“Kamu jangan membual sejauh itu, keterlaluan”, ujar Ilham, putra pertama Bacharuddin Jusuf Habibie, dalam bahasa Jerman kepada ayahnya. Sebabnya, sang ayah baru saja ditawari oleh orang nomor satu Indonesia, Suharto, untuk menjadi menteri.
Saat itu tahun 1974, masa-masa menentukan bagi seorang Habibie dan kariernya. Pilihannya dua, meneruskan karir sebagai Idol war Messerschmidt, petinggi dan sosok idola perusahaan penerbangan Messerschmidt-Bolkow-Blohm (MBB) di Jerman, atau pulang dan merintis abad teknologi di Indonesia.
Lelaki kelahiran 25 Juni 1936 silam asal Parepare, Sulawesi Selatan, tersebut nyatanya tidak membual. Ia memutuskan untuk tidak kembali ke Jerman. Sang istri, Ainun, menangis karena harus berpisah dengan anak-anaknya, Ilham dan Thareq, yang masih belia dan tengah menjalankan studinya di Jerman. “Ini pengorbanan”, ujar Habibie menjelaskan ketetapan hatinya tersebut dalam wawancara dengan Eksekutif tahun 1979.
Habibie adalah sosok yang menjunjung logika. Sejak kecil ia sudah tertarik dengan fisika, ilmu yang menyatakan bahwa alam dapat dideskripsikan melalui observasi yang berdasarkan interpretasi-interpretasi logis. Ia mengasah bakat intelektualnya di Bandung, Delft (Belanda), dan Aachen (Jerman) yang berakhir dengan jatuh cintanya ia kepada teknologi penerbangan.
Baginya, teknologi penerbangan adalah jawaban logis bagi masalah komunikasi dan transportasi kehidupan manusia modern yang kian terkoneksi satu sama lain di Bumi ini. Khususnya di Indonesia, yang wilayahnya merupakan hamparan kepulauan dan lautan luas. Namun, alih-alih sekadar membeli pesawat terbang dari negara lain, Habibie memiliki visi untuk meramaikan langit Indonesia dengan pesawat terbang buatan anak bangsanya sendiri.
Mata Habibie menatap Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Bandung yang kemudian ia besarkan menjadi institusi negara paling jempolan di masanya. Yang pertama ia lakukan adalah mengubah sistem dan cara kerja. Terinspirasi dari disiplin dan etos kerja Jerman, menurutnya, seseorang itu harus rasional dan produktif. Yang paling sederhananya, ritme kerja perusahaan yang sebelumnya tak beraturan diubahnya menjadi lima hari seminggu, delapan jam sehari.
Hasilnya terlihat beberapa tahun kemudian, pesawat terbang CN-235 “Tetuko” (hasil kerja patungan dengan Spanyol) dan dua pesawat terbang N-250 “Gatot Kaca” dan “Krincing Wesi” (100% buatan Indonesia) berhasil mengangkasa pada 1996. Meski proyek N-250 tidak beranjak lebih jauh dari sekadar proyek prototipe akibat terhantam krisis ekonomi Asia tahun 1998, visi Habibie terbukti berhasil: Orang-orang Indonesia terbukti mampu menguasai teknologi tinggi (hi-tech).
Habibie tidak hanya berkutat pada teknologi penerbangan saja, kerajaan industri strategisnya di Indonesia juga mencakup persenjataan, otomotif, perkapalan, telekomunikasi, dan elektronika.
Logikanya, jika orang-orang Indonesia dapat membuat produk-produk teknologi mutakhir yang demikian kompleks seperti pesawat terbang, maka produk-produk teknologi lain dengan tingkat kesukaran yang lebih mudah tentu bisa dibuat. Apalagi jika produk-produk jadi tersebut memiliki nilai tambah (added value) yang besar dari nilai bahan-bahan bakunya, sehingga profit yang dihasilkan kian besar.
Sebulan sebelum diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi pada 29 Maret 1978, Habibie pernah mengatakan bahwa jika added value sebuah produk mobil Mercedes adalah dua kali lipat lebih besar dari added value Volkswagen, maka added value pesawat terbang bisa puluhan bahkan ratusan kali lebih besar daripada keduanya.
Sebab itulah, ia begitu getol mendorong industri penerbangan di dalam negeri dan riset-riset terapan yang tidak hanya berguna bagi orang Indonesia, namun kalau bisa juga ikut bermain dalam pasar internasional.
Cara berpikir logis ini pulalah yang menjadi modal Habibie dalam menjalankan masa kepresidenannya yang singkat. Dia setuju kala Ali Alatas mengibaratkan masalah Timor Timur bagaikan “kerikil dalam sepatu”, sehingga solusi paling tepatnya adalah memberikan opsi referendum, sebuah logika yang saat itu sama sekali tidak bisa diterima dengan logika kelompok militer dan logika politik banyak pejabat tinggi lainnya. Anomali kekuasaan Indonesia yang berdarah-darah di sana pun berakhir pada 1999.
Habibie juga mengeluarkan banyak undang-undang baru untuk memperlihatkan bahwa Indonesia telah memasuki era Reformasi yang terbebas dari kediktatoran Orde Baru, mulai dari undang-undang pers, otonomi daerah, partai politik, bahkan percepatan pemilihan umum, walau itu berarti menamatkan karier politiknya sendiri.
Habibie memang menjadi orang nomor satu di Indonesia hanya selama 17 bulan, namun riwayatnya cukup impresif, meski bukan tanpa cela. Bagaimanapun juga, ia memulai debutnya di Indonesia dalam lingkungan dan sokongan Orde Baru. Habibie adalah seorang Suhartois dan bahkan tercatat pernah menyebut patronnya tersebut sebagai “Super Genius Suharto”.
Kedekatannya dengan Suharto dan intervensinya dalam pengadaan teknologi militer membuat Habibie tidak disegani di kalangan tentara Orde Baru. Ia juga gagal mengadili kasus korupsi Suharto di masa kepemimpinannya.
Jika ada hal lain yang patut disesalkan dari seorang Habibie, maka itu adalah fakta bahwa ia tidak menulis buku yang komprehensif dan populer mengenai pemikiran-pemikirannya tentang sains dan teknologi Indonesia, mengingat bahwa dirinya adalah ilmuwan terbesar Indonesia sampai akhir hayatnya.
Tanpa bermaksud merendahkan kisah perjalanan cintanya dengan Ainun yang memang layak menjadi inspirasi bagi setiap orang, rasanya akan lebih baik jika generasi-generasi mendatang lebih mengingat sejarah dan karakter seorang Habibie dari sisi keilmuwanan daripada keromantisannya.
Habibie memang telah tiada, namun semangatnya belum mati. Intuisinya mengatakan bahwa Indonesia belum sepenuhnya tersingkir dari arena teknologi penerbangan dunia. Perusahaan yang ia bangun, Regio Aviasi Industri, tengah menggarap proyek pesawat bernama R80 yang, jika sesuai jadwal, akan mengudara pada 2022 dan masuk pasar pada 2025.
Ia juga memahami bahwa kebutuhan akan transportasi udara di Indonesia yang murah, berkualitas, namun membanggakan, akan kian meningkat sehingga logis jika orang-orang Indonesia terbang dengan pesawat-pesawat buatannya sendiri.
Ini adalah logika terakhir dari seorang Habibie, seorang yang bervisi besar dan melampaui zamannya, yang patut dijaga, diwujudkan, dan dirawat oleh semua orang Indonesia yang kini telah ditinggalkannya. Teknologi bukanlah kutukan, teknologi adalah kemajuan. Selamat jalan, Rudy.
Baca juga
Habibie, Musik, dan Jasanya Pada Indonesia