Kamis, Maret 28, 2024

Membaca Tubuh Teater Indonesia

Sudarmoko
Sudarmoko
Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Pendiri Ruang Kerja Budaya.

Samarinda, selama seminggu, 20-26 September 2019, menjadi tempat yang dipenuhi oleh aktivitas teater. Pertunjukan teater yang dipusatkan di Taman Budaya Kalimantan Timur, dikategorikan dalam tiga bentuk, kanon tradisi, post tradisi, dan riset. Ditambah sejumlah diskusi mengenai biografi penciptaan, riset yang dilakukan terhadap beberapa teater, serta sarasehan konseptual yang diisi oleh kurator Pekan Teater Nasional 2019.

Teater kanon tradisi diisi oleh pertunjukan Topeng Dhalang Rukun Pewaras Sumenep, Teater Genta Bahana Banten, Sanggar Seni Datok Rimba Aceh, Teater Format Kalimantan Timur, Komunitas Rumah Banjarsari Surakarta, Sanggar Seni Tradisional Ilologading Makassar, Sanggar Seni Iriantos Papua Barat.

Post tradisi menghadirkan Rumah Banjarsari, Selayar, Wayang Kampung Sebelah, dan Otniel Dance Banyumas. Teater riset menghadirkan komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang, Rokateater Yogyakarta, dan Misswati Dance Teater, Jakarta. Beberapa pertunjukan lainnya hadir dalam pembukaan dari kelompok seni di Samarinda dan juga penutup dari kelompok seni di Bandung.

Pengistilahan tubuh gunung yang menjadi tema PKN ini sepertinya ingin merumuskan berbagai elemen teater yang memiliki hubungan dengan karakter budaya di Indonesia. Morfologi teater dihubungkan atau diasosiasikan dengan kosa kata khas yang dipraktikkan dalam berbagai sisi kehidupan.

Dalam teater kanon tradisi, misalnya, tubuh yang dibawa oleh para pemainnya adalah tubuh keseharian. Tubuh yang merepresentasikan diri sebagai bagian dari lingkungannya. Hal ini kemudian mewujud dalam bentuk artistik dan estetetik teater tradisi.

Bentuk pertunjukan menjadi sebuah medium yang menjadi penting. Penggunaan topeng, kostum, properti, seperti yang ditunjukkan oleh pementasan dari Banten dan Aceh, menjadi sebuah pilihan yang tak terhindarkan. Hal ini juga dapat dihubungkan dengan keberadaan teater tradisi dengan lingkungan tempatannya.

Komunikasi yang terjalin antara pertunjukan dengan penonton, dalam teater tradisi, menggunakan bahasa yang mereka pahami. Kondisi seperti ini juga, saya kira, yang mempengaruhi bentuk pertunjukan dalam hal medium yang digunakan. Pada dasarnya, penonton tidak menuntut capaian-capaian baru yang berubah, karena mereka menikmati pertunjukan dalam konteks sosial budaya yang sudah terandaikan.

Pandangan Benny Yohanes, salah seorang kurator PTN ini, terhadap pemilahan kanon tradisi, post tradisi, dan riset, dalam istilah dari daging auratif ke daging artistik, antara penampil yang memang menjalani laku keseharian ke dalam pertunjukan dengan para tubuh penampil yang terlatih (tubuh studi) dalam teater post tradisi atau teater riset, memang dapat dijadikan sebagai sebuah pembeda dalam pilihan kategoris ini. Bagaimana pun juga, tubuh pemain teater tradisi, misalnya, memiliki format yang sesuai dengan bentuk teater yang dimainkannya.

Dari sejumlah pertunjukan yang dihadirkan dalam PTN 2019 ini, sebenarnya teater kanon tradisi tidak menemui masalah yang serius. Pembicaraan mengenai kanon tradisi berkisar pada persoalan dukungan yang diberikan oleh pemerintah maupun masyarakat yang menjadi bagian dari ekosistemnya.

Pendampingan dan pemilihan, serta riset yang dilakukan oleh peneliti terhadap teater tradisi, sebenarnya menjadi sebuah nilai tambah bagi kehadiran teater tradisi dalam PTN ini. Sebagian memang menghadirkan kelompok teater tradisi yang selama ini belum terekspos namun memiliki peran penting dalam masyarakat. Sebagian lagi merupakan kelompok teater tradisi yang memang sudah dikenal secara luas.

Pada kategori post tradisi, sejumlah pertunjukan memperlihatkan proses pengembangan dari teater tradisi. Pengembangan ini lebih cenderung berbentuk respon dalam mendekatkan teater tradisi kepada masyarakat kontemporer. Para kreator yang tampil sebenarnya berangkat dari posisinya sebagai pelaku, yang tidak puas dengan pakem dan juga bentuk pertunjukan tradisi. Tentu saja hal ini berkembang melalui mekanisme dan prosedur yang kuat, misalnya melalui kajian, sejarah, dan kemungkinan yang diberikan oleh teater tradisi namun tidak ditangkap secara baik oleh seniman.

Dua kategori di atas sebenarnya sudah tidak asing lagi dalam perjalanan teater di Indonesia. Bahkan, dalam beberapa kondisi merupakan sebuah keniscayaan dalam dunia teater kita. Tradisi sebenarnya bukan sebuah kondisi stagnan, melainkan sebuah percobaan-percobaan yang gagal dan berhasil, sehingga mendapatkan bentuk yang ideal untuk dapat bertahan.

Teater riset, yang dalam PTN 2019 ini dipertunjukkan oleh Komunitas Seni Hitam Putih, Rokateater, dan Misswati Dance Teater Jakarta, memperlihatkan sebuah proses penciptaan teater berbasis riset. Namun demikian, tetap saja riset yang dilakukan mengambil objek dari khazanah teater atau kesenian tradisional.

KS Hitam Putih menggali kemungkinan total theatre dari randai, dengan mengeksplorasi berbagai hal yang berkaitan dengan randai. Pendidikan, transfer atau pewarisan kesenian, filosofi adat dan budaya Minangkabau, hingga tarik menarik antara identitas tradisional dengan kondisi kontemporer. Persoalan yang hadir menjadi sebuah tantangan yang bagi saya cukup berhasil ditransformasikan dalam bentuk pertunjukan teater.

Demikian juga dengan Rokateater Yogyakarta, yang menelusuri kesenian Kethek Ogleng, yang dilihat atau mengambil sudut pandang generasi muda. Penelesuran ini memberikan nuansa lain dalam persoalan interpretasi, mengontekstualisasikan tema dengan perkembangan cara pandang, dan menghadirkannya dalam panggung.

Riset Misswati Dance Teater terhadap kesenian tradisional Betawi, Ondel-ondel, sebenarnya dapat dibawa pada persoalan yang lebih rigid, dengan metode sosiologis atau pendekatan humaniora. Persoalan besar dalam teater riset ini adalah bagaimana tidak menghadirkan data dan fakta keras ke atas panggung, meskipun dengan dukungan teknologi digital untuk mendukung aspek estetika dan artistiknya. Tantangan ini yang diuraikan dengan baik oleh Afrizal Malna berkaitan dengan teater riset.

Teater riset yang dihadirkan dalam PTN 2019 ini sebenarnya, bagi saya, lebih memberikan perubahan kebudayaan dalam sesi paparan proses penciptaan atau biografi pertunjukannya.

Masing-masing periset atau sutradara cukup berhasil mempresentasikan proses kerjanya secara sistematis. Persoalan-persoalan yang disampaikan dalam sesi diskusi juga mampu menjelaskan tantangan dan strategi pendekatan mereka. Pada sisi inilah sebenarnya yang dapat menjembatani pertanyaan antara teater riset dengan riset untuk teater.

Selain tiga kategori yang diusung oleh para kurator PTN 2019 ini, sebenarnya pertunjukan yang dihadirkan memberikan gambaran lain dunia teater Indonesia berdasarkan pada kondisi geografis, beserta kompleksitas persoalan yang muncul dalam pertunjukan. Kita lihat bahwa teater tradisi masih bergulat pada persoalan sekitarnya, dengan bahasa yang dipahami oleh penonton kulturalnya, dan dengan gestur yang mengekspresikan pengalaman sosial dan spiritual komunalnya.

Demikian juga dengan teater post tradisi, ia tidak bergerak jauh dari sumber penciptaannya, alih-alih meredefinisi pakem dan pola pertunjukan dengan menyesuaikan diri pada publik kontemporernya. Kebanyakan upaya ini juga merespon perkembangan dan perubahan publik penonton, atau masyarakat yang sudah mulai berubah selera artistik dan estetikanya. Inilah yang kemudian tema tubuh gunung dimaknai sebagai produk estetika, ekosistem yang melahirkan produk-produk pertunjukan yang berbeda.

Peristiwa teater yang terjadi pada PTN 2019 di Samarinda ini sebenarnya masih menyisakan pertanyaan bagi saya, menyangkut ekosistem yang diagendakan sebagai sebuah tujuan kegiatan. Kegiatan yang cukup besar dan bergengsi ini seperti terlepas dari konteks masyarakat setempat.

Kegiatan diskusi hanya dihadiri oleh para peserta. Pertunjukan tiga malam pertama sebagian besar ditonton juga oleh para peserta. Jadwal kegiatan yang sangat padat sehingga peserta tidak mendapat kesempatan untuk mengalami kehidupan setempat. Ditambah lagi PTN 2019 ini miskin publikasi, yang membuat resonansi wacana yang dibangun seperti terhenti di tempat acara saja.

Acara-acara kecil seperti ini, yang menghubungkan para seniman dari luar dan tuan rumah, merupakan sebuah medium efisien untuk membentuk dan mendistribusikan pengetahuan. Apalagi lokasi acara yang direncanakan menjadi ibu kota negara ini dipilih, dugaan saya, sebagai sebuah strategi untuk mempersiapkan masyarakat secara budaya, ketika benar-benar menjadi ibu kota yang membawa perubahan bagi masyarakat.

Saya kira, komunitas-komunitas seni di Samarinda perlu mendapat ruang yang lebih besar untuk muncul, berpartisipasi, dan mengekspresikan capaian-capaian mereka. Jika tidak, mungkin kita akan melihat kegelisahan pergeseran ondel-ondel di ibu kota negara yang dipentaskan oleh Misswati Dance Teater.

Sudarmoko
Sudarmoko
Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Pendiri Ruang Kerja Budaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.