaji editor tidak?
Atau, seperti ini: jika banyak buruh di perusahaan menuntut gaji mereka dinaikkan, mengapa editor tidak bisa menuntut gaji dinaikkan? Padahal, kita ketahui bersama bahwa profesi ini adalah buruh juga.
Mungkin, gaji seseorang disesuaikan dengan jejak editannya di mana-mana. Berarti di sini, ada kategori editor senior dan junior. Anggaplah ada dan memang ada, tapi yang menjadi pertanyaan: kategori senior dan junior itu seperti apa?
Saya kira, para pelaku perbukuan mesti menyadari bahwa ini masalah bersama. Penerbit jangan hanya diam dan mestinya sadar bahwa honor Rp5.000.00 per halaman itu sudah usang diterapkan di Yogyakarta. Editor pun demikian, jangan hanya mutung di warung kopi dan tidak ada gerakan jelas untuk kemakmuran bersama. Membicarakan gerakan buruh di perusahaan tertentu begitu lihai, namun keok saat nasib buruh itu terjadi kepada kita sendiri.
Mungkin, akan ada pertanyaan selanjutnya: standar gaji editor lepas memang berapa?
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang “Sistem Perbukuan”, Pasal 19 menyebutkan bahwa editor punya hak: pertama, membentuk organisasi profesi, kedua, mendapatkan imbalan atas naskah editannya.
Butir pertama, saya belum mendengar ada organisasi profesi editor di Indonesia. Entah kapan organisasi seperti itu akan muncul. Butir kedua, imbalannya tidak jelas. Seberapa banyak imbalan yang didapatkan oleh mereka?
Saya berpikir positif terhadap butir kedua tersebut. Mungkin imbalannya disesuaikan dengan UMR setempat. Namun, UMR akan berlaku pada pelaku buku yang kerja tetap di penerbit. Itu pun kalau penerbit menerapakan UMR. Lalu, bagaimana dengan editor lepas, apakah imbalannya sesuai hati pemilik penerbit?
Poinnya utama yang saya ingin sampaikan bahwa gaji editor lepas mesti ada aturan yang pasti: pembayarannya berapa dan berdasarkan apa. Sesuai ukuran buku atau halaman naskah format Microsoft Word.
Terakhir, kita sebagai editor pun harus tahu diri, sudah seberapa jauh ilmu pengeditan yang kita miliki.