Minggu, November 24, 2024

Joker dan Kita: Antara Tragedi dan Komedi

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
- Advertisement -

Spoiler alerts!

Dingin, intens, gelap dan mindblowing. Barangkali, demikian penggambaran saya usai menonton film Joker. Sutradara Todd Philips benar-benar membuat mahakarya luarbiasa. Todd menyajikan kisah tentang supervillain (pangeran kriminal) di dunia tanpa pahlawan super. Tak ada adegan baku-hantam antara Joker dan Batman. Yang ada hanya sosok yang terobsesi menjadi pelawak (comedian) sehingga dia bisa menceritakan lelucon dan membuat orang tertawa, namun orang-orang justru memperlakukannya sebagai lelucon.

Akting, plot, dan adegan pengambilan tiap gambar tampak betul-betul artistik dan disampaikan dengan baik. Joaquin Phoenix sukses memerankan tokoh Joker. Saya patut angkat topi. Joaquin tidak hanya menggambarkan sosok “pelawak” yang kita inginkan, tetapi lebih dari itu film ini mengizinkan kita untuk melihatnya dengan cara yang tak terbayangkan. Film yang mencampurkan segala emosi di dalamnya: pengalaman yang tidak menyesal, realistis, sinisme, mendalam secara psikologis, dibuat dengan cermat, dan mendebarkan.

Sepanjang menonton film ini, saya tidak pernah berhenti untuk bersimpati pada tokoh Arthur, sosok Joker sendiri. Arthur Fleck adalah pria pendiam dan menyedihkan yang dihancurkan oleh “kekuatan” dalam hidupnya. Dia memiliki kondisi mental yang menyebabkan dia tertawa histeris ketika dia gugup atau kesal—yang hanya membuat orang lain merasa gugup dan kesal. Sulit baginya untuk mempertahankan pekerjaannya sebagai badut sewaan dan terapi pengobatannya dihilangkan disebabkan pemotongan anggaran oleh pemerintah Gotham.

Joker, seorang pria kesepian dengan penyakit mental, yang tidak menerima penerimaan dari masyarakat dan dia kehilangan semuanya. Semua persona itu, kebebasan itu, fluiditasnya, kegilaannya, kejahatannya telah terbunuh dan apa yang saya saksikan adalah seseorang yang terluka terlalu berat dan ingin menembus kepribadiannya yang tersembunyi.

Joker lahir dari kesunyian dan kehilangan diri sebagai konsekuensi mendasar yang disebabkan oleh ibunya yang gila secara mental. Joker tertawa, tersenyum, menangis, dan bahkan tatapan tajam ketika berbicara dengan banyak emosi di dalamnya. Ketika Joker tertawa setelah sebuah tragedi, sulit untuk mengetahui apakah dia tertawa atau sedang menangis.

Ada begitu banyak rasa sakit dan kesengsaraan. Bukan salahnya memiliki kondisi ini, tetapi semua orang menghakiminya karena itu. Adegan-adegan tentang penyakit mental mengungkapkan beberapa kebenaran tentang bagaimana orang-orang sakit mental diperlakukan tidak baik hari ini. Bahkan, dalam catatan Arthur tertulis sangat jelas: “bagian terburuk tentang penyakit mental adalah orang-orang mengharapkan Anda untuk berperilaku seolah-olah Anda tidak memilikinya.”

Saya pikir, ini kalimat yang sangat menohok. Sependek pemahaman saya, Joker seperti menyampaikan pesan kepada umat manusia bahwa manusia hanya mampu menghakimi ketimbang memahami manusia lain terlebih dahulu. Manusia seperti kehilangan sisi humanisnya.

Arthur berusaha keras untuk mendapatkan bantuan untuk penyakit mentalnya, ingin dianggap keberadaannya, tetapi sepertinya masyarakat menunjukkan tidak ada dukungan apa pun. Mereka tidak mau mengakui bahwa penyakit mental ada, apalagi memahaminya. Seolah-olah orang hanya ingin orang sakit mental dikurung di rumah sakit jiwa dan selesai dengan itu.

Film Joker melambangkan seperti apa kita manusia hari ini. Betapa arogannya kita terhadap orang-orang yang cacat mental, terhadap orang miskin, dan terhadap semua orang yang lebih rendah dari kita. Orang-orang yang hidup dalam sistem yang kompleks. Karena kompleksitas itulah, orang-orang terlahir menjadi egois.

- Advertisement -

Berkaca dari Joker, bagaimana kehidupan digambarkan dengan lebih baik: tragedi atau komedi? Bila Joker mengatakan bahwa “life is comedy,” bagi saya, hidup adalah tragedi sekaligus komedi. Kita makhluk emosional, komedi dan tragedi adalah untuk manusia “perasa”.

Mereka yang cukup berani untuk membuka diri dan merasakan semua perbedaan, rasa yang ditawarkan kehidupan benar-benar hidup. Namun, pada saat yang sama, sangat menyedihkan. Dalam kehidupan, Anda bakal melihat hal-hal seperti: politisi rongsokan harus kekuasaan, orang taipan kaya, dan mereka yang terkenal tanpa alasan, entah karena uang, kontroversi dan ideologi mereka, itu menjadi lucu sekaligus tragedi.

Film Joker adalah tamparan kuat secara mendalam menggambarkan realitas sosial yang terjadi hingga hari ini: kemunafikan masyarakat, kebohongan tentang kesetaraan, pelecehan anak, penyakit mental, dan kekuasaan. Masyarakat lebih peduli tentang status sosial daripada kesetaraan. Orang miskin bisa dibuang. Orang-orang tertindas yang menggambarkan dirinya sebagai badut. Badut yang tidak penting bagi kaum “white collar.”

Pertentangan antara kaum proletar dengan kaum borjuis. Orang miskin yang terbaring di jalanan kota yang tidak diperhatikan. Kaum tertindas, kaum marjinal yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, hidup terlunta-lunta, suatu waktu bisa mati di tengah jalan. Tetapi, orang-orang di sekitar hanya melangkahi mayat-mayat mereka tanpa menundukkan kepala barang sedikit pun.

Film Joker memaksa siapa pun untuk melihat diri kita sendiri dan hubungan kita dengan orang-orang seperti Joker. Ini menimbulkan pertanyaan yang mengganggu dalam kepala saya: seberapa banyak peran yang kita mainkan dalam menciptakan seseorang seperti Joker dan seberapa akurat persepsinya? Meskipun, sepanjang film itu, sulit untuk mengatakan apakah Joker melihat sesuatu dengan benar atau hanya menjadi delusi.

Joker tidak hanya menyuguhkan tentang adegan satu karakter yang ditolak oleh masyarakat, tetapi juga serangkaian hari-hari yang buruk dalam kehidupan sosial kita. Ada kisah tentang korupsi sistematis pemerintah dan sikap apatis terhadap kaum tak berpunya, yang memicu cukup banyak kekacauan untuk mengambil alih segalanya, dan mengatasi dominasi orang-orang kaya dalam sistem kapitalisme modern.

Tumbuhnya nasionalisme dan populisme penuh kekerasan juga memberi peluang bagi tindakan kekerasan semacam itu. Ini adalah cerita tentang underdog klasik, tentang seorang yang gila mental. Akhirnya, menemukan penerimaan dan rasa hormat pada alter egonya, tersedot sepenuhnya ke dunia kekerasan dan menjadi pembawa bendera gerakan antikemapanan. Ia adalah simbol pemberontakan dan perlawanan.

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.