Berita-berita tentang Livi Zheng di banyak media massa membuat saya melongo takjub pada detik pertama dan menunduk hormat pada detik berikutnya kepada gadis 30 tahun kelahiran Blitar itu dan menyesali diri pada akhirnya kenapa saya bukan pematung. Jika saya pematung, niscaya saya patungkan ia sebagai perempuan agung penjelmaan Dewi Kwan Im.
Maafkan jika saya berlebihan memujanya. Itu bukan karena saya satu suku dengannya, tetapi karena pengetahuan tentang Livi hanya saya dapatkan dari media massa. Anda tahu sendiri, media massa menyambutnya seolah-olah mereka menyambut pahlawan yang baru pulang dari medan tempur setelah berhasil menyembelih naga raksasa di Gunung Taishan, makhluk yang selama ini tak seorang pun sanggup menaklukkannya.
Kompas rajin menurunkan berita tentang Livi Zheng. Media ini seperti tidak pernah tidur dalam menjagai si anak bangsa, dan menyampaikan kepada kita sampai ke hal-hal yang paling renik: Livi cari judul, Livi cari makanan ini, Livi berlatih Poco-Poco, Livi merayakan ultah, Livi dan nasi berkat, dan sebagainya.
Media-media lain seperti Tempo, The Jakarta Post, Jawa Pos, dan lain-lain tidak mau ketinggalan dalam merayakan penyambutan. Keriuhan mereka mengubah rasa takjub saya menjadi rasa bersalah. Seorang sineas hebat telah lahir dan saya tidak pernah melihat satu pun dari film-film yang lahir dari tangannya, baik ia sebagai produser, sutradara, maupun pemain, atau sebagai produser sekaligus sutradara sekaligus pemain.
Kebodohan semacam itu tak boleh dipertahankan, apalagi diulang-ulang. Saya harus tahu banyak tentang Livi agar bisa menghormatinya secara layak dan proporsional. Dan saya beruntung karena internet memudahkan pencarian. Dalam waktu singkat saya bisa menemukan banyak tulisan tentangnya, dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Mungkin ada juga dalam bahasa Arab dan Mandarin, tetapi saya tidak bisa membaca keduanya.
Secara umum, semua tulisan itu bisa kita sederhanakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kisah perjalanannya menembus Hollywood. Kedua, penghargaan terhadap film-filmnya. Ketiga, kerja kerasnya untuk mengangkat nama Indonesia.
Dan saya kecewa ketika tahu lebih banyak. Informasi-informasi bertumpang tindih satu dengan yang lain. Beberapa hal tentang kehebatannya dengan mudah bisa dibuktikan sebagai kebohongan atau misinformasi. Sebagian lagi—misalnya ia juara karate 26 kali dan memberi kuliah di 300-an perguruan tinggi—hanya bisa diterima begitu saja tanpa kita bisa melakukan verifikasi.
Sialnya, media-media massa menelan begitu saja semuanya dan menyampaikannya sebagai kebenaran yang mesti diberitakan kepada khalayak.
Laksamana Cheng Ho: Pintu Masuk ke Hollywood
Sebuah tulisan di International Film Review, berjudul Livi Zheng Earns Her Reputation as An International Filmmaker, menyampaikan cerita sukses Livi melalui informasi yang semuanya dipasok oleh Livi sendiri dan orang-orang yang dekat dengannya. Tulisan itu menyebutkan bahwa ia terjun pertama kali ke dunia film sebagai pemeran pengganti dalam serial Laksamana Cheng Ho (2008), sebuah serial yang meledak sebagai “massive hit” di negaranya (Indonesia).
Tidak cukup sekadar menjadi pemain pengganti, Livi juga konon menjadi produser dan pemeran karakter Suhita, raja Majapahit, anak Wikramawardhana. Ia mengerjakan banyak urusan di sana, di antaranya mengatur 1.000 lebih pemain dan ratusan kuda.
Karena Laksamana Cheng Ho meledak hebat, perusahaan yang memproduksi serial tersebut meminta Livi membuat versi layar lebar. Maka, muncullah dua film lain The Empire’s Throne (2013) dan Legend of the East (2014). Dalam kedua film itu ia bertindak sebagai produser dan mengatur 600-an pemain dan ratusan kuda.
Sampai di sini, kita mendapat informasi bahwa Livi sudah terlibat di dalam produksi tiga film kolosal—satu film serial dan dua film layar lebar.
Sekarang mari kita ambil kaca pembesar agar mata kita bisa melihat lebih awas hal-hal yang samar. Mari kita pertanyakan apa saja yang layak dipertanyakan, dengan rasa ingin tahu yang membuat hidup kita sehat.
Kita mulai dari keterlibatannya di dalam penggarapan serial Laksamana Cheng Ho. Ia mengaku terlibat dalam serial ini pada usia 15 tahun. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang remaja 15 tahun, yang terlibat mula-mula hanya sebagai pemain pengganti, bisa begitu saja diberi kepercayaan untuk menangani banyak urusan di dalam pembuatan serial kolosal?
Karena saya mengetahui cerita tersebut dari pemberitaan media massa, saya perlu mengajukan pertanyaan serius kepada pihak media massa. Kenapa para wartawan yang mewawancarainya, atau mendengar ia menyampaikan informasi tersebut, tidak memiliki rasa ingin tahu sedikit pun tentang bagaimana ia bisa mendapatkan kepercayaan sebesar itu?
Penggarapan Laksamana Cheng Ho pada waktu itu cukup menarik perhatian karena Yusril Ihza Mahendra dan Saifullah Yusuf, dua menteri yang menjadi korban reshuffle Pak SBY, ikut bermain. Daya tarik lainnya adalah kapal Cheng Ho konon dibikin sangat besar mendekati ukuran aslinya. Saya pikir tidak akan ada orang yang berani mempertaruhkan produksi film dengan modal besar kepada remaja yang belum punya pengalaman, kecuali orang itu adalah engkongnya atau mbah buyutnya sendiri.
Serial tersebut gagal di pasaran. Berbeda dari informasi yang disampaikan oleh International Film Review bahwa Laksamana Cheng Ho menjadi “massive hit”, serial tersebut tidak pernah meledak sama sekali. Ia justru melempem dan berhenti tayang pada episode keempat atau kelima, dan setelah itu tidak pernah terdengar lagi kabarnya.
Baru pada 2013 muncul film yang mengingatkan saya pada serial tersebut. The Empire’s Throne dirilis tahun itu, tanpa ada kabar apakah ia diputar di gedung-gedung bioskop atau tidak, dengan Livi sebagai produser dan pemain. Nama-nama yang terlibat dalam film ini mengingatkan saya pada serial Laksamana Cheng Ho, yaitu Nirattisai Kaljareuk (sutradara), Slamet Rahardjo (Bhre Wirabumi), Saifullah Yusuf (Wikramawardhana), dan Livi Zheng (Suhita).
Yusril sebagai Cheng Ho tidak muncul dalam film; di sini namanya tercantum sebagai penulis skenario.
Dengan komposisi orang-orang yang sama persis antara Laksamana Cheng Ho yang gagal total di pasaran dan The Empire’s Throne, saya yakin bahwa film ini merupakan hasil penyuntingan ulang materi-materi serial Cheng Ho.
Jika demikian, ada satu keanehan yang patut dipertanyakan, yaitu hilangnya nama AS Laksana sebagai penulis skenario, digantikan oleh nama Yusril Ihza Mahendra.
Saya memiliki tiga buku AS Laksana. Dalam biodata singkatnya di buku kumpulan cerpen Bidadari yang Mengembara (GagasMedia, 2014), ia mencantumkan keterangan: “Ia juga menulis skenario untuk sinetron serial Laksamana Cheng Ho (episode-episode di Tanah Jawa).”
The Empire’s Throne, tidak bisa lain, adalah hasil penyuntingan ulang bahan-bahan Laksamana Cheng Ho, khususnya episode-episode Tanah Jawa, sebab tidak pernah ada berita bahwa Slamet Rahardjo dan Saifullah Yusuf syuting bersama lagi untuk pembuatan film baru.
Jadi, kenapa Livi menyingkirkan nama AS Laksana sebagai penulis skenario dan menggantinya dengan Yusril Ihza Mahendra?
Anda tidak perlu menjawab pertanyaan terakhir, sebab Livi sendiri tampaknya sering bingung mengenai siapa penulis skenario filmnya. Beberapa hari lalu saya membaca berita tentang film The Santri yang konon sedang dalam penggarapan. Oh, saya banyak menyebut kata “konon” karena saya telanjur waswas akan kebenaran informasi yang saya baca di media massa. Media online Kapanlagi.com menulis: “Cerita dalam film ini ditulis oleh PBNU sendiri dan dikembangkan oleh adiknya, Ken Zheng.”
Omigod! Siapa yang dimaksud dengan PBNU sendiri? Apakah skenario itu belum jadi? Atau sudah jadi tetapi Livi enggan memberitahukan siapa nama penulis skenarionya? Dan kenapa wartawan yang mewawancarainya tidak menanyakan lebih lanjut siapa yang dimaksudkan dengan PBNU itu sendiri?
Bagian pertama ini saya akhiri sekian. Kita akan membicarakan urusan yang lebih seru tentang berbagai penghargaan dan nominasi terhadap karya-karya Livi pada bagian kedua nanti.
Sesuai prosedur standar tentang penguatan pemahaman terhadap artikel yang baru saja anda baca, saya mengajukan satu kuis. Silakan anda menjawabnya.
Mana di antara ketiga pernyataan ini yang paling benar?
- Cek&Ricek menulis: “Livi kemudian memulai karier di dunia perfilman sebagai seorang stuntwoman di serial Laksamana Cheng Ho pada 2008 ketika berusia 19 tahun.
- Website Komisi Penyiaran Indonesia (www.kpi.go.id) menulis: “Ia memulai kariernya sebagai pemeran pengganti pada usia lima belas tahun. Ia berperan pada serial televisi tiga puluh episode yang populer berjudul Laksamana Cheng Ho .…”
- Website kemdikbud.go.id menulis: “Dunia Perfilman amat erat baginya, sejak usia 15 tahun ia menjadi artis pemeran pengganti dalam film serial Laksamana Cheng Ho yang cukup tenar di Indonesia tahun 2008.”
Kunci jawaban: Semuanya benar.
Sampai jumpa di bagian kedua.