Sebagai warga yang tak bangga sekaligus tak malu mengaku sebagai anak yang lahir dari rahim seorang wanita dari etnis yang secara historis dan kodrati berasal dari etnis Arab, saya sangat menyesalkan pernyataan salah satu tokoh intelilejen Negara terkait pentingnya menjaga stabilitas negara dengan menyebut “warga keturunan Arab.”
Sebagai seorang yang cukup lama mengenyam pendidikan agama dan hingga saat ini masih aktif menyebarkan ajaran agama Islam dengan perspektif rasionalitas, saya merasa terpanggil untuk memberikan sebuah sanggahan sekaligus edukasi agama yang bisa saya pertanggungjawabkan. Lebih berterimakasih lagi bila beliau dan institusi keamanan memberikan kepada saya kesempatan untuk menyampaikan presentasi tentang Islam dalam persepktif lain sebagai pandangan alternatif.
Sebagai orang yang merasa punya kompetensi intelektual secara akademis dan konsisten menyebarkan toleransi, saya merasa perlu untuk memberikan tanggapan rasional.
Ini bukan soal reaksi sentimentil dan bukan soal tersinggung, komunitas kecil yang tak jarang menjadi objek kesalahpahaman cenderung mengabaikan masalah ketersinggungan dan lebih mengutamakan alasan bertahan hidup di tengah masyarakat majemuk yang tak sepenuhnya bebas dari sentimen primordial.
Ironis bila tokoh nasional yang menjadi referensi keamanan, karena prihatin dengan keamanan, melontarkan warning kepada pihak yang diduga memprovokasi dalam pernyataan generalisasi jutaan warga keturunan Arab hanya karena satu atau beberapa provokator dalam komunitas tersebut.
Meredam kekacauan dengan cara mengorbankan pihak-pihak dalam komunitas keturunan Arab yang tak terlibat bahkan turut mengecam secara terbuka oknum-oknum provoktaor, justru bisa mengundang kekacauan yang lebih besar akibat provokasi rasial.
Tanpa meragukan tujuan mulia di baliknya, pernyataan tentang isu sensitif dengan menyebut etnik tertentu bisa dipahami sebagai pemberian stigma negatif atas sebuah komunitas yang sebagian besar indivudu di dalamnya justru menjadi korban dan menanggung tekanan psikologis sikap individu yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Meski tak bermaksud generalisasi tuduhan dan stigma negatif atas sebuah etnik, kecaman prilaku buruk satu orang atau beberapa orang dengan menyebut etniknya takkan pernah benar menurut logika dan takkan pernah baik menurut etika.
Bila seorang sopir angkot menabrak pejalan kaki karena ugal-ugalan, maka yang perlu disalahkan adalah perbuatannya dan yang patut dihukum adalah pelakunya dengan tanpa mengaitkan perbuatan itu dengan etnik, keyakinan, daerah, jenis kelamin dan atribut determinan lainnya.
Banyak individu dari keturunan Arab yang rela menanggung risiko dibenci bahkan lebih dari itu lantaran menyatakan penentangan dan kecaman terhadap oknum-oknum intoleran dalam komunitasnya. Sayang, pandangan dan sikap mereka tak terliput dan terekspos secara luas.
Saya sebagai warga biasa dan banyak sekali warga keturunan Arab yang sudah mengungkapkan kegeraman terhadap prilaku dan pernyataan yang bermuatan seruan kebencian atas nama agama oleh siapapun. Lebih menanggung beban berat bila pelakunya adalah orang seetnis.
Penyebutan “wni keturunan” itu sendiri dapat ditafsirkan sebagai menghipukan kembali frasa yang telah sama-sama dikubur setelah definisi pribumi dibakukan dengan membuang relasi keturunan dengan identitas kebangasaan.
Sebenarnya pemerintah dengan perangkat keamanannya mudah dan sah mengidentifikasi siapa saja yang diduga menjadi provokator dalam sebuah operasi konstitusional penegakan hukum dan punya cukup alasan untuk menindak tegas.
Sejatinya pula pemerintah dan masyarakat umum tak perlu bersusah payah untuk menemukan contoh baik dari sejumlah individu dalam komunitas warga keturunan Arab yang sebagian jasa dan kontribusinya tak tergantikan dalam membangun negara dan bangsa. Sangat banyak dan bahkan tak terhitung yang membuktikan nasionalisme dan melanjutkan jejak para tokoh nasional seperti Husin Muthahar pencipta lagu Padamu Negeri, pelukis legendaris Raden Saleh, pahlawan kemerdekaan Dipegonegoro dan AR Baswedan, diplomat ulung Ali Alatas dan ribuan tokoh lainnya yang hingga kini makin banyak mengisi lini-lini penting.
Terlepas dari efek psikologis negatif yang saya dan orang-orang yang terhimpun dalam.diksi umum “warga keturunan Arab”, saya dapat memaklumi kekhawatiran besar dan serius Bapak Hendropriyono tentang potensi kekacauan yang bisa ditimbulkan oleh pernyataa ajakan melakukan aksi yang dapat dianggap sebagai ajakan pembangkangan terhadap negara.
Sebagai orang yang menyandang minoritas ganda, etnik dan mazhab dengan stigma sesat, kafir, dan lainnya, saya selalu diliputi kekhawatiran tentang akan munculnya pernyataan kontroduktif sebagai akibat dari pernyataan provokatif satu atau beberapa tokoh intoleran.
Sebagai orang berganda minoritas dengan banyak pengalaman sebagai korban diskriminasi, saya bersikap realistis dengan mengabaikan ekspektasi tanggapan dan perhatian dari pemerintah tentang generalisasi yang bisa memantik persekusi dan gangguan sosial. Hasbunallah wa ni’mal wakil.