Saya tak pernah menyangka bahwa depresi itu dekat dan nyata. Selama ini di media sosial, anggapan bahwa seseorang memiliki gangguan kesehatan mental hanya usaha mencari perhatian, kerap kali ya tak perlu ditanggapi, lebih sering mirip kebohongan. Sampai akhirnya saya mengalaminya sendiri, depresi itu membunuhmu pelan-pelan, ia membuatmu lumpuh, tak berdaya dan yang paling mengerikan membuatmu benci diri sendiri.
Tahun lalu tiga orang yang saya kenal mengatakan bahwa ia ingin bunuh diri. Permasalahannya berbeda, mulai dari dikhianati teman, bisnis gagal, sampai masalah rumah tangga. Saat itu saya merespon dengan candaan, bahwa mereka mungkin hanya lelah, butuh liburan dan tak perlu ribut dengan hal sepele macam kesedihan.
“Masa laki-laki cengeng,” mantra bengis macam ini rupanya berbahaya.
Apa yang nampak kerap kali menipu, tiga teman saya ini bisa tampak sangat bahagia di depan orang lain, tapi kadang di ruang yang paling privat mereka berusaha menyakiti diri sendiri, tak jarang malah mencoba bunuh diri. Seseorang bahkan mengatakan bahwa ia tak punya lagi alasan untuk hidup karena merasa demikian kesepian.
“Saya ingin mati saja, tak ada alasan lagi untuk hidup,” katanya suatu pagi.
Saya tak bisa merespon apa-apa, mungkin beberapa dari kita menjalani hidup sebagai sesuatu yang alami, yang natural, tapi bagi orang lain untuk hidup mereka butuh alasan. Terdengar sepele, tapi sungguh sangat penting, apa sih yang membuat kita bertahan hidup?
Beberapa dari kita menganggap agama sebagai pedoman, jalan hidup, sehingga bunuh diri dianggap sebagai dosa. Ini mencegah kita untuk mati, beberapa teman dengan kelakar getir berkata, kalau saja neraka tidak ada, ia memilih untuk mati saja, hidup terlalu bengis untuk dijalani.
Saat seseorang telah bulat tekad untuk mengakhiri hidup, tak banyak yang bisa dilakukan. Beberapa mungkin akan memaksa dan mengikatnya untuk tidak bunuh diri, tapi sampai berapa lama dan sampai kapan kita akan terus menerus mengawasi. Saya percaya ketimbang terus memaksanya hidup tanpa alasan, mengapa tidak memberinya alasan untuk hidup.
Bagi banyak orang yang tengah depresi dan ingin mati, didengarkan sebagai rekan sejajar, adalah kemewahan, Didengar tanpa diadili sebagai orang yang berlebihan, dramatis, atau lemah. Siapapun boleh jadi lemah, jadi dramatis, dan jadi takut. Ini mengapa memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental sangat penting.
Saya pernah menulis bahwa kesehatan mental merupakan salah satu gangguan kesehatan dengan biaya pengobatan yang mahal. Untuk satu kali sesi kamu perlu mengeluarkan uang 500 ribu hanya dari konsultasi saja. Jika ia memerlukan obat, satu kali transaksi akan menghabiskan 900-1,2 juta. Jika kamu tak punya uang, bayangkan teror yang kamu alami?
Belum lagi stigma yang melekat pada mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental. Orang tua kadang menganggap gejala depresi anak sebagai kemalasan, gejala kecemasan sebagai usaha mencari perhatian, padahal ia bisa jadi simptom serius dari penyakit yang lebih berat.
Itu mengapa psikolog atau konselor menjadi penting. Diagnosis tanpa didasari oleh kemampuan klinis dan keilmuan bisa jadi berbahaya.Kamu butuh sertifikasi dan sekolah untuk mengeluarkan resep obat yang merepresi kondisi kejiwaanmu, kamu butuh sertifikasi dokter jiwa untuk merujuk seseorang untuk masuk rumah sakit jiwa. Kamu butuh ilmu dan kompetensi untuk memberi rekomendasi medis, psikis, dan aktivitas kepada orang yang menderita sakit jiwa berat.
Sekedar mendengar tidak butuh sertifikasi. Kamu tidak butuh gelar doktor dan sertifikat untuk peduli kepada orang. Kamu tidak butuh gelar medis bejibun untuk memeluk orang yang kamu sayang, memberinya dukungan dan kepedulian saat ia sedang rapuh. Banyak orang dengan kondisi kesehatan mental buruk hanya ingin didengar dan ditemani.
Saya kira ngga ada orang yang ingin lahir dengan gangguan kesehatan mental. Baik itu serangan kecemasan, bipolar, depresi atau fobia. Tidak ada yang ingin pamer atau jadi pusat perhatian karena penyakit yang dia derita. Jika bisa memilih, para penderita kesehatan mental ingin bisa hidup sehat dan berfungsi dengan baik tanpa harus hidup dengan rasa takut atau cemas, gangguan kesehatan mental yang ia derita muncul tiba tiba dan merusak hidupnya.
Hal yang saya pelajari usai menjadi pasien dan melakukan konsultasi psikologi adalah, setiap orang memiliki fase, tahapan, dan kemampuan adaptasi berbeda terhadap gangguan kesehatan mental. Ada orang-orang yang bisa dengan mudah menertawakan dengan getir kondisi mentalnya, mereka yang telah menerima bahwa mungkin mereka harus hidup dengan keadaan tersebut.
Seperti daya tahan terhadap penyakit, beberapa orang yang memiliki gangguan kesehatan mental lebih resisten terhadap joke atau hal-hal yang dulu membuatnya terpelatuk.
Ini mengapa menggunakan kalimat “Ah saya juga punya penyakit depresi/bipolar/kecemasan nggak selebai kamu, saya bisa menertawakan lelucon soal depresi, jangan lebay,” bisa sangat fatal. Seorang teman mengajarkan bahwa tiap-tiap orang yang memiliki gangguan kesehatan mental memiliki tahapan berbeda, kemampuan berbeda, metode berbeda untuk mengatasi (juga berdamai) dengan kondisi mereka.
Alih-alih menyebut bahwa “Ah saya juga depresi tapi bisa kok santai,” mungkin ada baiknya diganti “Saya peduli denganmu, jika boleh tahu apa saja yang bisa membuatmu terpantik untuk cemas/panik attack?” Kepedulian itu nggak susah kok.
Hari ini adalah Hari Kesehatan Mental Sedunia, mungkin ada baiknya kita belajar mendengar. Karena butuh keberanian besar bagi seseorang yang dengan gangguan kesehatan untuk berbagi cerita. Ia butuh keberanian untuk mau bicara.