Kemarahan tidak sedikit umat Islam atas Sukmawati dan Gus Muwafiq membuat saya berfikir keras meninjau ulang model berislam yang saya miliki.
Sukmawati dilaporkan oleh beberapa ormas Islam ke kepolisian karena dianggap merendahkan Nabi Muhammad. Dalam sebuah pidatonya, putri Proklamator Bung Karno ini menyodorkan pertanyaan bernada membandingkan; siapa yang paling berjasa atas Indonesia: bapaknya atau Nabi Muhammad.
Tak lama kemudian, Gus Muwafiq, dai NU yang tengah naik daun, mendapat risakan publik gara-gara menarasikan masa kecil Nabi dengan menggunakan kata “dekil” dan “rembes”—dua kata yang dianggap pejoratif oleh perisaknya.
Selama ini tak sedikit umat Islam dididik membela kesucian dan kehormatan Nabi dengan cara yang keras. Ajaran klasik bahkan mengancam hukum bunuh bagi mereka yang dianggap menganggap menghina junjungan saya ini. Benarkah sedemikian keras akhlak Nabi terhadap orang yang membencinya?
Akhlak Nabi
Akhlak bisa dimaknai sebagai perilaku etik yang dimiliki seseorang. Pemarah, mudah tersinggung serta berkecenderungan menghukum, menyakiti dan/atau mencabut nyawa orang lain dalam rangka membalas hinaan dan olokan merupakan perilaku etik yang tidak ideal, sungguhpun hingga saat ini masih banyak yang tergoda melakukannya.
Islam datang melalui Nabi Muhammad dimaksudkan sebagai “vitamin,” agar perilaku tersebut berubah menjadi penyabar, tidak gampang tersinggung, dan memilih memaafkan siapa pun yang menghina dirinya.
Nabi hadir untuk menyempurnakan akhlak sehingga menjadi ideal sebagaimana di atas. Itu sebabnya, sikap mudah marah, tersinggung, dan bertendensi menghancurkan dengan mengatasnamakan Nabi Muhammad menjadi paradoks dengan sendirinya.
Aishah, istri Nabi, pernah menyatakan akhlak Nabi adalah apa yang telah tertera dalam al-Qur’an. Nabi adalah al-Qur’an itu sendiri. Tidak kurang, tidak lebih. Maka, menjadi penting menelusuri kembali serpihan-serpihan ayat al-Qur’an seputar akhlak Nabi.
Akhlak agung Nabi, salah satunya, tertera secara nyata sebagaimana disampaika Allah; tidaklah Muhammad diutus kecuali menjadi rahmat bagi alam semesta (21:107). Kata “rahmat,” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “mercy,” yang memiliki pengertian “baik hati atau memaafkan seseorang ketimbang memperlakukannya secara keras.”
Hal ini sejalan dengan dua ayat lain, yakni QS. 41:34-35, di mana Allah menyatakan perilaku etik Nabi dengan sangat indah; kebaikan tidak sama dengan kejahatan, itu sebabnya kejahatan harus ditolak dengan cara yang lebih baik (idfa’ bi al-lati hiya ahsan). Bukan malah membalasnya dengan penistaan atau kejahatan lainnya.
Cara ini memang sangat berat. Itu sebabnya, Allah menyatakan perilaku yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keuntungan yang besar.
Saya hanya bisa mereka-reka apa yang akan dilakukan Nabi seandainya beliau mendengar pidato Sukmawati dan Gus Muwafiq, menemukan polling tabloid Monitor, atau bahkan membaca novel Satanic Verses milik Salman Rushdie.
Bisa jadi sosok yang dianggap suci ratusan juta orang Islam ini akan marah-marah dan menghancurkan mereka yang dianggap menghina dan melecehkannya. Namun, saya justru meyakini Nabi Muhammad Saw malah tersenyum santai sembari tak henti mendoakan mereka. Mungkin, lho.
Keyakinan saya ini sepenuhnya disandarkan pada sebuah ayat al-Qur’an 25:64 di mana para hamba Allah Yang Mahapenyayang adalah mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila ada orang-orang yang menghina dengan kasar, mereka malah justru mengampuni dan mendoakan orang-orang tersebut. Tidak membalasnya balik dengan umpatan.
Nabi Bisa Salah?
Dengan kemampuannya memaafkan dan mengampuni, Nabi sejatinya justru meneguhkan aspek kemanusiaannya untuk selanjutnya menjadi contoh bagi manusia lain seperti ini. Namun, harus diakui, aspek kemanusiaan Nabi juga membuka pertanyaan krusial, misalnya apakah mungkin Nabi berbuat salah. Para cendekiawan Islam tidak satu suara dalam menjawabnya. Kelompok Syiah Isna Asyariah percaya Nabi terjaga dari perbuatan salah dan dosa, sedangkan Syiah Zaydi dan Khawarij berpandangan sebaliknya dengan mengacu pada QS. 48:2.
Bagaimana dengan pandangan di kalangan Sunni, penganut Islam terbesar di Indonesia? Sayyid Muhammad Rizvi dalam The Infallibility of the Prophets in the Qur’an menjelaskan Sunni mempercayai para nabi terjaga dari perbuatan dosa yang disengaja, berbohong dan terjaga dari tindakan kekafiran—sebelum dan saat menjadi Nabi. Namun, mayoritas Sunni menganggap ada kemungkinan para nabi melakukan kesalahan secara tidak sengaja, meski ada sebagian kecil Sunni tidak sependapat dengan hal itu.
Ketidaksatusuaraan kalangan Islam menyangkut posisi ke-manusia-an Nabi seharusnya semakin memudahkan umat Islam dalam mempersepsi citra diri Nabi mengakselerasi tujuan masing-masing agar menjadi rahmatan lil alamin.
Akselerasi ini sangat penting mengingat umat Islam begitu sangat terobsesi dengan Nabi Muhammad. Bagaimana Nabi dicitrakan dalam ajaran, begitulah umat akan mengikutinya. Nabi adalah teladan, termasuk bagi ratusan juta umat Islam di Indonesia yang saat ini tengah mengalami krisis keteladanan, yakni teladan berperilaku toleran pada umat agama lain.
Di tangan banyak orang Islam, Nabi Muhammad malah justru terasa dijadikan alat legitimasi untuk bertindak intoleransi. Benarkah wajah Nabi Muhammad seperti itu? Wallahu a’lam.
Bacaan terkait
Merayakan Maulid Nabi, Membaca Ulang Pancasila
Apa Keistimewaan Muhammad? [Refleksi Maulid Nabi SAW]