Jumat, Maret 29, 2024

Jangan Jadi Pendidik Expired

M Husnaini
M Husnaini
Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2020, saya tertarik mengulas tentang tradisi membaca dan menulis yang kemudian saya kaitkan dengan tugas pendidikan yang secara profesional diemban oleh guru atau dosen—selanjutnya dipakai istilah pendidik.

Kita tahu, tradisi membaca, apalagi menulis, di Indonesia terbilang rendah. Di kalangan masyarakat terdidik sekalipun. Menurut beberapa sumber, tradisi literasi kita masih tiarap. Dibanding Malaysia dan Singapura, misalnya, tingkat melek literasi masyarakat Indonesia masih kalah.

Dari fakta ini, jika ada pendidik yang gemar menulis, apalagi sampai terbit buku di penerbit mayor, harus diapresiasi setinggi mungkin. Yayasan atau lembaga tempat pendidik itu mengabdi juga harus memerhatikan. Bila perlu, diberikan penghargaan khusus, kendati tidak selalu berupa materi.

Pendidik yang gemar menulis pasti juga gemar membaca. Paling tidak, dua aktivitas itulah—yaitu membaca dan menulis—yang membuat wawasan pendidik ter-update. Dalam bahasa cendekiawan Muslim M Amin Abdullah, pendidik semacam itu akan selamat dari virus expired knowledge.

Ibarat dokter, agar mampu mendiagnosis dan mengobati berbagai penyakit yang terus berkembang, pendidik harus terus memperbarui ilmu. Tugas pendidikan tentu saja berbeda dari tugas kedokteran. Malapraktik dalam bidang kedokteran, paling banter, menyebabkan pasien meninggal. Malapraktik dalam dunia pendidikan berbuntut panjang, yaitu hancurnya masa depan anak secara berkelanjutan.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, bilang bahwa guru yang hebat seharusnya murid yang hebat. Analoginya, pendidik harus punya kemampuan dan gairah belajar melampaui peserta didik. Jika peserta didik membaca satu buku, pendidik harus khatam lima buku. Jika peserta didik belajar satu jam, pendidik harus lebih dari itu. Guru yang baik adalah murid yang baik pula. Makna kata “murid” ialah “orang yang menginginkan ilmu”.

Tradisi membaca, mengamati, berpikir, kemudian menulis harus digairahkan di dunia pendidikan. Sering kita jumpai orang yang keilmuannya tidak paralel dengan gelarnya. Tidak sedikit mahasiswa yang pulang membawa gelar, tetapi tidak ilmunya. Boleh jadi disebabkan ketidaktepatan mahasiswa bersangkutan memaknai belajar. Misalnya, ketika lulus kuliah dan menyandang gelar, dia lalu tutup buku. Merasa sudah mapan dan ogah me-refresh pikiran. Membaca tidak lagi dipentingkan, karena tidak secara langsung berkorelasi dengan penghasilan atau materi.

Pernah dalam sebuah grup WhatsApp doktor pendidikan, saya mengunggah meme: “Bedanya orang yang sekolah tinggi dengan yang bukan itu terletak pada tradisi membaca dan menulis. Sekalipun gelar pendidikan berderet, tetapi kalau tidak gemar membaca dan tidak terampil menulis, maka kita akan tetap kalah dengan yang tidak sekolah tinggi-tinggi namun serius membaca dan rajin menulis.”

Tiba-tiba, ada anggota grup yang menyahut tidak setuju dengan postingan saya. Argumennya, tidak semua orang punya kecerdasan menulis. “Gimana dengan mahasiswa yang mencipta Medibot untuk membantu frontliners dalam menangani pasien Covid-19? Mereka tidak mencipta karya tulis, tetapi mencipta benda,” tulisnya.

Dia juga bilang, katanya pendidikan seseorang tidak bisa diukur dari jumlah hasil karya tulis, tetapi bagaimana berpikir dan menciptakan karya dalam bentuk apa pun untuk manfaat manusia.

Selama ini, saya jarang sekali meladeni komentar di grup WhatsApp, karena ujungnya paling hanya debar kusir. Tetapi, kali ini saya tertarik menanggapi, karena pemikiran itu muncul dari mahasiswa yang sebentar lagi menyandang gelar doktor di bidang pendidikan.

Saya jawab, orang mencipta penemuan itu karena hasil bacaan. Jangan lupa, membaca, dalam surah Al-Alaq, maknanya termasuk juga menganalisis dan meneliti. Bukan sekadar membaca dalam arti tilawah, tapi juga qiraah, tadarus, dan tadabur. Para penemu itu sudah sampai tingkat tadarus dan tadabur. Dan orang bisa mencapai semua itu karena ada sesuatu (bahan, objek) yang dibaca. Bahan bacaan lahir karena ada orang yang menulis. Bacaan bisa menjadi teori, hingga berujung pada hasil penemuan.

Karya juga tidak harus berupa karya tulis, lanjut saya. Banyak orang besar tidak mewariskan karya tulis. Yang jelas, bacaan itu amunisi, sementara tulisan adalah senjatanya. Karya dalam bentuk apa pun pasti lahir dari hasil bacaan, kendati yang bersangkutan tidak selalu menuliskannya. Tentang pendidikan tidak bisa diukur dari karya tulis, cobalah Anda jangan menulis disertasi, kalau bisa lulus. Atau ketika sudah selesai doktor nanti, tidak usah menulis di jurnal. Kita lihat, apakah Anda bisa jadi profesor atau guru besar.

Menulis itu bukan intelegensia, melainkan keterampilan. Semua bisa asal berlatih. Kuncinya adalah mau atau tidak. Keterampilan menulis masuk kategori kecerdasan bahasa, dan semua orang punya. Yang tidak akan bisa menulis biasanya mereka yang suka uring-uringan atau sinis melihat motivasi-motivasi tentang menulis, karena yang bersangkutan mungkin tidak bisa meniru seperti itu. Atau, sudah berusaha meniru, tetapi gagal terus setiap kali mencoba.

Kawan kita ini kemudian mengaku sendiri bahwa dirinya memang kurang suka menulis. Dia lebih senang menggambar. Katanya, di zaman sekarang ini ilustrator lebih dibutuhkan daripada penulis. Bayaran ilustrator juga mahal.

Saya tegaskan, menggambar juga termasuk karya. Silakan diasah terus hobi Anda dengan membaca yang tekun supaya bisa seperti para pelukis dunia, seperti Titian, Pablo Picasso, Leonardo Da Vinci, Michelangelo, Rembrandt, Raphael, Vincent Van Gogh, Masaccio dan semisalnya. Saya tidak hobi menggambar, tetapi tahu nama-nama pelukis dunia juga dari membaca.

Menciptakan ilustrasi juga bagian dari berkarya tulis (dalam bentuk animasi). Anak-anak suka buku berilustrasi juga bagian dari aktivitas mereka membaca, yaitu membaca ilustrasi/gambar. Bahkan, kita sekadar berhenti karena ada lampu merah di jalan raya juga salah satu bentuk berliterasi atau membaca dalam makna lain.

Penting saya ingatkan bahwa berkarya apa saja, termasuk menulis, bukan soal bayaran. Bagi saya, semua itu tentang amal bajik dan kepuasan batin.

Diskusi selanjutnya tidak perlu ditayangkan karena sudah keluar konteks. Yang jelas, setuju atau tidak setuju terhadap suatu pendapat itu boleh saja. Apalagi, memang manusia cenderung menolak dan memusuhi segala yang dia belum/tidak ketahui. Kata pepatah Arab, al-insanu a’da-u ma jahilu. Saya sudah menulis buku tentang kiat-kiat menulis, dan banyak intelektual lain dengan buku-buku mereka yang tentu lebih tebal dan lebih bermutu tentang membaca dan menulis. Silakan dibantah dengan argumen-argumen dalam karya yang setara. Insya Allah akan lebih seru dan hidup.

Terakhir, boleh jadi pemikiran kawan kita di atas mewakili pemikiran banyak orang, terutama yang selama ini ogah apabila disuruh membaca dan menulis. Untuk calon doktor pendidikan, saya kira, pemikiran semacam itu keliru dan perlu diluruskan. Jika tidak, lembaga-lembaga pendidikan kita ke depan akan dipenuhi oleh guru/dosen yang bergelar pendidikan panjang, namun expired secara ilmu dan wawasan.

M Husnaini
M Husnaini
Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.