Kamis, April 18, 2024

Mengapa Ada Orang Membenci Salib?

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Ada percakapan saya dengan seorang anak kecil minggu lalu. Anak kecil itu masih TK di St. Theresia Doloksanggul. Dari nama TK itu, Anda pasti udah tahu lembaga pendidikan  itu milik siapa. Tak bisa saya rekam bagaimana persisnya. Beginilah percakapan itu secara ringkas. Oh, iya. Anak kecil itu anak dari pamanku. Jadi, kami saling memanggil “Lae”, bukan “Abang” dan sebagainya.

Anak kecil: “Lae mau gereja di mana?”

Aku: “Mau di masjid, Lae.”

Anak kecil: “Lae Islam?”

Aku: “Emang kenapa, Lae?”

Anak kecil: “Ga apa-apa, Lae. Islam itu baik, kek Upin-Ipinlah berarti, ya.”

Pelan-pelan, anak kecil itu berbisik kepada ayahnya. Kurang lebih bisikannya begini: “Pa, Lae itu Islam, ya?”

Papanya menjawab kuat: “Tidak. Lae itu Katolik. Hari ini kita sama gereja ke kampung, gereja papa dulu waktu kecil. Laemu membawa pacarnya, Kak Hesty, hari ini sekaligus mau dikenalin ke namboru di kampung. Mereka mau menikah.” Dan, selekas itu, anak kecil itu datang dan memelukku: “Ternyata Lae Katolik, kok,” katanya, kali ini sudah dengan wajah yang berbinar.

Pesannya apa? Satu, bahkan anak kecil pun sudah cinta pada agamanya. Dua, bahkan anak kecil pun sudah menghargai aku yang dipikirnya sempat beragama Islam. Dia memuji aku dengan menyamakannya ke Upin-Ipin (kebetulan minggu lalu perayaan Idul Adha, siaran anak-anak Upin-Ipin sedang sangat islami saat itu). Dia juga menghormati aku dengan berbisik-bisik kepada papanya semata agar aku tak mendengar.

Tak Menyalahkan si Somad

Satu minggu kemudian, 18 Agustus, aku bangun pagi. Rupanya, anak kecil itu sudah bangun dan sudah berada di tempatku. Sehabis bangun, aku membuka gawai dan aku pun membuka sebuah link YouTube yang dibagikan ke WA-ku tentang Abdul Somad yang katanya menyebut Salib sebagai yang berjin, dan sebagainya, dan sebagainya. Ketika Abdul Somad berlagak bernyanyi “haleluya” pada YouTube itu, anak kecil itu tertawa. Dia bahkan meminta agar aku mengulang-ulang video itu.

Mungkin, anak kecil itu tak tahu siapa Ustaz Abdul Somad. Ia bukan segolongan dengan Upin-Ipin (seperti laenya minggu lalu, barangkali begitu ia berpikir. Terus terang, saya tertawa mendengar ceramah Abdul Somad. Tertawa bukan karena saya bahagia, bukan pula karena benci. Tertawa lebih pada mengapa masih ada cendekiawan (saya lebih suka menyebutnya sebagai cendekiawan daripada tokoh agama lantaran jejak pendidikannya) yang masih berpikiran dangkal.

Pikirkanlah kenyataan ini: mengapa saya mengigil ketika melihat salib, lalu jawabannya karena setan. Di salib itu ada jin. Lucu sekali. Apakah kalau menggigil, maka itu pasti karena setan? Benar, Anda mungkin sering menemukan di berbagai film bahwa kadang setan datang melalui salib. Tiba-tiba salib terbalik, patung Yesus pecah, kitab suci tercampak, dan sebagainya. Kadang jika pastor sedang melakukan ritual eksorsis (pengusiran setan), sang Pastor masuk dalam godaan setan yang kadang hadir sangat manusiawi (memelas).

Sang Pastor terbuai. Ia lupa membaca doanya dan terjadilah adegan itu: Sang Pastor tercampak hingga terbunuh. Adegan manusiawi itu terjadi karena sang Pastor mengacung-acungkan salib, membaca doa kitab suci, memercikkan air suci. Si Setan pun kesakitan dan ia memelas. Adegan itu sebenarnya ganjil. Jika harus dipikirkan, kita bisa menyebut Tuhan itu terlalu lemah. Begini: mengapa sudah pun berkali-kali membaca kitab suci, memerciki air kudus, mengacung-acungkan salib, namun hanya lengah sekian detik dari keseluruhan, setan bisa langsung menguasai panggung. Setan lebih kuat, bukan?

Kalau harus dikerdilkan sedangkal pola pikir Abdul Somad, kita bisa membuat tesis demikian: agama Nasrani itu tak cukup kuat untuk melawan setan. Kalau dipelintir lagi, dengan adegan ketika salib di ruangan tiba-tiba terbalik, kita juga bisa membuat kesimpulan aneh: salib itu berjin. Tapi, apakah sedangkal itu pola pikir kita?

Saya tak akan masuk ke soal lainnya: kafir, apalagi lambang ambulans sebagai lambang salib. Soal kafir bahkan sesama internal agama acap mengafirkan bukan? Soal lambang ambulans, bahkan tiang listrik sering disebut sebagai konspirasi kristenisasi, bukan?

Saya tak sedang menyalahkan si Somad di tulisan ini. Kebetulan saja ia populer. Kebetulan saja mungkin videonya dipotong-potong lalu menyebar. Saya hanya menyalahkan mengapa kita suka sekali mendengar khotbah yang melecehkan agama orang lain dan mengagumi agama kita secara membabi buta.

Mengapa kita menjadi serupa anak yang terlalu berbakti sehingga lupa fakta otentik, lalu tinggal fakta emosional. Kira-kira begini maksudnya: hanya karena kita terlalu sayang pada ibu kita sehingga kita menolak fakta bahwa Raisa jauh lebih cantik dari ibu kita dan dengan kukuh bersikeras, ibuku jauh lebih cantik dari Raisa.

Mencintai agama sendiri itu harus. Kalau bukan kita, siapa lagi? Namun, kalimat itu bukan berarti kita harus membenci, apalagi menjelek-jelekkan agama lain. Mencintai diri sendiri tak harus dengan cara brutal: membenci orang lain. Oke, benar bahwa pada satu sisi, sebuah ayat kitab suci kita bisa diterjemahkan secara liar untuk membenci agama orang lain. Tetapi, apakah kita harus mengingkari ayat kitab suci yang lain yang nyata-nyata secara literat memuji agama lain, atau paling tidak menyebut agar kita tak menjelekkan agama orang lain?

Semakin Canggih

Saya percaya, tak ada ajaran agama yang buruk. Semua ajaran agama baik. Yesus bagi kami adalah juru selamat. Namun, melalui Yesus, kami bisa belajar bahwa kebaikan saja tak cukup untuk ke surga, apalagi keburukan. Melalui Yesus kami percaya bahwa kami tak perlu mengurusi iman orang (Matius 7:3). Melalui Yesus kami tahu, mengaku paling benar adalah dosa itu sendiri, apalagi sampai memburuk-burukkan orang lain. Merasa benar tak sama dengan benar. Merasa benar adalah bukti betapa setan masih bekerja. Siapa setan itu?

Setan itu adalah segala pekerjaan yang buruk dan memburuk-burukkan. Setan itu canggih. Ia bisa hadir dalam bentuk pemujaan, seperti dalam patung. Tetapi, bukan berarti segala yang berpatung adalah setan. Setan itu bisa tampil dalam wajah malaikat. Tetapi, bukan berarti malaikat adalah setan. Saking canggihnya, Katolik kini sedang kekurangan pekerja untuk mengusir setan (eksorsis). Pastor eksorsis tinggal 200-an orang dari seluruh dunia. Padahal, menurut Pastor Benigno Palilla, eksorsis dari Sisilia, kasus dugaan kerasukan setan di Negeri Spageti melonjak tiga kali lipat menjadi 500 ribu kejadian dalam setahun.

“Perang melawan setan dimulai begitu dunia ini tercipta dan akan terus berlangsung hingga kiamat,” kata Pastor Cesare Truqui. Namun, jangan takut, pada Abad Ketiga, Oregan telah membuat resep sederhana mengusir setan, yaitu Salib Yesus. Hanya memang, kini, di abad ke-21, banyak orang menyebut Salib Yesus sebagai jin. Mengapa? Saya kurang mengerti. Mungkin saja karena setan semakin canggih dan manusia pun semakin sukan menjadi setan.

Lae Kecil saya masih saja tertawa. Untung ia tak mengenal siapa Abdul Somad.

Baca juga

Salib bukan Sekadar Kayu!

Ceramah Salib Somad dan Pentingnya Pemahaman Antar-Iman

Somad yang Takut Salib

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.