Perkembangan teknologi informasi tidak dapat dihindarkan dari generasi muda. Kemajuan teknologi membawa sebuah perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran baik budaya, etika dan norma yang ada.
Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar dengan berbagai kultur suku, ras dan agama yang beraneka ragam memiliki banyak sekali potensi perubahan sosial. Dari berbagai kalangan dan usia, hampir semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana guna memperoleh dan menyampaikan informasi ke publik.
Kemajuan teknologi dari 1.0 hingga kini 4.0 bagian dari upaya untuk memudahkan pekerjaan manusia menjadi lebih mudah. Kini, semua pekerjaan yang sulit menjadi mudah untuk dilakukan, bahkan dapat dilakukan dalam tempo yang singkat, efektif dan efisien.
Akan tetapi, kemajuan teknologi tidak menutup kemungkinan memberikan dampak yang negatif bagi generasi muda. Misalnya, generasi muda kita hari ini cenderung berpikir pragmatis dan serba virtual. Terbiasa dimudahkan, dimanjakan oleh teknologi sehingga terbentuk karakter yang tidak siap untuk menghadapi tantangan yang lebih berat atau tidak mau berusaha lebih keras.
Dunia dalam genggaman. Teknologi yang semakin canggih membuat generasi muda jalan di tempat. Sebab kini dunia berada di dalam genggamannya. Cukup diam di tempat, tak usah kemana-mana kita dengan mudahnya bisa transaksi ini dan itu, belajar juga dengan mudahnya akses ke internet, bahkan diskusipun tidak perlu repot-repot bertemu secara langsung dengan tatap muka.
Sedemikian canggihnya tekonologi hari ini, dan ini lah fakta yang tidak bisa kita hindari di era sekarang ini. Mau tidak mau harus kita hadapi, terutama bagi generasi muda.
Apalagi Indonesia akan dihadapkan pada bonus demografi, menurut data Bappenas (2017) pada tahun 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun).
Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Persoalannya dengan kelimpahan jumlah penduduk usia produktif ini mau diapakan dan bagaimana?
Boleh jadi kelimpahan ini menjadi peluang bagi kemajuan bangsa dalam menyongsong era 4.0, tentunya bukan sebagai bangsa konsumtif atas produk luar negara lain, tapi juga mampu menjadi produsen kemajuan teknologi melalui karya anak bangsa melalui startup misalnya. Atau kelimpahan jumlah penduduk usia produktif ini justru malah menjadi ancaman karena ketidaksiapan anak bangsa dalam menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat berubah ini?
Pertanyaan-pertanyaan seputar ini menjadi pekerjaan rumah yang tiada habisnya bagi pemerintah, juga bagi seluruh warga negara Indonesia, khususnya bagi anak muda. Era kemajuan teknologi harus dihadapi, bukan menghindar atau lari, atau bahkan mengurung diri menjadi penonton atas prestasi orang lain. Diam atau bergerak?
Budak
Hadirnya teknologi adalah dalam rangka untuk memudahkan pekerjaan manusia, termasuk dengan munculnya bermacam-macam media sosial adalah dalam rangka untuk memudahkan komunikasi antar sesama. Tadinya kita sangat jauh karena terbentang jarak, kini terasa lebih dekat dan lebih leluasa untuk berkomunikasi kapanpun dan dimanapun.
Rasanya aneh, di tengah arus informasi yang sangat melimpah ini justru kita semakin sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tak jarang dengan banyaknya informasi kita malah menjadi manusia yang bodoh.
Informasi yang berdatangan hilang dan lewat begitu saja tanpa bekas. Informasi dapat dengan cepat kita akses, tapi dengan cepat juga informasi hilang begitu saja. Belum lagi kalau kita termakan isu hoaks yang mudah menyebar di grup-grup media sosial kita dengan sarat kepentingan tertentu.
Fenomena ini sangat aneh, pakar dan buku tidak dijadikan sebagai rujukan utama. Banyak generasi muda kita yang sangat tergantung atau bahkan kecanduan dengan telepon pintarnya dalam mengakses informasi tertentu, utamanya dalam kegiatan pembelajaran.
Tak jarang aktivis di kampus dalam kajiannya sangat bergantung dengan informasi dan teori-teori yang sangat melimpah di mbah gugel. Sebenarnya tidak apa-apa, namun itu bukan rujukan utama. Buku harus menjadi pegangan utama, karena kebenaran isinya dapat dipertanggungjawabkan ketimbang halaman website yang tidak jelas siapa penulisnya. Apakah telepon pintar diciptakan untuk mereka yang bodoh?
Ruang-ruang diskusi dan dialektika semakin sepi, bahkan kegiatan tersebut terlihat aneh bagi aktivis, mahasiswa, dan anak muda sekarang. Entah karena jadwal akademik yang memang padat, atau karena malas-malasan, ataukah memang karena dengan kemajuan teknologi kita bisa dengan mudah diskusi melalui grup? Ngapain repot-repot menyiapkan tempat dan waktu untuk sekadar bertemu dan membahas isu tertentu tanpa ujung.
Hari ini dengan mudah kita dapati banyak grup-grup diskusi di whatsapp kita tentang banyak hal. Dahulu aktivitas tersebut sangat aneh dan jarang kita temui ketimbang diskusi langsung dengan tatap muka. Namun hari ini yang terjadi adalah sebaliknya. Diskusi langsung melalui tatap muka menjadi aktivitas yang terlihat aneh dan cukup sulit untuk kita temui. Kalaupun ada hanya segelintir orang atau kelompok-kelompok tertentu saja.
Rupanya kemajuan teknologi informasi harus dibarengi dengan keadaban digital. Sebab jika tidak, hate speech dan hate spin akan dengan mudah terlontar melalui jari yang kekuataannya melebihi otak kita. Share and share!
Dalam hal ini nampaknya ada ketidaksiapan masyarakat Indonesia dalam menerima kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih. Terbukti dengan beredarnya ratusan ribu situs penyebar hoaks, berita dan informasi hoaks, belum lagi informasi hoaks yang tersebar dari grup ke grup yang sulit sekali dikendalikan.
Kondisi yang demikian memunculkan fenomena aktivis virtual di era 4.0. Ruang-ruang diskusi dan dialektika langsung atau melalui tatap mata terasa sepi. Banyak di anataranya bergeser ke grup-grup whatsapp saja, padahal sedang membahas atau mengkaji isu kekinian yang sangat urgen, masak iya hanya melalui diskusi online dan menimbulkan bias makna antar anggota grup lalu left group karena merasa pendapatnya tidak diakomodir?
Aktivis mahasiswa sulit kita jumpai di ruang-ruang diskusi langsung atau medan aksi di jalanan, namun sangat mudah untuk kita temui di akun media sosialnya. Kondisi ini telah mewabah dan menggejala di tengah-tengah anak muda zaman now. Ciri aktivis virtual adalah lebih suka diskusi online melalui grup whatsapp dan grup line daripada diskusi langsung (bertatap muka), jauh dari tradisi teks (membaca dan menulis), dan hobinya mencomot informasi.
Tidak berarti diskusi melalui whatsapp atau line itu tidak penting. Ia hanya sebatas alat untuk memudahkan saja ketika memang jaraknya benar-benar jauh atau waktunya mendesak. Bukan pilihan utama, apalagi menjadi satu-satunya media pilihan bergerak bagi aktivis untuk menyampaikan aspirasi dan mendialogkan berbagai isu kekinian.