Kamis, April 25, 2024

Emosi dan Ambisi Pengangguran Kritis Usia Pasca-Produktif

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka

Diakui saja bahwa masalah pengangguran adalah sesuatu yang kompleks tapi enggan untuk dibahas secara vulgar. Tak semua pengangguran disebut sebagai orang yang tak bekerja (jobless). Mereka lebih suka dinamai orang part timer, serabutan, atau wiraswasta, meskipun yang terakhir tadi harus nyata ditunjukkan karya ‘wira’-nya.

Data di BPS menunjukkan angka mencengangkan, yaitu sebanyak 140,15 juta warga negara Indonesia masuk kategori Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 1,93 juta orang jika dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 2020. Data ini diserap dari BPS per bulan Agustus 2021.

Bandingannya, penduduk Indonesia yang bekerja jumlahnya mencapai 131,05 juta orang per Agustus 2021, atau naik sebanyak 2,60 juta orang dibandingkan data bulan Agustus 2020. Adapun lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar yaitu pada Sektor Industri Pengolahan (0,65 persen poin).

Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan terbesar yaitu Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (1,43 persen poin) dan sebanyak 77,91 juta orang (59,45 persen) bekerja pada kegiatan informal, turun 1,02 persen poin dibanding Agustus 2020.

Jumlah pekerja maupun pengangguran yang terpampang pada data tersebut, semuanya punya mulut dan perut. Semuanya butuh makan, dan semuanya berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan rumahnya. Entah bagaimana caranya, pokoknya harus makan. Di antara jumlah itu, ada pengangguran usia pascaproduktif. Mereka adalah warga berusia di atas usia normal bekerja di sektor swasta, mungkin usia 55 atau 58 tahun.

Memang, ada beberapa perusahaan yang memberikan pesangon pascabekerja. Tap jumlahnya tentu variatif dan kecepatan menghabiskan pesangonnya pun beragam. Ada yang pesangonnya 100 juta, tapi masih punya kredit rumah atau kendaraan yang belum selesai sehingga butuh dana sisihan untuk menutup itu. Sisanya, katanya sih buat modal usaha.

Jenis usaha yang seperti apa, ada juga sebagian orang yang baru memikirkan setelah mereka purnatugas. Tapi ada juga yang sudah jauh-jauh hari bersiap diri dengan kegiatan setelah pensiun. Di tulisan ini, saya tidak akan membicarakan mereka yang tak punya tanggungan angsuran atau memikirkan usaha lain setelah pensiun. Kelompok ini lebih beruntung, tidak rentan, dan tidak sesensitif kelompok lainnya. Mereka sudah siap secara mental, dan lebih siap dalam menerima berapa pun pesangon atau pensiun yang diberikan oleh perusahaan.

Mereka yang masuk dalam kelompok pascaproduktif yang disebabkan oleh faktor usia maupun kualitas kinerja, perlu ekstra keras memikirkan segala upaya untuk kelanjutan kehidupannya. Singkatnya begini. Sejak dua minggu belakangan ini, saya sengaja belajar menceburkan diri dalam sebuah tim proyek infrastrukur yang dikelola oleh perusahaan swasta. Niat saya memang ingin mengetahui kiprah anggota kelompok ini yang rata-rata sudah berusia 50 tahun ke atas. Bahkan ada yang sudah 62 tahun, pun masih punya tekad (baca: nekat) untuk bekerja di sektor ini.

Tidak salah memang yang mereka lakukan. Toh ini juga namanya bidang usaha, sebuah lapak pekerjaan yang boleh dimasuki siapa pun, asal mereka punya kemampuan dan modal tenaga. Syukur-syukur punya modal dana, itu akan lebih dicari dan didekati oleh teman-temannya. Kalau tak punya modal dana, bersiaplah tersingkir dan tersungkur karena tergerus oleh gengsi.

Tapi ternyata tidak begitu kenyataannya. Ternyata lebih parah dan saya menemukan intrik tersembunyi yang mengagetkan. Namanya saja intrik, pastilah tersembunyi. Untuk menjalankan bisnis ini, mereka mengumpulkan orang yang bekerja secara kolegial. Masing-masing diberi tugas, dan yang menjadikan saya terkejut, ternyata masing-masing juga punya ‘tugas’ untuk mencari keuntungan sendiri – di luar margin yang direncanakan. Bisa diduga akibatnya, yaitu penghasilan utuh bagi kelangsungan kelompok kerja ini akan bocor meluber ke mana-mana.

Saya bisa mengetahui hal ini setelah para mitra menyampaikan informasi bahwa di tiap personil kami yang datang kepada mereka, semua sudah mengaturkan tangan kanannya untuk mendapatkan setiap barang yang disetujui.

Terlepas dari itu, teman kerja saya tiba-tiba mendatangi rumah saya dan menyatakan bahwa saya secara resmi tidak lagi ditunjuk sebagai pengelola keuangan, walaupun pimpinan perusahaan sudah mengeluarkan keputusan untuk hal itu. Ia lebih suka menggunakan jasa isterinya untuk mengelola keuangan, tapi dengan catatan, semua modal yang saya sertakan harus dimasukkan ke rekening bank isterinya. Bodohnya saya, karena tim ini kekurangan modal, saya langsung berinisiatif untuk menjual kendaraan saya satu-satunya yang saya pakai bekerja – untuk diikutsertakan ke dalam modal kerja.

Singkatnya, kendaraan sudah terjual dan uang sudah di tangan. Dalam satu malam saya berpikir, kenapa mereka harus memaksakan diri untuk meminta uang saya, dan dimasukkan ke rekening isterinya. Di pagi berikutnya, iseng-iseng saya mencari tahu kondisi keluarga mereka, dan saya memperoleh penjelasan yang melegakan dari tetangga mereka. Saat ini, sertifikat rumahnya sedang ‘belajar di sekolah’ dan sudah beberapa kali dalam tiga bulan terakhir ini, tamu berdatangan ke rumah mereka untuk menanyakan angsuran yang tertunggak.

Jadi rencananya, uang hasil penjualan kendaraan dan tabungan saya mau disimpan di rekening isterinya, dan jika suatu saat akan ada jatuh tempo pembayaran, mereka bisa bebas melepas uang itu. Urusan bisnis yang tadinya sudah rapi direncanakan, bisa diatasi nantinya setelah mereka mendapatkan untung. Ya kalau untung. Kalau buntung, mereka mau bilang apa?

Itulah kisah yang saya alami di dua minggu ini. Mereka – utamanya sang suami termasuk kelompok pascaproduktif yang memang jobless dan lebih banyak menggampang segala urusan.

Setelah saya ikuti iramanya, ternyata menggampangkan urusan yang ia gemborkan, memang tak ada hasil apapun – yang nyata-nyata memberikan impact pada usaha tim kami. Jadi, sepertinya tahun depan akan bertambah lagi jumlah pengangguran. Celakanya, pengangguran yang ada akan ditambahi oleh mereka yang punya intrik, dan skill utamanya hanya mengoceh tak karuan, tak punya perspektif kerja yang jelas, dan yang pasti – tak punya modal.

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.