Kamis, April 25, 2024

Melihat Kembali Sistem Pendidikan Kita

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.

Pendidikan merupakan hak dasar setiap individu untuk membebaskan dirinya dari belenggu ketertindasan. Di tengah moda ekonomi hari ini, pendidikan biasanya ditempuh melalui sekolah-sekolah formal. Secara etimologi, sekolah sendiri berasal dari bahasa latin yang memiliki makna “waktu senggang”.

Pada zaman Yunani Kuno, waktu senggang tersebut digunakan oleh kaum lelaki untuk mempelajari suatu hal ataupun perkara yang dirasa perlu untuk mereka ketahui. Seiring berjalannya waktu, kegiatan tersebut menyebar di masyarakat Yunani Kuno, yang akhirnya diikuti oleh kaum perempuan dan anak-anak. Para orang tua kemudian menyerahkan anak-anak mereka kepada seseorang yang dianggap bijaksana di suatu tempat tertentu.

Pada tempat itulah anak-anak boleh bermain dan belajar  apa pun yang mereka anggap patut untuk diketahui sampai waktu tertentu, hingga kelak kembali melakukan aktifitas yang sebagaimana mestinya. Hal tersebut merupakan sejarah atas pengalihan sebagian dari fungsi pengasuhan sampai usia tertentu, menjadi lembaga pengasuhan anak-anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti orang tua. Maka, pengertian sekolah sebenarnya adalah tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia yang berilmu, dan merasa bebas untuk menjadi manusia yang diinginkannya.

Namun, apakah fakta hari ini sesuai? Saya pikir tidak.

Di Indonesia sendiri, pendidikan merupakan salah satu sektor jasa yang diserahkan pada pasar bebas untuk dijadikan komoditi. Terjadi penjualan dan privatisasi, pencabutan subsidi bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan, hingga deregulasi kebijakan yang mengakibatkan hilangnya campur tangan negara pada sektor pendidikan. Neoliberalisme pendidikan tersebut mulai diterapkan ketika Indonesia menjadi anggota WTO pada tahun 1995, dan menerapkan General Agreement on Trade Service (GATS).

Kita dipaksa menjalani pendidikan sesuai kurikulum yang sudah diatur oleh pemerintah, tanpa melihat bakat dan potensi yang berbeda-beda dari tiap individu, hanya melahirkan budaya kompetitif melalui sistem nilai. Hal itu berdampak pada hajat hidup kita yang menempuh pendidikan. Pada akhirnya, kita pun turut terjerumuskan pada sistem yang menindas; menjadi tenaga kerja, memenuhi kebutuhan industri.

17 November 1939, merupakan momen di mana sekolah menjadi tempat para individu menumbuhkan rasa empati pada keadaan sosial dan kepekaan untuk melakukan perubahan. Sekaligus kilas balik penetapan International Student’s Day (ISD) yang dilakukan oleh International Student’s Union, yang bermarkas di Praha, atas peristiwa tragis yang terjadi di Cekoslovakia; yaitu eksekusi mati tanpa pengadilan terhadap sembilan mahasiswa dan dosen. Sebelumnya, penyerbuan besar-besaran  dilakukan oleh Reichprotector Ceko (perwakilan Nazi di negara boneka; Bohemia & Moravia), melalui penutupan lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Cekoslovakia dan melakukan penangkapan terhadap lebih dari 1200 pelajar-mahasiswa-pemuda untuk dikirim ke kamp konsentrasi.

Peristiwa tragis tersebut merupakan respon balik Nazi terhadap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pelajar-mahasiswa-pemuda pada 15 November 1939, untuk menuntut matinya dua orang demonstran karena menolak fasisme yang dilakukan oleh Nazi dan ketakutan elit pemerintahan Ceko untuk melawan tindak-tanduk fasisme tersebut, pada tanggal 28 Oktober 1939.

Melalui peristiwa tersebut, tergambarkan secara eksplisit bahwa sekolah pun pernah menjadi wadah individu-individu yang siap mengubah dunia. Namun saat mereka ingin melakukannya, kekuasaan membungkam itu semua. Sekolah kembali dijadikan tempat kosong, tempat percetakan tenaga kerja di saat perkembangan individu mulai terasa. Sekolah tidak memberikan pilihan untuk menjadi lebih baik.

Gerakan ISD merupakan sebuah perlawanan yang dilakukan oleh pelajar seluruh penjuru dunia terhadap Kapitalisme yang menyusup masuk dalam sistem pendidikan. Gerakan tersebut dipelihara hingga saat ini oleh pelajar internasional, salah satunya adalah Chile. Sejak Mei 2006, Chile secara masif melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme pendidikan, yang diorganisir oleh pelajar sekolah formal tingkat akhir (di Indonesia kita menyebutnya dengan SMA).

Perlawanan yang dilakukan oleh pelajar SMA ini juga dikenal sebagai Revolusi Penguin, yang di dalamnya tidak hanya melibatkan para pelajar, namun serikat guru di Chile juga menyatakan secara gamblang dukungan mereka atas tuntutan gerakan tersebut untuk menghapuskan privatisasi pendidikan dan menjadikannya konsumsi publik. Revolusi Penguin saat itu belum mampu mendorong perubahan yang tertera dalam UU Pendidikan di Chile, namun setidaknya gerakan tersebut berhasil memaksa pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar 200 milyar dolar untuk pendidikan dasar.

28 April 2011, pelajar Chile kembali melakukan aksi dengan skala yang lebih besar. Gerakan tersebut dikenal sebagai Chilean Winter, yang masif dilakukan ketika Chile memasuki musim dingin. Para demonstran melakukan aksi, pendudukan, hingga pemogokan, dan dibarengi dengan aksi lainnya dalam kurun waktu lebih kurang tujuh bulan lamanya. Aksi tersebut diorganisir oleh CONFECH (Konfederasi Mahasiswa Chile), yang di dalamnya terdapat 16 federasi dari univeristas negeri, 9 federasi dari universitas swasta, dan 1 federasi dari organisasi masyarakat adat.

Gerakan yang diorganisir CONFECH tersebut melibatkan aliansi Front Populer; serikat buruh, serikat tani, serikat guru, hingga orang tua pelajar. Semua elemen terlibat untuk menuntut revolusi pendidikan di Chile, dan berhasil menembus sekat antara universitas, sekolah, ladang petani, kantor hingga gudang tempat buruh bekerja, dan ruang-ruang kelas tempat guru mengajar. Oleh karena itu—pada prosesnya—gerakan ini disebut dengan gerakan sosial atau gerakan rakyat. Kekuatan massa aksi tersebut berhasil memobilisai hampir setengah juga rakyat untuk turun ke jalan dan melawan neoliberalisasi pendidikan di Chile.

Merespon gerakan rakyat yang terjadi di Chile, elit politik yang berkuasa saat itu—yang merupakan koalisi dari sayap kanan—melakukan berbagai cara represif untuk menghalangi aksi tersebut. Negosiasi yang dilakukan pemerintah hampir selalu gagal, karena massa aksi menolak jika tuntutan mereka diakomodasi hanya sebagian. Lebih dari itu, mereka menuntut adanya perdebatan politik, bukan teknokratik.

Berkaca dari ISD dan gerakan progresif di Chile, pelajar di Indonesia patutnya belajar dari gerakan tersebut. Hal ini dikarenakan pertama; kesamaan status Chile dan Indonesia sebagai negara Dunia Ketiga. Kedua; neoliberalisme pendidikan yang diterapkan oleh elit politik dan disokong Kapitalisme yang terjadi di Chile juga terjadi di Indonesia, terlebih jika dilihat dari tujuan Nadiem Anwar Makarim, Mendikbud pada Kabinet Maju; yang akan membuat terobosan signifikan dalam pengembangan SDM yang siap kerja, yang link and match pendidikan dengan industri.

Jika tujuan Mendikbud itu direalisasikan, artinya neoliberalisme pendidikan di Indonesia semakin terlihat secara nyata. Maka, makna harfiah pendidikan yang ditempuh di ruang-ruang kelas sebagai kegiatan untuk mengembangkan bakat dan potensi masing-masing, dan memberikan kebebasan setiap individu untuk menjadi dirinya sendiri, tidak akan pernah berlaku di Indonesia.

Sejatinya, pendidikan haruslah bersifat demokratis dan ilmiah, serta dapat diterima secara cuma-cuma oleh setiap individu. Pendidikan yang demokratis dan ilmiah berarti; pendidikan harus mampu mengembangkan setiap potensi diri yang dimiliki oleh tiap-tiap individu, agar dapat membaca materi objektif dan menyelesaikan problematika yang terjadi di masyarakat dalam sektor manapun.

Tidak hanya itu, pelajar di Indonesia juga harus berkaca terhadap konsistensi gerakan perlawanan penindasan terhadap rakyat di Chile. Gerakan perlawanan ini masif dilakukan, yang kian hari kian terjadi pembludakan massa aksi, dan mampu menyatukan tiap elemen massa. Karena pendidikan merupakan alat yang krusial, dan menjadi landasan untuk menentukan nasib suatu bangsa. Luasnya tujuan dan persamaan atas rasa ketertindasan yang menyentuh setiap elemen ini akan berdampak pada kokohnya persatuan, dan mampu memberikan legitimasi terhadap tuntutan.

Menurut saya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh gabungan pelajar pada 24 September silam di Indonesia, sudah cukup menjadi gerbang awal untuk membentuk persatuan. Selebihnya, aktor vokal harus melakukan penyadaran massa pada setiap elemen masyarakat, guna mempersatukan kepentingan dan strategi politik untuk melawan segala bentuk penindasan yang ada di Indonesia.

Mengutip kalimat Paulo Freire bahwa sejatinya pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia, sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif. Happy International Student’s Day!

Agnes Yusuf
Agnes Yusufhttp://heysenja.wordpress.com
Kadang menulis, sesekali makan es krim, setiap saat berkelana.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.