Berita ini bertubi-tubi menghiasi lini masa saya. Banyak teman saya menangis terharu karenanya. Tapi, siapa yang tidak? Anak-anak dari TK Katolik mengunjungi saudara-saudaranya sesama TK yang Muslim. Lalu mereka saling berpelukan. Seperti lazimnya anak-anak.
Koran yang memberitakan ini memulainya dengan sebuah cliché, “Toleransi antarumat beragama sudah sepatutnya diajarkan sejak dini.”
Benarkah demikian?
Sepanjang ingatan saya, dan juga dari pengalaman hidup di beberapa negara, orang hanya akan bicara toleransi jika ada masalah. Pada dasarnya, orang tidak terlalu peduli dengan perbedaan-perbedaan seperti ras, warna kulit, agama, dan sebagainya itu. Orang akan jauh lebih sensitif pada perbedaan sosial ekonomi.
Masalah toleransi dan intoleransi sesungguhnya berakar pada faktor-faktor sosiologis, politis, dan ekonomis. Anda bicara masalah ras, misalnya, hanya jika masalah warna kulit ini masuk ke dalam politik, ke hidup sosial, dan ke ketimpangan ekonomi. Pendeknya, dia menjadi masalah struktural.
Seperti ini misalnya. Kalau Anda berkulit putih maka kemungkinan Anda akan lebih makmur, lebih berpendidikan, hidup di keluarga yang stabil, gizi Anda pun lebih baik dan sehat.
Jika Anda berkulit coklat atau hitam, Anda adalah kebalikannya. Anda miskin, kurang terdidik, dari keluarga yang berantakan, dan Anda kemungkinan kurang makan atau kelebihan makan karena makanan sehat itu mahal.
Kemudian ada politisi yang mengeksploitasi isu ini. Di tangan para politisi, isu yang absah (legitimate) harus dirubah menjadi kemarahan. Hanya orang marah yang gampang termobilisasi. Tentu, arahnya adalah supaya politisi ini mendapat dukungan. Entah lewat pemilihan atau hanya sekedar opini publik bahwa ia memang penguasa yang sah.
Toleransi pun tidak jauh dari soal ini. Kita menghadapi masalah. Di negeri ini, paling gampang membuat orang marah karena soal agama. Politisi dengan pintar memanfaatkan situasi ini.
Para politisi, baik yang berjubah, bersarung, berdasi, maupun hanya berbaju putih atau biru, berlomba-loma melakukannya. Ada yang melakukannya dengan telanjang. Ada pula dengan sarung tangan beludru.
Kita membutuhkan toleransi karena kita tidak sanggup menyelesaikan masalah-masalah besar kita: kemiskinan, ketimpangan sosial, keadilan, dan sejenisnya itu lewat sarana-sarana yang kita miliki. Ekonomi kita membela yang kuat. Keadilan kita menindas yang lemah. Politik kita dikuasai para plutokrat.
KIta mengalihkan masalah-masalah besar itu dan menjadikannya masalah agama. Mulailah kita memerlukan toleransi. Dan, jangan salah, toleransi bahkan menjadi industri tersendiri. Begitu banyak lembaga didirikan. Begitu banyak intelektual, akademisi, dan (tentu saja) agamawan, dilibatkan. Mereka bisa bicara yang hebat-hebat.
Adakah dia menyelesaikan masalah intoleransi? Tentu tidak. Berharap demikian, ibaratnya kita menyembuhkan sakit kanker dengan Yodium Tincture.
Hasilnya adalah sebagian masyarakat yang gumunan, yang gampang terharu. Kita terkejut mendapati bahwa satu Vihara di utara Jakarta telah bertahun-tahun menyediakan makanan buka puasa gratis untuk mereka yang berpuasa. Apa yang normal menjadi sangat istimewa. Ini sendiri adalah symptom ketidaknormalan kita.
Saya tidak mau menjadi sinis. Namun inilah yang terjadi. Sekarang keadaan bahkan makin menguat. Kalau kita melihat kembali hasil Pemilu kemarin, kita segera tahu bahwa kita semakin terbelah. Hampir pasti, kita akan semakin kuat merindukan toleransi. Sekalipun bukan disana pokok soalnya.
Tingkah laku anak-anak TK ini menjadi luar biasa karena orang dewasa tidak mampu melakukannya. Padahal hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang normal belaka. Anak-anak akan bermain tanpa bertanya apa agama teman bermainnya.
Ironisnya adalah bahwa hanya dalam beberapa tahun saja, anak-anak ini akan dikenalkan dengan dunia kafir – non kafir. Mulailah anak-anak ini dikumpulkan dalam kubunya masing-masing.
Toleransi sesungguhnya adalah berakar dalam masalah-masalah struktural dan politik kita sebagai masyarakat dan sebagai bangsa.
Jika demikian halnya, hilangnya toleransi tidak akan pernah bisa bisa disembuhkan dengan peluk-pelukan anak-anak TK.
Juga, Anda tidak akan bertambah toleran hanya dengan terharu setiap kali melihat pemuka-pemuka agama itu saling bersalaman dan kemudian saling menikam di belakang karena mereka pun berebut penganut.