Minggu, November 24, 2024

Indonesia Tanpa Feminis: Tubuh Hak vs Kekerasan Moral

- Advertisement -

/1/

“Ini aurat gue bukan urusan lo.” Aku mendapatkan kalimat ini dari sebuah foto captured perdebatan di status Facebook. Siapa pun penulisnya tidaklah begitu penting, mengingat kalimat itu sudah mulai menjadi bahasa keseharian dari satu pergeseran besar dalam paradigma kita mempersepsi tubuh. Dari kritik terhadap bahasa slogan itu, kita bisa segera mendapatkan satu kesimpulan yang sangat menarik jika kita memformulasikannya dalam bentuk pertanyaan: siapakah pemilik tubuh manusia?

Ada perubahan maha akbar dalam persepsi manusia memandang tubuhnya: dari tubuh yang penuh dengan kewajiban-kewajiban beralih ke tubuh yang memiliki hak-hak. Ini sungguh perubahan sangat-sangat akbar dalam sejarah peradaban manusia. Karena satu hal: tubuh adalah basis material utama hampir semua berjalannya institusi yang ada di bumi bahkan di akhirat, sejauh manusia terlibat.

Efek perubahan itu sungguh sangat menakjubkan, dari perihal besar sampai yang sangat sepele: pembenaran versus pelarangan tubuh dikorban-bunuhkan demi agama, suku, negara, atau berbagai institusi lainnya, pembenaran versus pelarangan perbudakan manusia, pelarangan versus perbolehan kerja seks komersial, atau berbagai ibadah ragawi dalam agama termasuk penutupan tubuh, perbolehan dan pelarangan kekerasan ragawi di rumah atau lembaga pendidikan, hubungan anak dengan orangtua, pola-pola asmara kaum muda, sampai hal-hal kecil seperti tertawa, tersenyum, atau menangis.

/2/

Jika kamu perhatikan karya sastra besar klasik seperti Mahabarata, Ramayana, Syahnameh, Serat Centhini, atau kitab-kitab suci agama Ibrahimi, bahkan karya sastra modern yang penulisnya tidak sadar perbedaan bahasa kewajiban dan bahasa hak, dengan gampang kita menemukan dominasi bahasa-bahasa kewajiban yang ditujukan kepada tubuh manusia. Dan tiap kewajiban yang dilaksanakan tubuh akan diklaim sebagai kebaikan dan kebahagiaan si tubuh, masyarakat, dan seluruh jagat, bahkan di akhirat kelak entah.

Sejak zaman sangat dahulu kala sampai era termutakhir, tiap jam dan detik tubuh manusia diajari, dididik, dilatih, didoktrin, dipropaganda, dibujuk agar selalu mengingat bahwa tubuhnya adalah tubuh kewajiban. Tiap tubuh manusia adalah tubuh kewajiban demi kewajiban yang diabdikan demi sesuatu yang di luar pemilik tubuh itu sendiri: agama, negara, suku, ekonomi, keluarga, dan seterusnya.

Tubuh kewajiban adalah tubuh yang diabdikan, yang dikehendaki, yang dikuasai, yang terperintah, yang dikendalikan oleh kekuasaan di luar dirinya. Hampir dalam setiap tindakannya, tubuh seakan mendapatkan satu kode perintah umum: aku wajib mematuhi tiap kewajiban.

Saat semakhluk bayi manusia lahir, sejak saat itu tubuh kewajiban dilaksanakan padanya: mengenakan pakaian dan berbagai ritual yang bersifat inisiasi pada kewajiban. Saat kesadarannya tumbuh, tubuh manusia akan diajari, dididik, dilatih untuk melakukan segala hal yang boleh, yang terlarang, dan yang wajib dilakukannya. Tubuh yang melanggar aturan-aturan larang dan kewajiban akan dihukum secara sosial, religi, kenegaraaan, baik dalam bentuk sanksi verbal atau ragawi.

Inilah alasan pembenaran kekerasan ragawi atau simbolik terhadap tubuh dalam agama, negara, keluarga, dan seterusnya. Agar ia menjadi tubuh kewajiban yang baik, patuh, taat, dan berbahagia di dunia dan akhirat. Hampir semua kekerasan terhadap tubuh, termasuk dalam kasus tubuh pahlawan negara atau agama, berbasis pada tubuh kewajiban.

- Advertisement -

/3/

Lalu, setelah berbagai peristiwa bersimbah gelimang nyawa meregang yang terus menimpa tubuh selama sekian milenium, pada suatu masa yang merambat perlahan di muka bumi, lahirlah tubuh-tubuh yang mengklaim memiliki hak-hak kemanusiaan. Ini adalah peristiwa akbar yang, dalam sejarah peradaban manusia sekitar satu milenium, dihegemoni tubuh kewajiban meski benih-benih tubuh hak sudah lama sekali tertanam tapi baru menjadi terkemuka dalam zaman modern.

Puncak kelahiran tubuh hak terjadi pada 10 Desember 1948, saat Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations) mendeklarasikan Universal Declaration of Human Rights secara internasional dan tanpa berkonsultasi sekata pun kepada agama-agama yang menghegemoni-memonopoli klaim kewajiban. Tak satu pun para penggagasnya yang berkonsultasi pada agama apa pun di muka bumi, atau kepada negara apa pun, atau lembaga sosial-politik apa pun.

Dengan deklarasi itu, lahirlah sang manusia-hak (rightful-creature) dan tubuhnya menjadi tubuh-tubuh dengan kuasa hak-hak. Perlahan dan semakin hegemonik, berbagai dokumen hukum yang sebelumnya berbasis kewajiban dipaksa berbasis pada tubuh-pemilik-hak asasi yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun termasuk negara (bahkan Tuhan!). Tubuh yang dalam ‘hukum’ berbasis tubuh-kewajiban hanya pasif saja bahkan sangat bisa disakiti-dikorbankan, sekarang punya kuasa aktif bahkan membela dirinya. Dengan pola ini, Ismail yang dikorban Ibrahim dipertanyakan dengan sangat keras haknya atas tubuh Ismail.

Sekarang, sang manusia-hak sudah sangat (seakan wajar-wajar) mendefinisikan diri, menggerakkan perilaku, dan memandang apa pun termasuk pada Tuhan berdasarkan satu awalan: aku memiliki hak, bukan aku punya kewajiban. Perhatikannya bagaimana sesekali Anda barangkali mendengar orang mengatakan bahwa tubuhnya adalah miliknya sendiri, bukan milik orangtuanya, bukan milik negara, bahkan mulai berani mengatakan bukan milik Tuhan.

Perhatikan kalimat ini: “Ini aurat [tubuh milik] gue bukan urusan lo”—bayangkan kalimat ini diucapkan kepada orangtua, agamawan, guru, atau teman. Dalam kasus ekstrem, kita bisa mengingat perdebatan sengit tentang eutanasia atau bunuh diri. Jika tubuh adalah tubuh-hak, maka siapa pun sewajarnya boleh melakukan eutanasia atau bunuh diri kalau menghendaki. Begitu juga kasus seks komersial di zaman modern. Bahkan, kasus yang sungguh sangat-sangat ekstrem dari tubuh-hak adalah bahwa Tuhan sekali pun tidak boleh alias terlarang menghukum raga manusia di akhirat jika tubuh itu tidak bersalah berdasarkan hukum-berbasis-hak.

Nah, di situlah perdebatan sengit atau perbedaan tajam antara kaum pembela HAM versus kaum pengiman agama-agama (Ibrahimi), seperti yang beberapa waktu lalu muncul dan viral #UninstallFeminism dan #IndonesiaTanpaFeminis (The Jakarta Post, April 1, 2019). Judul berita sungguh langsung tepat: ‘My body is not mine’: Indonesia Without Feminists group starts online campaign. Kampanye ini sayangnya terjadi di Indonesia, bukan di negara otoriter-religius. Para penguasanya, yang selalu sangat berhasrat pada kewajiban tanpa adanya tuntutan hak-hak, sudah pasti akan sangat girang!

Yang sangat perlu dicatat adalah bahwa pelanggar terbesar terhadap tubuh-hak adalah negara (yang berhierarki berdasarkan daya kuasanya atas negara lain): sang monster dingin dengan kuasa absolut. Bahkan agama, yang dahulu menjadi sang penguasa absolut atas tubuh-kewajiban, sekarang dipaksa tunduk di bawah kuasa negara modern terutama saat hendak menghukum atau menghancurkan tubuh manusia.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.