Ketika bekerja sebagai guru, saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri, seorang siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dibully oleh teman sekelasnya. Celananya dipelorotin di depan umum. Namun yang lebih menyakitkan bukan hanya tindakan itu, melainkan reaksi wali kelas yang berkata, “Itu hanya bercanda.” Bayangkan, satu satunya orang yang bisa dia anggap pelindung terakhir malah berkata demikian.
Bagi saya, semua kejahatan dan bullying pasti diawali dengan kata “hanya bercanda.” Kalimat itu menjadi tameng yang membungkam korban dan membebaskan pelaku. Ia mengaburkan batas antara kekerasan dan lelucon, antara trauma dan tawa palsu. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan kasus tunggal. Di banyak sekolah, bullying masih dianggap hal biasa, bagian dari dinamika remaja, atau bahkan “proses pendewasaan.”
Padahal, Indonesia sudah memiliki regulasi yang cukup jelas. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah tindak pidana. Bahkan Permendikbud No. 18 Tahun 2016 memberi ruang bagi masyarakat untuk melaporkan kasus bullying. Namun, dalam praktiknya, pelaku sering kali tidak tersentuh hukum. Sekolah lebih memilih pendekatan konseling, seolah korban hanya butuh “obat penenang,” bukan keadilan.
Inilah yang saya sebut sebagai penyakit sistemik dalam dunia pendidikan kita: kita sibuk menyembuhkan luka, tapi enggan mencabut duri penyebabnya. Kita memberi konseling pada korban, tapi membiarkan pelaku tetap bebas, bahkan dilindungi oleh sistem yang seharusnya melindungi semua anak.
Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kekerasan dengan dalih “hanya bercanda.” Sudah waktunya sekolah, guru, dan otoritas pendidikan berani menindak pelaku bullying secara tegas, baik melalui sanksi administratif maupun jalur hukum. Karena setiap anak berhak merasa aman di sekolah—bukan hanya yang kuat, tapi juga yang rentan.