Semoga Saudara Refly Harun dalam keadan sehat akal wal afiat!!
Awalnya saya merasa tidak begitu penting untuk memberi tanggapan akademis terhadap saudara Refly Harun. Kendati dalam waktu-waktu belakangan ini cuit anda dimedia sosial banyak mengganggu predikat intelektual. Bagi yang belum mengenal Refly Harun, tentu banyak pertanyaan, siapa sih dia? Bagi yang sudah mengenal Refly Harun baik secara personal maupun intelektual maka lebih beragam pernyataan. Ada yang mengenal tabiatnya, ada yang pernah mengukur kapasitas intelektualnya bahkan ada yang tau isi dompetnya.
Meski begitu, tulisan ini bukan dalam rangka mengungkap hal-ihwal anda (Refly Harun) yang personal. Sebagaimana anda sering mengumandangkan intelektualitas dan kritisisme dari sebuah pikiran, maka saya masuk pada wilayah yang anda inginkan. Kita pasti berharap ini menjadi sebuah respon yang saling asuh dalam alegori pengetahuan.
Saudara Refly, pertama-tama saya akan mulai dari pernyataan anda yang bias dalam media sosial. Saya kutip mentah-mentah sebagaimana anda mencuitkan dalam akun Twitter pribadi anda. “Intelektual itu kritis pada kekuasaan. Yang kritis pada yang kritis pada kekuasaan itu namanya buzzer atau fans club”, @ReflyHZ (29 April 2020). Dalam pernyataan anda, saya menangkap ada secercah kesombongan yang boleh jadi itu cerminan dari diri anda sendiri.
Yang menjadi soal lain adalah kata “Intelektual itu kritis pada kekuasaan”. Ini yang perlu saya dudukan dari cara anda mendefinisikan intelektual. Bahwa sekonyong-konyong, semua intelektual yang ada dalam pemerintahan bukan lagi intelektual, sebagai mana premis awal anda. Saudara Refly, perlu anda pahami bahwa intelektual itu bukan lah faksionalisme dalam drama kekuasaan. Begitu sempit kesadaran reptil anda, jika mendefinisikan yang intlektual adalah mereka yang harus “bersebrangan” dengan pemerintah. Saya akan ajukan dua distingsi antara intelektual dan kadal untuk menuntun anda pada logika yang benar.
Intelektual itu sebuah lembaga berfikir yang berjalan dengan kepentingan pengetahuan yang dimilikinya. Atas dasar pengetahuan yang dimilikinya maka, diri atau sebuah kelompok memiliki cita-cita perjuangan politis. Karena intelektual itu pada dasarnya begitu menyakini bahwa kekuasaan adalah sebuah instrumen perjuangan yang bisa menjadi fasilitas dari perubahan secara masif dalam waktu yang lebih singkat. Maka, hal yang wajar jika seorang ataupun sekelompok intelektual ingin masuk dalam wilayah kekuasaan. Sebagaimana dalam teori Antonio Gramsci, dipaparkan bahwa ‘intelektual organik’ adalah mereka yang lebih mengutamakan praktek-praktek dari teori ruang kelas untuk agenda perubahan.
Barang pasti, agenda perubahan akan berjalan secara maxim apabila intelektual yang dibekali dengan moralitas tinggi bisa mewujudkan perubahan. Manakala kita jujur, bahwa mimpi masa depan yang baik kerap diciptakan oleh kalangan intelektual (pemilik sekaligus pengguna pengetahuan) atau kekuasaan itu sendiri.
Sedangkan kadal, adalah sebuah jenis hewan reptil yang hidup non-komunal atau soliter. Dimana dia bisa bergerak cepat ketika menghadapi ancaman atau mengejar buruannya. Kalaupun dia melakukan kamufalse sebagai aksi penyelamatan itu hanya bisa dilakukan untuk dirinya sendiri. Dan lagi, kadal punya kebiasaan yang hampir pasti bisa ditemui dalam wilayah tropis Indonesia.
Yakni, sebuah kebiasaan berisik ketika dia lapar, dan senyap dalam keaadaan kenyang. Boleh jadi, batas intusi kadal hanya pada dua wilayah penting; kenyang dan selamat. Betul, memang menjadi kadal lebih sederhana dan mudah ketimbang intelektual.
Saudara Refly, semoga saja dua distingsi ini bisa menjelaskan kekeliruan anda dalam mengartikan sebuah kalimat. Dan semakin meyakinkan anda, bahwa anda juga tidak secerdas yang anda kira, setiap kali anda menatap wajah anda didepan lemari kaca pembalut wanita. Jika saja anda berkenan, saya akan berikan revisi untuk kalimat pertama. Seharusnya anda menuliskan; “Kadal intelektual itu krisis pada semua prihal kekuasaan”. Dari yang sudah salah anda tulis; “Intelektual itu kritis pada kekuasaan”.
Kita beranjak pada kalimat lanjutannya; “Yang kritis pada yang kritis pada kekuasaan itu namanya buzzer atau fans club”. Tidak lelah, disini saya juga perlu memperbaiki anda, saudara Refly. Begini saudara Refly, kritis terhadap siapapun yang memegang kuasa adalah perlu. Tetapi, kritis kepada anda yang mengaku sebagai intelektual juga biasa saja. Dalam kalimat ini, seolah-olah anda ingin melakukan monopoli fungsi dari kritik. Kira-kira pesannya begini; ya bebas dong gue kritik Presiden, kan dia kita bayar dengan uang pajak. Tapi, ngapain sih kalian kritik gue? Dasar buzzer!!
Saudara Refly, berapa kali harus saya ingatkan? Jangan gunakan standar ganda ketika anda melakukan sebuah kritik. Lagi pula, apa betul kritik anda punya tujuan untuk memperbaiki sebuah sistem yang bermasalah. Atau kritik anda justru hanya satu dari gembolan besar yang anda tenteng kemana-mana. Berharap pada satu masa gembolan rongsok itu punya nilai tukar kekuasaan. Ibarat pemulung, kemanapun dia berteduh barang rongsok dalam gerobak loaknya tetap tersusun rapi. Berharap suatu hari ada orang bodoh, yang membeli barang rongsok dengan harga tinggi. Hanya gara-gara dia mengira itu barang antik.
Saudara Refly, paling kurang hal-hal di atas adalah kekeliruan yang dengan telanjang bisa ditemukan dalam setiap pernyataan anda. Saya tidak akan lebih jauh mengorek-orek tumpukan kekeliruan berfikir anda dalam deret angka. Karena tujuan saya bukan untuk menunjukan betapa nyatanya kesalahan anda berfikir. Tetapi saya menuntun anda untuk reflektif atau dalam bahasa yang sederhana menuntun anda agar tahu diri.
Tentu banyak orang bertanya-tanya, kritik yang anda lancarkan apakah sepenuhnya sebagai sebuah perbaikan sistem yang ada? Atau justru ini sebuah drama kekuasaan yang sedang anda mainkan? Saya memang melihat banyak kepentingan berbalut naif kritisisme yang anda lancarkan. Begini, tidak ada yang melarang siapapun yang ketika menjadi bagian dari sebuah pemerintah untuk kritis. Tetapi sebagai orang yang katanya mengerti Hukum Tata Negara, sewajarnya kritik ketika anda menjadi bagian dari pemerintah juga punya tata cara. Paling tidak kritik anda juga perlu ada aturannya secara etika.
Kita akan pakai logika yang sederhana saja, ketika anda menjadi bagian dalam sebuah sistem pemerintahan. Maka sesuatu bantahan atau sanggahan yang anda layangkan pada sebuah kebijakan disebut sebagai otokritik. Lokus dari otokritik adalah perbaikan dari dalam, atau refleksi atas sebuah sistem yang sedang berjalan. Jika lokusnya perbaikan disatu sisi, maka sebaik-baiknya sebuah argumen atau sanggahan terhadap kebijakan pemerintah harus pada porsi dan kapasitasnya.
Di sisi yang lain, jika betul niat anda dalam koridor otokritik adalah perbaikan sistem. Maka gunakanlah fasilitas perbaikan yang tersedia. Anda tidak boleh bicara secara sembarangan diluar koridor fasilitas yang ada. Kritik naif anda itu bisa berdampak pada sebuah legitimasi pemerintahan, dimana anda juga bagian dari situ. Sebagai sebuah potret; karena selama ini anda menikmati gelontoran gaji dari BUMN, selama itu pula tingkah anda kerap melakukan delegitimasi pemerintah yang anda balut dengan istilah klasik “kritik”.
Konsistensi anda sebagai seorang yang mengaku ahli Hukum Tata Negara, justru patut dipertanyakan kembali. Saya akan kembali tuntun anda pada pelajaran dasar Hukum Tata Negara. Ketika anda menjabat sebagai Komisaris Utama sebuah BUMN, maka secara hukum anda diletakan pada kondisi material. Kondisi secara faktual, bahwa setiap bulan anda mendapatkan asupan gaji dari pemerintah. Sedangkan sebagaimana yang seharusnya anda tahu dalam doktrin Hukum Tata Negara; bahwa kaidah Hukum Tata Negara tidak boleh menyimpang atau berlawanan dengan sumber materialnya. Sebenarnya kondisi itu tidak lantas membatasi daya kreatif anda untuk berfikir yang ideal menurut anda. Sah-sah saja, jika anda utarakan utopisme itu sebagai sebuah masukan kepada pemerintah.
Namun lagi-lagi, sebagai seorang yang mengaku sebagai ahli Hukum Tata Negara, sepantasnya anda menggunakan fasilitas otokritik yang telah tersedia dalam sistem pemerintahan itu sendiri. Saya kembali beri penjelasan. Katakanlah anda bukan seorang pejabat berwenang terhadap otoritas kebijakan yang anda kritik. Karena secara formal dan materiil anda adalah seorang Komisaris BUMN.
Memang, anda tidak bisa menggunakan fasilitas kritik itu dengan jalur formal dikebijakan itu. Karena anda bukanlah faktor penentu dalam konteks kebijakan yang anda kritik. Tetapi jika anda bersungguh ingin memperbaiki sebuah sistem, karena kebijakan itu kurang tepat, anda bisa menggunakan jalur lobi informal. Semestinya lobi itu anda lakukan dalam rangka mempengaruhi kebijakan yang mungkin saja menurut anda tidak sesuai.
Meski menggunakan fasilitas jalur lobi/informal adalah hal yang biasa (dengan batasan kode etik profesi) dilakukan para praktisi hukum dalam menyelesaikan perkara. Saya bisa maklum, jika anda gagap dengan menggunakan fasilitas lobi sebagai upaya perbaikan sistem. Begitu banyak orang memaklumi, bagaimana payahnya anda dalam soal meyakinkan pengambil keputusan dengan fasilitas lobi. Selain kemampuan daya persuasif anda yang buruk, bahkan cenderung norak.
Hal lain yang lebih fundamental adalah jam terbang anda dalam hukum beracara yang masih sekelas anak bawang. Boro-boro anda bersanding sekelas Prof. Yusril Izra Mahendra, untuk satu kelas dengan seorang Irman Putra Siddin pun rasanya anda jauh dari kata pantas. Hal ini juga yang membantu menjelaskan pada kita semua, mengapa anda begitu minim dalam persoalan etika jabatan disaat masih menjabat sebagai pegawai BUMN. Saya jadi teringat oleh celetuk Prof. Saldi Isra yang cukup populer dikalangan Mahkamah Konstitusi. Bahwa anda saudara Refly dianggap tidak becus untuk menuturkan CV sebagai Saksi Ahli, bahkan Prof. Saldi meminta anda memperbaiki CV itu.
Masih menurut Prof. Saldi, anda juga tidak cakap dalam menyampaikan keterangan tertulis yang nyata, bukan hanya dengan keterangan verbal. Ada kesan anda seperti pengacara kelas kampung, yang hanya mengandalkan kemapuan bicara atau verbal.
Jika anda membanggakan memiliki sikap yang ‘berlawanan’ dengan pemerintah meski anda tetap menerima gaji buta bulanan, dan anda lebel itu sebagai sebuah kritik. Bagi saya justru itu manipulasi publik. Kenapa? Begini penjelasannya. Publik luas tidak banyak paham bahwa saudara Refly menggantungkan nasib hidupnya sebagai Saksi Ahli.
Saudara Refly, anda boleh saja membanggakan diri sebagai manusia yang independen dalam urusan pemerintahan. Ya, sah-sah saja jika anda citrakan itu bagi mereka yang tidak mengenal isi dompet anda. Tetapi juga tidak sedikit orang seperti saya, yang mengerti darimana kemewahan hidup anda berasal. Tidak ada larangan seorang yang merasa dirinya ahli, bisa hidup foya-foya dan kaya. Ada adagium dikalangan orang yang biasa berurusan dengan MK.
Bahwa keahlian anda sebagai Saksi Ahli kerap diragukan. Tetapi banyak orang yang justru mengakui bahwa anda itu hanya Ahli Bersaksi, dimana pendapat yang anda kemukanan didepan majelis linear dengan pendapatan yang masuk kedalam saldo rekening anda. Dan kita semua tahu, jika saja anda dihadirkan sebagai Saksi Ahli termohon, dimana termohon itu adalah lembaga Negara. Maka secara otomatis ongkos dari pendapatan anda selama bersaksi didapat dari uang pajak masyarakat.
Dalam konteks itu, anda tidak pantas jika membanggakan diri hanya karena berlawanan pada kebijakan pemerintah. Disisi lain, pekerjaan anda sebagai agen Saksi Ahli juga tetap menikmati uang Negara.
Jadi wajar, jika anda mengais nafkah sebagai agen saksi ahli. Karena jika ditinjau dari kacamata akademik formal banyak intelektual yang gamang dengan kapasitas intelektual anda. Masa sih selama lebih dari dua puluh tahun mengaku sebagai intelektual, anda hanya menghasilkan tidak lebih dari lima karya yang betul-betul kontekstual secara fokus dari keilmuan anda.
Ya, mungkin anda menghasilkan lebih dari lima buku, tetapi selebihnya lebih asik berbicara tentang diri anda sendiri yang belum tentu berguna bagi khazanah llmu Hukum Tata Negara.
Kabarnya juga anda pernah mengicip pendidikan formal di Univ. Notre Dame Australia. Tetapi hingga kuliah gratis ini saya susun untuk anda, saya belum menemukan sebuah karya jurnal internasional berbahasa Inggris yang anda tulis. Bahkan saya menghubungi beberapa Kolega di Univ. Notre Dame barangkali jurnal anda pernah tayang di fakultas dimana anda ambil.
Alhasil, pencarian saya pun nihil. Meski begitu saya tetap harus berbaik sangka, barangkali karya tulis internasional anda pernah terbit disebuah jurnal dengan reputasi Internasional seperti Scopus. Begitu saya akses, bahkan meminta bantuan teman-teman doktoral Universitas Indonesia untuk menemukan karya anda, itupun tetap nihil. Begitu fakirnya kah reputasi internasional anda?
Tanpa merendahkan kapasitas anda menulis dalam bahasa Inggris, jangan-jangan sewaktu anda menjalani studi di Univ. Notre Dame anda tidak melakukan submission dari karya akhir anda. Atau ada alasan lain, selama anda menuntut ilmu di Univ. Notre Dame anda hanya mengerjakan tugas paper biasa, tanpa pernah mengerjakan tesis anda.
Lagi-lagi ini masukan, jika memang begitu melaratnya kemampuan menulis bahasa Inggris anda, baiknya sewa saja penerjemah yang bagus. Ongkosnya bervariatif, yang pasti jika anda rela dan ikhlas menyewa seorang penerjemah tidak akan menurunkan standar kemewahan yang selama ini anda nikmati sekaligus pamerkan.
Sebelum saya menutup kuliah gratis ini untuk anda, saudara Refly. Ada baiknya anda tetap berterimakasih kepada saya karena masih ada akal sehat yang mau bersusah payah mengkritisi anda. Sekaligus tulisan ini boleh anda jadikan sebagai salah satu cermin publik, agar anda tidak salah menakar diri anda sendiri.
Sebagai mana sebuah kuliah, tentu basisnya selalu ilmiah. Sebisa mungkin semua teori dan dan basis-basis materiil yang saya ajukan adalah sebuah fakta. Sebagaimana keyakinan dalam ilmu Hukum Tata Negara, bahwa ilmu HTN dalam makna yang spesifik adalah membahas Negara dalam keadaan diam. Yang artinya, kaidah-kaidah kuliah gratis yang saya ajukan pada anda, saya pastikan tidak melenceng atau bertentangan dengan landasan formil dan materiil diri anda. Baik sebagai orang yang mengaku dirinya ahli bersaksi ataupun sebagai kadal intelektual.
Sebagaimana sebuah kuliah, ini adalah ajang uji nalar akademik. Jika saudara Refly tidak berkenan, ada baiknya anda respon dengan sanggahan klarifikasi. Jika tidak ada sanggahan, jangan salahkan saya atau publik jika menerima semua narasi ini sebagai sebuah kebenaran yang otentik.
Salam Akal Sehat!!
Jakarta, 1 Mei 2020
Abi Rekso Panggalih (Warga Negara Biasa)