Lagi, rakyat Indonesia dipaksa menonton sinetron dramaturgi politik yang tak lulus sensor. Sinetron yang barangkali bisa diberi judul “Cinta dan Benci DPR-KPK”. Bukan Cicak vs Buaya yang berjilid-jilid itu.
Aktor-aktor itu mulai melakonkan perannya tercatat sejak polemik revisi UU KPK nomor 30 tahun 2002 hingga pada proses pemilihan calon Pimpinan KPK baru oleh DPR. Masyarakat dipaksa mengikuti alur cerita yang tokoh antagonis dan protagonisnya tidak jelas.
Meski demikian, perseteruan itu aromanya menyengat ke seluruh penjuru. Misalnya, DPR menjelang akhir hayatnya “kebelet” mengesahkan segudang RUU menjadi UU.
Yang terbaru UU Pesantren, dimana DPR tidak mampu menyerap seluruh aspirasi kelompok keagamaan, termasuk Muhammadiyah yang konsisten sedari awal menolaknya. Karena bagi Muhammadiyah, UU tersebut hanya mengakomodasi pesantren yang tergolong tradisional dan muallimin saja, alih-alih penyetaraan.
Masih beruntung pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ditunda Presiden Joko Widodo. Itu pun setelah dihujat publik beramai-ramai.
Lain halnya dengan KPK. Lembaga anti rasuah tersebut belakangan terkesan melawan pasca yang katanya dilemahkan. Di sisa-sisa tenaganya melakukan serangan balik. Di antaranya, menetapkan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka suap dana hibah KONI pada 18 September lalu.
Disusul Operasi Tangkap Tangan (OTT) Dirut Perum Perindo, dan pengembangan sejumlah kasus korupsi terhitung relatif singkat termasuk korupsi di PUPR.
Dua variabel itu sejatinya bukanlah hal yang aneh. Karena memang menjadi wewenang kedua lembaga Negara tersebut. Antara yang membuat regulasi (undang-undang) dan pemberantas korupsi. Hanya saja kentara tergesa-gesa dan kejar tayang.
Asa publik kepada KPK maupun DPR begitu besar. Maka eloknya meninggalkan nama baik di akhir periode. Seperti pepatah bilang “mati gajah meninggalkan gading, mati harimau meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”.
Keharuman nama lembaga legislatif dan anti rasuah itu akan dikenang, begitu sebaliknya. Tergantung memilih wafat dengan cara apa. Publik pada akhirnya yang memberikan penilaian tersendiri. Namun, rasa-rasanya DPR dan KPK ingin sama-sama suul khatimah.
Mengesahkan beberapa RUU menjadi UU yang tak berpihak pada rakyat sebagai indikasi. Karena implikasinya jelas akan vis a vis dengan kepentingan rakyat. Konsekuensi dari praktek kejar tayang ini melahirkan pemberontakan tentu saja.
Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul. Ngapain saja DPR selama ini? Atau OTT dan penyelesaian beberapa kasus di KPK mengapa terkesan gencar pasca pemerintah merevisi UU KPK? Asumsi demikian tak bisa dihindari. Dan kian memperburuk citra kedua lembaga terhormat itu. Rakyat merasa sendirian sekaligus sebagai korban dan penonton dari drama yang ambilavalen tersebut.
Demontrasi mahasiswa di berbagai daerah merupakan implikasi nyata. Terlepas pro atau kontra. Tapi yang jelas sang sutradara sebaiknya segera mengafirmasi agar tak berdampak luas dan bias.
Dalam prinsip negera demokrasi, yang umum dipahami bahwa yes or no adalah biasa. Namun semangatnya adalah untuk kepentingan umum, keadilan dan seterusnya.
KPK dan DPR Jangan Anti Kritik
Publik menunggu uluran tangan KPK maupun DPR. Menyambut baik aspirasi yang disampaikan. Signal demontrasi mahasiswa di berbagai daerah merupakan bukti bahwa kebijakan itu tidak diharapkan. Bukan justru dihambat dan dipukul mundur.
Menurut John Stuart Mill seperti yang disitir Deliar Noer. Menurutnya masukan dan kritik seharusnya menjadi bahan evaluasi internal karena pendapat publik tak selalu ditunggangi terlebih lagi memang dijamin UUD. Sedang menolak pendapat, secara implisit bahwa KPK atau DPR mengakui kesalahannya sendiri.
Sikap eksklusif itu bukan isapan jempol. DPR yang bermuka dua menanggapi gelombang demonstrasi tak bisa disangkal. Misalnya, ketua DPR mengatakan bahwa pihaknya ingin berdialog dengan mahasiswa namun ketika diundang di mata najwa secara terbuka, justru tidak hadir. Artinya kontra produktif dengan peran DPR sebagai wakil rakyat manakala menghindari aspirasi konstituen (publik).
Fakta lain, saat proses pengesahan revisi UU KPK oleh DPR. Wakil rakyat yang awalnya ditengarai sebagai pemulus hajat politik partainya, tiba-tiba menjadi satu suara. Apa yang tidak aneh!
Sementara KPK bersemayam di balik agenda pemberantasan korupsi sebagai upaya menggalang simpati publik. Meskipun begitu, bukan berarti KPK adalah lembaga tanpa noda.
Sebagai contoh, OTT kasus korupsi terkesan tebang pilih dan merusak martabat politisi. Hal ini bisa dilihat pada kasus Irwandi Yusuf, mantan Gubernur Aceh yang justru mengungkap persoalan pribadinya dengan Steffy Burasye. Moral assasination ini tentu tidak berkaitan dengan pemberantasan korupsi sama sekali.
Kesadaran melanjutkan semangat 20 tahun reformasi hendaknya dijadikan spirit. Lolos dari cengkeraman otoritarianisme orde baru puluhan tahun, merupakan upaya berdarah-darah. Bukan justru menciptakan orde baru gaya baru lagi.
Di sini, Presiden berperan sebagai sutradara. Yang membingkai orkestrasi kebangsaan agar KPK dan DPR menjadi tontonan yang layak bagi semua umur. Tentunya untuk menciptakan irama dan mencetak aktor-aktor politik yang berpihak pada si jelata.