Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menonton sebuah film berjudul Girl Fight (2011). Film ini dibuat berdasar kisah nyata yang terjadi di Florida pada tahun 2008, ketika seorang remaja perempuan bernama Victoria Lindsay dirundung oleh delapan teman sekelasnya dengan cara dikeroyok dan dicaci maki. Aksi perundungan itu direkam selama lebih dari 30 menit, untuk kemudian dapat dipublikasi oleh para pelaku di Youtube. Menurut Victoria, meski ia tidak yakin, pengeroyokan itu terjadi karena perebutan laki-laki dan rasa cemburu. Informasi lain mengatakan bahwa motifnya adalah karena Victoria menghina para pelaku di media sosial, meski Victoria membantah hal tersebut.
Kemarin (9/4/2019), saya mendapati cerita serupa terjadi di Indonesia, tepatnya di Pontianak. Tagar #JusticeforAY menempati peringkat teratas di Twitter, setelah kisah tentang perundungan yang terjadi pada siswi SMP berinisial AY, viral. Perundungan itu dilakukan oleh 12 siswi SMA karena motif yang mirip pula dengan film Girl Fight, yaitu perebutan laki-laki dan hinaan di media sosial.
Penelitian telah banyak menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki merundung korban-korbannya dengan cara yang berbeda. Ketika laki-laki merundung dengan lebih terbuka dan menyerang korban secara fisik, perempuan cenderung merundung secara diam-diam dan menyebarkan rumor agar korban menjadi terkucil. Namun, bukan berarti perempuan tidak mungkin merundung korbannya dengan kekerasan fisik seperti yang dilakukan laki-laki. Pernah dengar bahwa perempuan bisa “lebih kejam” saat merundung korbannya? Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yakni,
- Perundungan yang dilakukan perempuan lebih sulit dideteksi, sehingga kondisi korban cenderung sudah kritis saat perundungan diketahui orang luar.
- Perempuan yang merundung hampir selalu melakukannya secara berkelompok dan direncanakan terlebih dahulu, lain dengan laki-laki yang sering beraksi sendiri dan menyerang dengan spontan atau oportunis.
- Perempuan dalam kelompok perundung saling berkompetisi dalam melakukan perundungan untuk menjadi pemimpin kelompok atau mendapat kedudukan sosial yang lebih tinggi. Mereka cenderung tidak percaya pada satu sama lain.
Dalam kasus AY, perundungan yang dialaminya mendapat perhatian luar biasa karena diduga melibatkan kekerasan seksual pula. Terlepas dari kebenarannya, penting untuk diketahui bahwa kekerasan sekusal dalam aksi perundungan perempuan sebenarnya bukan suatu hal yang baru, bahkan sering dilupakan karena slut-shaming, sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual, kerap dianulir dengan slogan girls will be girls. Sangat tidak elok bila kita baru serius menanganinya setelah kekerasan seksual dalam perundungan terjadi secara agresif dan menyerang secara fisik. Melalui tragedi AY, semoga kita bisa lebih membuka mata akan kekerasan seksual yang dilakukan oleh perempuan pada perempuan, baik dalam konteks perundungan atau bukan.
Menyerang seksualitas adalah cara yang dinilai efektif untuk merundung korban perempuan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Elizabethe Payne, dicap atau digosipkan sebagai “pelacur” adalah hal yang sangat umum terjadi dan paling ditakuti oleh perempuan, terutama yang masih berada di lingkungan sekolah. Hal ini terjadi karena budaya heteronormatif masih menghubungkan berharga atau tidaknya perempuan sebagai manusia dengan perilaku seksualnya. Di masyarakat Indonesia yang masih mengglorifikasi keperawanan, kekerasan seksual dalam perundungan sangat mungkin berkembang dari slut-shaming hingga ke pelecehan atau perkosaan.
Apabila kamu mendengungkan #JusticeforAY, maka seyogyanya kamu juga melawan segala bentuk perundungan dan budaya heteronormatif yang punya potensi menjustifikasi kekerasan seksual.
Saya masih ingat cerita-cerita tentang perundungan antara perempuan yang dialami oleh senior saya waktu SMA dulu. Ada yang dipaksa melepas bra karena tidak pakai kaus dalam di balik seragam, sementara statusnya sebagai anak kelas satu melarangnya melakukan itu. Ada pula yang payudaranya diremas karena membuka lebih dari dua kancing seragam (lagi-lagi itu dilarang karena ia masih kelas satu). Namun, melihat konteks ini, mungkin akan ada beberapa orang yang berpikir bahwa itu adalah teguran yang wajar dilakukan oleh senior kepada junior. Sayangnya, ini tidaklah wajar. Ini adalah perundungan yang dilakukan oleh senior kepada junior melalui kekerasan seksual, dan umumnya timbul bukan hanya demi mendapat kedudukan sosial, tapi juga karena adanya persaingan intraseksual.
Persaingan intraseksual adalah persaingan antara jenis kelamin yang sama untuk mendapatkan pasangan terbaik. Melakukan kekerasan adalah salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam memenangkan persaingan intraseksual bagi perempuan—kembali lagi karena harga perempuan sering kali terletak pada perilaku seksualnya. Oleh sebab itu, bukan hal mengejutkan bila perempuan dapat merundung perempuan lain karena urusan laki-laki, atau karena perempuan lain memiliki ekspresi seksual yang dapat mengancamnya untuk mendapatkan pasangan.
Masyarakat mengecam berat kasus AY dan beberapa melakukan witch hunt melalui #JusticeforAY. Harapannya agar pelaku merasakan hukuman seberat-beratnya meski pun mereka masih tergolong di bawah umur. Kasus pidana dengan pelaku anak memang masih menjadi polemik, terutama ketika sudah seviral #JusticeforAY. Akan tetapi, masyarakat pun perlu memahami bahwa restorative justice bukan sekadar membuat pelaku anak tidak diproses lebih lanjut secara hukum, tapi juga tentang penyelidikan kepada pelaku anak untuk mencari akar masalah dan menemukan solusi yang sesuai bagi kebutuhan pelaku anak. Kejahatan adalah proses belajar, oleh sebab itu menyelidiki kondisi biologis, psikologis, dan sosial pelaku anak pun juga perlu dilakukan.
Dalam film Girl Fight, para pelaku merasa bangga ketika video perundungan yang mereka lakukan viral dan diliput kanal-kanal berita di televisi. Sementara di kasus AY, para pelaku dikatakan tanpa merasa bersalah mengunggah boomerang wajah mereka yang tertawa-tawa di Instastory. Alasan paling masuk akal dari sikap tersebut adalah karena mereka memang memiliki nilai moral yang berbeda, yang perlu dicari tahu (tapi tidak untuk dibenarkan) melalui restorative justice.
Menyinggung kembali tentang kasus Victoria, lima orang pelaku sempat terancam pidana seumur hidup. Namun, karena usianya yang masih terhitung anak-anak, mereka berakhir dikenai hukuman 15 hari penjara, tiga tahun masa percobaan, 100 jam melakukan pekerjaan sosial, dan denda sejumlah uang. Pada tahun 2009, perundung utama Victoria kembali masuk penjara setelah ia berusaha menabrak seorang tetangga yang berkonflik dengannya menggunakan mobil. Ketika kekerasan menjadi bahasa, masalah apa pun akan diselesaikan melalui kekerasan pula. Inilah mengapa pelaku anak memerlukan pendekatan restorative justice, agar ia tahu bahwa kekerasan bukanlah suatu jalan keluar.