Meiliana mengeluh soal suara speaker dari masjid. Keluhannya itu membuat orang-orang marah, lalu membuat rusuh. Kalau tidak rusuh, itu sebenarnya hanyalah keluhan biasa. Tapi karena jadi rusuh, kasus Meiliana adalah penodaan agama. Meiliana dihukum karena itu. Ia bahkan dihukum lebih berat dari para perusuh.
Kenapa jadi rusuh? Karena Meiliana dianggap mengeluarkan pernyataan permusuhan terhadap suara azan. Padahal ia keberatan dengan suara speaker masjid. Orang-orang yang menanggapi keluhan Meiliana menganggap suara azan dan suara speaker itu identik.
Speaker memang sudah dianggap bagian dari masjid. Bukan sekadar bagian, ia adalah bagian yang sangat penting. Orang Islam kini sulit membayangkan masjid tanpa speaker. “Bagaimana mungkin orang disuruh azan tanpa speaker?” pikir mereka. Seakan tanpa speaker azan itu jadi tidak sah.
Belasan abad silam, ketika agama Islam diajarkan oleh Nabi Muhammad, azan dikumandangkan tanpa speaker. Tidak ada masalah. Orang-orang tetap pergi ke masjid, tentu saja. Orang beriman memang tidak perlu panggilan suara keras untuk mendatangi rumah Allah. Panggilan itu sudah diinstal dalam jiwa mereka, sehingga setiap tiba saat salat, ia mengingatkan untuk bergerak menuju masjid.
Orang-orang sering lupa bahwa speaker itu baru diciptakan manusia di akhir abad XIX, kira-kira 12 abad setelah Islam diajarkan oleh Nabi. Secara praktis speaker baru menjadi bagian masjid pada pertengahan abad XX, tahun 1960-an. Sekali lagi, sebelum itu umat Islam baik-baik saja, tanpa speaker.
Apa hukumnya azan dengan speaker? Mubah. Azan memang diajurkan untuk dikumandangkan dengan suara keras. Tapi tidak ada anjuran untuk mengeraskannya lebih dari volume yang mungkin dicapai manusia, misalnya dengan corong. Cukup azan biasa saja. Tidak ada anjuran khusus agar azan dilakukan dengan alat khusus. Juga tidak ada larangan. Karena itu disebut mubah.
Nah, karena itu, sebenarnya kita tidak perlu tegang oleh perkara yang mubah. Kalau ada orang keberatan dengan kegiatan mubah yang kita lakukan, kita tidak perlu tersinggung. Lebih patut bila kita mendengar keberatan itu, dan membicarakannya baik-baik.
Masalahnya, banyak orang lupa pada soal yang sangat mendasar tadi, bahwa azan dan speaker itu dua hal yang berbeda. Mereka menganggapnya sama. Keberatan terhadap suara speaker disamakan dengan keberatan terhadap suara azan. Padahal keduanya tidak sama.
Orang juga menganggap speaker itu syiar. Syiar dalam bahasa kita berubah menjadi siar. Ada pergeseran makna yang sangat penting di sini. Syiar adalah penyebaran hal-hal yang baik. Siar semata menyebarkan saja. Syiar tidak terbatas menyebarkan suara, siar lebih terbatas pada penyebaran suara.
Ketika seorang muslim memungut sampah di jalan, ia melakukan kebaikan. Ketika kebaikan itu dilihat orang lalu menyebarkan kabarnya, ia menjadi syiar. Syiar itu adalah penyebaran kebaikan, dan lebih besar dampaknya bila yang tersiar itu adalah perilaku, bukan sekadar suara. Tapi banyak yang mengira, bahwa syiar itu adalah suara. Tidak sedikit orang berharap adanya mukjizat: kalau mendengar suara azan atau ayat suci dari speaker, orang akan dapat hidayah. Karena itulah azan dan pembacaan ayat suci harus disiarkan dengan speaker.
Yang terjadi kemudian: orang menyiarkan, dengan tujuan syiar, melupakan fakta bahwa hal itu dapat mengganggu pihak lain. Saya katakan dapat, bukan pasti mengganggu. Faktanya, ada yang merasa terganggu, ada yang tidak. Ketika ada yang terganggu, siaran tadi tak lagi jadi syiar. Yang tersebar bukan lagi kebaikan, melainkan gangguan.
Tapi bukankah kita harus saling bertoleransi? Sebentar, apa itu toleransi? Ketika ada orang melakukan hal yang mengganggu Anda, tapi Anda melihatnya sebagai sesuatu yang harus dia lakukan karena keadaan tertentu, itu disebut toleransi. Toleransi itu adanya di pihak Anda. Lebih tegas lagi, toleransi itu diberikan, bukan dirampas dengan paksa. Anda harus diam, karena kalau tidak pihak sana akan marah, itu namanya bukan toleransi, tapi tekanan.
Toleransi yang lebih hakiki justru bisa datang dari pihak kita. Kita butuh sesuatu, tapi kalau kebutuhan itu kita tunaikan ia akan menimbulkan gangguan pada pihak lain, maka kita bisa mengurungkan kebutuhan itu. Itu pun sebuah sikap toleran. Apalagi kalau ternyata yang mau kita lakukan itu bukan kebutuhan, atau bukan kebutuhan mendesak. Ingat soal mubah tadi.
Jadi sebaiknya bagaimana? Saya tidak mengatakan bahwa masjid-masjid harus berhenti pakai speaker. Itu tidak mungkin. Tapi bijaklah. Pemerintah sudah memberi panduan pemakaiannya. Dewan Masjid Indonesia juga sudah menganjurkan tata cara pemakaian speaker yang baik. Mereka adalah para pemimpin yang suaranya harus diperhatikan umat Islam, bukan pihak luar, apalagi musuh. Maka, perhatikanlah.
Yang perlu dikumandangkan adalah azan. Kumandangkanlah azan dengan speaker, dengan volume yang wajar. Ketika salat, bacaan imam tidak perlu disiarkan dengan speaker luar. Demikian pula zikir, pembacaan ayat suci, atau ceramah. Cukup siarkan dengan speaker sebatas di dalam masjid saja. Ada cukup banyak masjid yang menerapkan kebijakan ini. Tentu saja banyak yang belum.
Hal lain yang tidak lebih penting, jangan mudah mengamuk. Ketika kita mengamuk, yang tersiar adalah umat Islam berperangai buruk. Itu tidak akan jadi syiar. Apalagi kalau kita mengamuk karena soal speaker. Speaker itu bukan sesuatu yang suci. Mengamuk karena soal speaker bisa jadi akan menunjukkan bahwa kita sebenarnya tak paham agama, tak tahu lagi mana yang suci dan yang bukan. Allah memerintahkan kita untuk bergaul dengan yang tidak seagama dengan kita secara makruf, secara baik.
Mengamuk itu bukan makruf.