Di masa kampanye Pilpres 2019, Cawapres Kyai Ma’ruf Amin, berkal-kali menegaskan bahwa dalam tarikh politik di masa lalu, posisi kyai tak lebih dari amsal “mobil mogok.” Diajak atau dipilih untuk sekadar dimintai tolong mendongkrak keterpilihan seorang kandidat.
Begitu sudah terpilih atau manakala kekuasaan sudah diperoleh, tugas kyai pun selesai. Begitu si mobil mogok sudah berjalan dan melacu kencang di jalan berliku, kyai pun segera tertinggal di belakang. Tiada punya peran apa-apa lagi. Sekadar pelengkap, sebatas penopang.
Di lain kesempatan, Mantan Rais ‘Am PB-NU itu juga kerap mengungkapkan Hikayat Daun Salam. Lagi-lagi untuk mengamsalkan posisi kyai di ranah politik masa silam. Tanpa Daun Salam, kata Kyai Ma’ruf, gulai bakal hambar. Gurihnya tak dapat. Lezatnya akan jauh berkurang. Tapi, Daun Salam hanya diperlukan saat gulai belum matang. Begitu gulai sudah siap dihidangkan, Daun Salam pun dibuang. Tiada peran apa-apa lagi. Nikmatnya jabatan, gurihnya kekuasaan, lupa pada jasa si Daun Salam.
Tapi, itu dulu. Kini tak ada lagi kisah mobil mogok, nasib buruk si Daun Salam sudah berubah. Kyai bukan pendongkrak keterpilihan, kyai bukan pelengkap-penderita. Di samping Jokowi, ulama diberi tempat terhormat, dibutuhkan pikiran dan kearifannya guna membangun umat. Sangat diharapkan peran pentingnya meraih baldatun tayyibatun wa rabbun ghofur.
Cerita mobil mogok sudah tutup buku. Hikayat Daun Salam telah khatam. Dalam kalkulasi elektoral, terutama pada Pilpres 2019, kalaulah bukan ulama penting NU itu yang mendampingi Jokowi, mungkin ceritanya bakal lain. Sulit bagi Jokowi menghadang gelombang politik identitas yang bergerak sedemikian massif.
Semula banyak yang meragukan kontribusi elektoral Kyai Ma’ruf Amin. Bahkan setelah masa kampanye berlangsung separuh dari durasi utuhnya, angka-angka survei elektabilitas yang mengemuka masih belum memperlihatkan terdongkraknya potensi keterpilihan petahana. Adapun yang paling mencemaskan adalah ketika hasil survei Litbang Kompas (Maret 2019) memperlihatakan trend penurunan elektabilitas JKW-MA dalam angka yang mencengangkan, bila tak dapat disebut mencemaskan.
Sementara elektabilitas Paslon kompetitor meningkat tajam. Keterpurukan itu seolah-olah dapat memperteguh dugaan bahwa figur kyai pendamping petahana, Ma’ruf Amin, belum menampakkan kontribusi elektoral yang berarti.
Lebih jauh, hasil survei itu seakan-akan membenarkan opini bahwa dalam sejarah Pemilihan Presiden secara langsung, dua putra terbaik NU, Kyai Hasyim Muzadi (Cawapres Megawati) dan Kyai Solahuddin Wahid (Cawapres Wiranto) pada Pilpres 2014, telah kandas di tengah jalan. Banyak pihak yang kemudian seolah-olah berteori bahwa setiap kandidat yang didampingi oleh Kyai NU, bakal terpelanting sebagai pecundang.
Tapi, berbagai sinisme dan tudingan miring itu dipatahkan secara telak oleh Kyai Ma’ruf Amin. Pasangan JKW-MA bahkan berhasil membukukan kemenangan dengan selisih keunggulan hampir mencapai 17 juta suara. Basis-basis NU begitu solid. Captive-market Jokowi sedemkian terjaga, dan hampir semua black campaign berbasis politik identitas yang hendak mendistorsi kepercayaan terhadap Jokowi, patah dengan sendirinya.
Banyak pihak akhirnya mengakui kontribusi kyai NU, bahkan dalam batas-batas tertentu, ada yang berpandangan bahwa jikalau bukan kyai NU yang berada di samping Jokowi, maka barisan pendukung 01 tidak akan menyaksikan pelantikan Jokowi untuk periode kedua.
Lalu, sejauh mana kiprah dan rekam jejak putra-putra terbaik NU dalam jangkar pemerintahan? Pertanyaan ini tentu tak dapat dijawab dengan jumlah kader NU, baik dari representasi partai politik maupun profesional murni, yang beroleh kursi di Kabinet Kerja.
Lima tahun sebelumnya, alih-alih kita mendengar kabar baik tentang anak bangsa dari kalangan nahdiyin yang dipercaya sebagai bagian dari pemerintahan, yang menyeruak ke permukaan justru rapor buruk dari kinerja mereka.
Katakanlah misalnya kader muda NU yang menjabat sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) yang terkena imbas reshuffle kabinet. Masih di Kementerian yang sama, tersiar kabar bahwa BPK menemukan adanya biaya perjalanan dinas ganda atau tidak sesuai ketentuan di sejumlah kementerian dan lembaga (K/L). Temuan ini terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I)-2019. Pada 2016 juga mencuat dugaan suap atas status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT.
Hantaman terhadap kader NU di Kabinet Jokowi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Kementerian Agama yang tercoreng oleh isu jual-beli jabatan, kemudian juga menyeret sejumlah nama kader NU, termasuk menterinya, yang menurut sejumlah perkiraan, kini nasibnya pun sedang di ujung tanduk. Adapun yang paling menggemparkan tentulah kabar tentang penetapan Menpora sebagai tersangka oleh KPK, dalam kasus dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia melalui Kemenpora tahun anggaran 2018.
Fakta-fakta yang hampir tak dapat disangkal itu kemudian berakibat besar terhadap sentimen negatif tentang kader-kader NU di barisan pemerintah. Bukan saja bagi yang berkiprah di Kementerian, tapi juga yang memangku jabatan di lembaga-lembaga non-kementerian, termasuk posisi komisaris BUMN, Duta Besar, dan semacamnya. Pendek kata, kabar yang menggembirakan perihal kinerja dan prestasi putra-putri terbaik NU di barisan pemerintahan masih menjadi barang langka.
Apa yang salah dengan kader-kader NU? Di luar pemerintahan, tengoklah mereka tampak begitu mentereng, ternama, dan dihormati. Berkhidmat sebagai guru besar di universitas-universitas ternama, di luar negeri. Ke belahan dunia mana pun anak-anak Indonesia melanjutkan studi, tak sulit menemukan anak-anak muda yang terlahir dari tradisi NU. Tak terhitung banyaknya yang sudah berpredikat Ph,D, lalu berkiprah sebagai intelektual terkemuka di kampus-kampus ternama di Indonesia, dari berbagai bidang keahlian.
Tak hanya bidang ilmu sosial dan ilmu-ilmu keislaman, tetapi tak jarang pula yang expert di bidang ilmu-ilmu terapan. Karya-karya mereka penuh sesak di rak-rak perpustakaan. Hampir setiap hari nama mereka dikutip, dan gagasan-gagasan mereka diperbincangkan di linimasa. Rata-rata mereka menjadi tempat bertanya, atas berbagai persoalan yang kini sedang melanda Indonesia.
Tak berminatkah Jokowi meminang mereka? Apa yang menghalangi mereka, sehingga tak mungkin mendedikasikan karya bagi republik yang mengalami keterguncangan demi keterguncangan ini? Apakah karena mereka bukan bagian dari partai politik tertentu, atau karena mereka tidak punya nasab sebagai santri-santri berdarah biru? Kompetensi keilmuan dan pengalaman mereka tak perlu diragukan. Ketersohoran mereka rasanya mustahil tak menggema hingga gerbang istana.
Bila ketegasan Kyai Ma’ruf, Wakil Presiden Republik Indonesia (2019-2024) dapat dijadikan sebagai pegangan, bahwa di tangan Jokowi, peran kyai¾terutama kyai NU¾bukan lagi pendorong mobil mogok, apalagi sekadar Daun Salam pelengkap bumbu masakan, maka seyogyanya ia dan Jokowi memberi kesempatan pada putra-putri terbaik NU yang selama ini telah berkarya di luar pagar istana. Inilah saatnya mengundang mereka untuk hadir, lalu bekerja. Dari partai politik atau tak. Apapun nasab atau nasibnya…