Kamis, Maret 28, 2024

Film Captain Fantastic: Menjadi Waras dengan Tinggal di Hutan

Abul Muamar
Abul Muamar
Abul Muamar, penulis dan editor. Aktif dalam advokasi isu-isu pembangunan berkelanjutan.

Captain Fantastic memang telah tayang sejak 2016 dan tak memenangkan penghargaan Oscars, tapi saya pikir film yang memuat banyak kritik sosial ini tetap asyik untuk dibicarakan ramai-ramai.

Film yang ditulis oleh Matt Ross ini bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah dengan enam anaknya yang hidup di hutan belantara selama kurang lebih belasan tahun.

Si ayah, Ben Cash, bersama istrinya, Leslie Cash, konon menepi dari hiruk-pikuk perkotaan di Washington dan memilih tinggal di hutan. Ketidakberterimaan mereka atas kehidupan negara yang fasis-kapitalistis adalah alasan utama. Berbekal barang-barang secukupnya, mereka hendak membangun negeri “Republik Plato”. Mereka ingin menempa anak-anak mereka menjadi filsuf. Sayangnya, si istri bunuh diri setelah mengidap bipolar sejak melahirkan anak pertama.

Sejak awal, film ini mencoba menawarkan apa yang ditempuh Ben dan keluarganya sebagai metode hidup alternatif. Mereka memanfaatkan apa-apa yang ada di hutan untuk makan, membuat pakaian, dan lainnya. Mereka membuat api tanpa korek, berburu rusa tanpa senapan ataupun panah, dan tahu tumbuhan yang baik untuk dimakan atau dijadikan obat.

Ben menerapkan latihan fisik yang ketat kepada semua anaknya. Tidak cuma sekadar berlari dan merunduk dan push-up, tetapi juga latihan panjat tebing. Disiplin itu membuat anak-anaknya memiliki kekuatan fisik setara atlet profesional.

Namun, meski hidup di hutan, tidak berarti anak-anak Ben cuma unggul dalam kekuatan fisik. Mereka (mulai dari Bodevan yang diam-diam mendaftar ke beberapa kampus Ivy League dan diterima, lalu Kielyr, Vespyr, Rellian, Zaja, dan Nai) juga disiplin dalam belajar. Mereka menganggapnya “home-schooling” meski tentu tanpa akreditasi.

Mereka semua membaca buku setiap malam; bukan buku-buku ringan yang selayaknya dibaca anak-anak, tetapi buku-buku berat seperti buku karangan Noam Chomsky, Jared Diamond, Fyodor Dostoevsky, dan penulis-penulis besar lainnya. Setiap beberapa periode sekali, Ben akan menguji pemahaman mereka atas buku yang mereka baca, layaknya ujian di sekolah.

Setiap diuji, anak-anak Ben tidak diperbolehkan memberi jawaban berupa apa yang mereka hafal atau apa yang tertulis di buku, tetapi harus dengan kata-kata mereka sendiri, sebagai bukti bahwa mereka benar-benar paham apa yang telah mereka pelajari. Bahkan mereka tak boleh menggunakan kata-kata abstrak macam interesting (menarik) untuk mendeskripsikan sesuatu. Kata-kata abstrak seperti itu mereka anggap ilegal. Mereka harus bisa menjelaskan sesuatu secara spesifik, dengan penjelasan yang jernih.

Metode pembelajaran seperti ini terbukti jauh lebih baik dibanding sistem pendidikan yang dienyam “anak-anak normal” yang pergi ke sekolah. Ini tampak saat adegan di mana Ben berdebat dengan saudaranya tentang pentingnya sekolah bagi anak, di sela-sela kunjungannya ke kota dalam misi menculik jasad istrinya untuk dikremasi sesuai wasiat. Ben memanggil dua keponakannya yang duduk di bangku SMA dan SMP. Keduanya gagap saat ditanyainya tentang UU HAM.

Lalu, dengan maksud memamerkan keampuhan metode didikannya, Ben memanggil Zaja, anaknya yang masih 8 tahun, untuk menjawab pertanyaan serupa, dan kedua saudaranya itu terkesima menyimak jawaban Zaja meski tetap tak mau menerima “kekalahan”.

Ketika caranya hidup dan mendidik anak di hutan tetap dianggap konyol, Ben justru balik bertanya: “Apakah mengetahui cara mengobati patah tulang dan luka bakar konyol? Mengetahui arah dengan melihat bintang konyol? Mengetahui tanaman yang bisa dimakan dan membuat pakaian dari kulit hewan, bertahan di hutan hanya dengan pisau, konyol?”

Saya pikir, pertanyaan-pertanyaan Ben itu sungguh menohok, sekaligus mengajak kita untuk merenung, bahwa betapa sistem pendidikan yang kita jalankan selama inilah yang justru konyol. Inilah kritik paling keras yang ditujukan kepada sistem pendidikan yang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia.

Jika anak-anak kita perbolehkan jujur, kebanyakan dari mereka justru tak menyenangi sekolah, karena sekolah membuat mereka tertekan. Mereka tertekan dengan keharusan masuk sekolah karena ilusi terstruktur, masif, dan kolektif bahwa dengan bersekolah mereka bisa memperoleh pekerjaan. Kritik yang sama bisa kita temui dalam film-film lain, antara lain dalam Joker (2019) dan 3 Idiots (2009).

Pada dasarnya, cara hidup Ben lebih berupa cara pandang, soal pemikiran. Itu tampak, misalnya, ketika ia tidak malu sedikitpun saat dilihati sepasang lansia dalam keadaan telanjang bulat. “Ini hanya penis. Semua laki-laki punya. Kita semua binatang di bumi ini,” katanya santai.

Ben juga tak menganggap tabu sedikitpun ketika menjelaskan tentang perkosaan dan senggama kepada Zaja. Apakah itu berefek membuat anaknya jadi minus moral? Ternyata tidak, karenna ia juga tak lupa mengajarkan anak-anaknya soal etika.

Salah satu bagian yang paling lucu dalam film ini adalah soal kedisiplinan dalam menjaga kesehatan tubuh. Saking sehatnya, anak-anak Ben sampai terheran-heran saat melihat orang-orang gendut, mereka kira orang-orang itu sakit. Ketika mereka singgah di restoran cepat saji karena lapar, semua menu yang tersedia (antara lain hotdog, burger, pancake, keju panggang, milkshake, cola, dan lainnya) dianggap Ben bukan makanan, melainkan racun.

Tentu saja yang tak kalah menohok adalah kritik terhadap agama. Saat menyampaikan pidato kematian istrinya di gereja, Ben berkata, “Pertama-tama, Leslie mempraktikkan Buddhisme, yang baginya merupakan filosofi dan bukan agama yang terorganisir. Kenyataannya Leslie benci semua konsep agama. Baginya, semua konsep agama adalah dongeng membahayakan yang pernah ada, yang dibuat untuk menciptakan kepatuhan buta dan memberikan ketakutan bagi hati orang yang tak bersalah…”

Kepada Rellian, anaknya yang merajuk dan menganggap konyol kebiasaan merayakan hari kelahiran Noam Chomsky dan berharap keluarganya merayakan Natal seperti keluarga lain pada umumnya, Ben bilang, “Kau lebih ingin merayakan peri magis fiktif daripada hidup orang yang telah memperjuangkan HAM?”

Lantas bagaimana laku spiritual keluarga Ben? Mereka disiplin mempraktikkan Pranayama (semacam latihan pengendalian napas yang mengalir ke dalam asana) dan Samadhi (laku ritual konsentrasi tingkat tinggi yang melampaui kesadaran alam jasmani; terdapat dalam ajaran Hindu, Buddha, Jainisme, Sikhisme, dan yoga). Laku spiritual itu menjaga hati mereka tetap lembut, tidak mudah menyakiti makhluk lain, termasuk hewan buruan.

Jadi bagaimana? Apakah tertarik mencoba jalan hidup seperti keluarga Ben? Saya kira, ketika hidup di tengah masyarakat “normal” sudah demikian tak menyenangkan, tak ada salahnya mencoba. Barangkali dengan tinggal di hutan, kita juga tak bakal tertular wabah. Mari, kita bangun negeri Republik Plato

Abul Muamar
Abul Muamar
Abul Muamar, penulis dan editor. Aktif dalam advokasi isu-isu pembangunan berkelanjutan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.