Kamis, Maret 28, 2024

Ilusi 7.000 Triliun Para Pendukung Jokowi

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Sejak beberapa waktu lalu, linimasa Facebook saya diisi oleh “berita” bahwa Presiden Jokowi akan menyita 7.000 triliun milik 84 warga Indonesia yang disimpan di bank-bank di Swiss.

Saya berusaha menelusuri asal-usul berita tersebut. Tidak ada media-media mapan (mainstream) memuat beritanya.

Ada beberapa berita soal rencana pemerintahan Jokowi untuk membuat Mutual Assistance Agreement (MTA) dengan pemerintah Swiss dalam bidang pemberantasan korupsi. Tapi MTA adalah kerjasama antara pemerintah dengan pemerintah. Seperti pemerintah Indonesia, pemerintah Swiss tidak tahu apa-apa tentang nasabah bank-bank di sana. Data perbankan sangat kuat dilindungi oleh kerahasiaan.

Berita soal rencana pemerintah Jokowi untuk menyita uang-uang yang dicurigai hasil korupsi ini sudah beredar sejak 2016. Namun kini santer kembali menjelang Pilpres 2019. Saya kira, “berita” itu didengungkan kembali oleh pendukung Jokowi untuk memperlihatkan komitmen memberantas korupsi.

Namun, benarkah sedemikian mudah untuk merampas hasil kejahatan dan hasil korupsi yang disimpan di bank-bank asing?

Di situlah persoalannya. Bahkan sebelum sampai pada jumlah fantastis 7.000 triliun, saya perlu mempertanyakan jumlah 84 individu pemilik uang itu. Dari mana asalnya? Saya kira, mustahil dari bank-bank Swiss. Dari Indonesia? Bagaimana caranya bisa tahu kalau 84 orang ini punya rekening di bank-bank Swiss? Mereka mengaku begitu saja? Kok penak men!

Pemerintah Indonesia pernah terlibat kejahatan semacam ini. Tahun 1976, tiba-tiba pemerintah diberitahu bahwa ada perebutan kekayaan antara keluarga bekas pejabat Pertamina Haji Achmad Thahir melawan istri mudanya, Kartika, yang dikawininya hanya dua tahun sebelum dia meninggal.

Diketahui bahwa Kartika Thahir hendak menarik simpanan Haji Thahir sebesar US$35,8 juta dari Bank Sumitomo di Singapura. Sebelumnya, Kartika sudah berhasil menarik US$45 juta milik Thahir dari Chase Bank Hongkong dan HSBC cabang Singapura.

Haji Thahir adalah seorang “pejuang”. Dia memulai kariernya sebagai penyelundup komoditas pada masa perang kemerdekaan dan hasilnya untuk membantu perjuangan. Dari sana, perannya mulai meningkat. Dia menjadi asisten Mayjen Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina. Karena statusnya sebagai “pejuang” itulah, Haji Thahir, yang kekayaannya ratusan juta dolar AS pada 1970-an, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Kita tahu, Pertamina adalah perusahan negara yang punya kedudukan politik sangat kuat. Banyak orang bilang, perusahan ini adalah “negara dalam negara”. Jika ada perusahan negara yang menciptakan Orde Baru, maka itu adalah Pertamina. Dia menyediakan dana-dana operasi, baik operasi politik maupun operasi militer. Invasi ke Timor Leste pada 1 Desember 1975, misalnya, tidak dikendalikan dari Mabes ABRI tapi dari Kantor Pusat Pertamina.

Kembali ke Haji Thahir. Dari kedudukannya itu, Thahir mendapat komisi untuk meloloskan banyak proyek, salah satunya dari pembangunan Krakatau Steel. Uang komisinya, yang tentu didapat dengan menaikkan nilai proyek, disimpan di berbagai bank di luar negeri.

Pemerintah Indonesia butuh 15 tahun untuk mendapatkan kembali uang tersebut. Proses ligitasinya sangat panjang, melelahkan, dan menghabiskan jutaan dolar untuk menyewa pengacara-pengacara kaliber dunia. Bahkan Benny Moerdani sempat bolak-balik ke Singapore untuk menekan dan melobi Kartika Thahir supaya menyerahkan uang itu kepada pemerintah Indonesia.

Belajar dari kasus Thahir tersebut, tentu tidak mudah sama sekali mengembalikan uang curian ke satu negara. Sistem perbankan dibuat untuk melindungi nasabah. Komoditas pertama sebuah bank adalah “trust” atau kepercayaan nasabah bahwa uangnya aman berada di bank tersebut. Sistem perbankan di Swiss sangat terkenal menjaga kerahasiaan tersebut.

Masih ingat kasus Tommy Soeharto melawan Financial Intelligence Service (FIS) di Guernsey? Pada tahun 2006, FIS membekukan uang sebesar 36 juta Euro dari Garnet Investments, perusahan milik Tommy. FIS menuduh bahwa uang itu hasil kejahatan. Pada akhirnya, tuduhan FIS itu tidak terbukti dan akhirnya Tommy mendapatkan kembali uangnya.

Tommy Suharto tidak pernah dihukum di Indonesia karena korupsi. Dia dihukum karena melakukan pembunuhan. Di situ pun masih ada keterbatasan. Masih ingat pengadilan memenangkan Tommy melawan majalah penerbangan Garuda? Majalah itu diharuskan membayar Rp12,5 miliar karena menulis bahwa Tommy adalah seorang “convicted murderer” (narapidana pembunuhan). Sekalipun faktanya benar demikian, pengadilan toh menghukum majalah tersebut. Ingat?

Pada umumnya, untuk mengembalikan uang hasil curian dari satu negara itu diperlukan keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa uang itu didapat dari hasil kejahatan. Pelakunya harus dihukum di negara yang bersangkutan.

Kasus Haji Thahir menjadi sangat rumit karena dia tidak pernah dipidana di Indonesia. Dia bahkan adalah pahlawan untuk Republik ini. Sampai sekarang pun tidak ada yang menggugat status pahlawan tersebut.

Jadi, “janji” untuk mengembalikan 7000 triliun ke rekening negara itu sesungguhnya, ya … tidak lebih dari janji. Realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan. Sekali seorang koruptor bisa membawa keluar uangnya, sulit sekali untuk membawanya kembali.

Pemerintah Filipina sampai sekarang tidak bisa mengambil uang yang dicolong rezim Marcos. Bahkan keluarga Marcos bisa kembali jadi politisi dan ikut mengontrol jalannya politik di negaranya.

Juga, para koruptor masa kini tidak seperti zaman Haji Thahir yang mendiamkan uangnya di bank. Koruptor masa kini akan membikin perusahan-perusahan yang dikelola oleh Trust Fund. Uang-uang ini bisa masuk kembali ke dalam negeri sebagai penanaman modal asing.

Tanyakanlah pada mereka yang nama-namanya ada di Panama Papers. Sebagian dari mereka duduk di pemerintahan dan memegang posisi sangat penting. Ada yang menjadi calon wakil presiden. Ada yang jadi menteri. Mereka tahu persis bagaimana perusahan-perusahan yang didaftar di Cayman Island dan sejenisnya itu bekerja.

Seperti ilusi emas batangan di bank-bank Swiss atau kekayaan raja-raja Nusantara, silakan berilusi tentang 7.000 triliun itu.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.