Penjualan informasi data pribadi yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab meresahkan masyarakat. Seperti investigasi yang dilakukan oleh Kompas, data pribadi diperjualbelikan secara bebas dengan harga bervariasi di kalangan tenaga pemasaran kartu kredit.
Bahkan, data yang dijual memuat informasi-informasi penting, seperti nama lengkap, nomor telepon, alamat rumah, pendapatan per bulan, hingga nama orangtua.
Tanpa disadari, informasi data pribadi tersebut kita berikan ketika mengisi formulir pendaftaran, baik dalam pembukaan rekening, maupun dalam bentuk pendaftaran aplikasi lainnya yang memerlukan data-data pribadi konsumen yang kemudian data itu mengalami komodifikasi dengan diperjualbelikan.
Sebagai contoh, ketika kita mengisi formulir aplikasi, kita memasukan data pribadi kita. Lalu selang beberapa waktu, ada lembaga lain yang menghubungi kita dengan menggunakan data yang pernah kita masukan. Hal ini juga telah menandakan bahwa internet pun telah telah menjadi area “tambang data” (data mining).
UU Keterbukaan Informasi Publik
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya pasal 17 (h) bab 5, informasi yang dikecualikan yakni informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengungkap rahasia pribadi.
Yaitu, riwayat dan kondisi anggota keluarga; riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.
Dengan ini, maka oknum yang telah mengambil data pribadi konsumen dapat dikatakan melanggar UU Keterbukaan Informasi Publik. Hal ini dikuatkan oleh pendapat yang dikemukakan oleh pakar Ilmu Komunikasi, Dr. Fajar Junaedi, S.IP., M.Si., bahwa penjualan data pribadi secara etik tidak bisa dibenarkan.
Informasi yang sifatnya pribadi adalah milik individu pemiliknya. Dan jika informasi pribadi dari individu tertentu dimiliki oleh badan publik, maka penggunaannya harus sesuai dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terutama pasal 17 (h).
Badan publik tidak berhak memberikan informasi publik kepada pemohon jika menyangkut informasi pribadi, demikian pasal ini mengaturnya. Maka, dalam perspektif etika teleologi, penggunaan informasi pribadi harus sesuai dengan amanat undang-undang tersebut.
Jika sudah ada aturan yang mengaturnya, pertanyaan berikutnya yang muncul ialah, dimanakah pengawasan UU Keterbukaan Informasi Publik? Maraknya penjualan data pribadi ini telah menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan terhadap data publik oleh badan publik. Siapa yang paling bertanggung jawab atas persoalan ini?
Tentu saja lembaga-lembaga yang berwenang, dan salah satu diantaranya Komisi Informasi. Peran dari Komisi Informasi seharusnya lebih strategis dalam membantu mencegah penjualan data pribadi tersebut.
Literasi UU Keterbukaan Informasi Publik pun juga masih sangat minim dilakukan. Peran lembaga ini seharusnya dapat diperkuat kembali, mungkin bagi sebagian orang tidak begitu mempermasalahkan dengan adanya penjualan data informasi tersebut, namun jika arahnya sudah pada aspek merugikan atau menggangu kenyamanan publik, hal ini perlu dilakukan penindakan yang tegas.