Senin, November 4, 2024

Embargo AS Pemicu Kemandirian Medis Iran

Ayu Lestari
Ayu Lestari
Mahasiswi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Redaksi Jurnal ICMES (Indonesia Center for Middle East Studies)
- Advertisement -

Selama 4 dekade, negeri Paman Sam Amerika Serikat (AS) terus berupaya untuk mencegah kemajuan Republik Islam Iran dalam berbagai bidang terutama nuklir dengan cara memberikan sanksi embargo yang cukup berat.

Menurut data resmi, sanksi pertama AS terhadap Iran dijatuhkan pada 22 Mei 1980. Pada tanggal itu, AS memberlakukan sanksi ekonomi besar-besaran terhadap Iran. Kemudian pada tahun 1995, Presiden Bill Clinton memberikan sanksi lebih lanjut yang melarang perusahaan-perusahaan minyak AS melakukan investasi di proyek minyak dan gas Iran, serta menghentikan hubungan perdagangan dengan Iran.

Setelah puluhan tahun, akhirnya sanksi tersebut bisa dihentikan pada 20 Juli 2015 ketika Iran dan enam negara super power (AS, Jerman, Perancis, Cina, Rusia, dan Inggris) menandatangani kesepakatan nuklir JCPOA atau disebut juga Iran Nuclear Agreement yang diperkuat oleh resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB.

Tiba-tiba, tiga tahun berselang, Presiden AS Donald Trump tiba-tiba menyebut JCPOA sebagai kesepakatan yang buruk dan sandiwara yang mengerikan. Trump pun menarik AS untuk keluar dari perjanjian internasional tersebut pada Selasa (8/5/2018) dengan klaim bahwa JCPOA tidak berkontribusi apapun dalam membendung peningkatan nuklir Iran. Bahkan menurutnya Iran lebih leluasa membuat senjata nuklir.

Namun, tudingan dan klaim Trump tersebut terbantahkan oleh pernyataan dari The International Atomic Energy Agency (IAEA) yang intensif memonitor program nuklir Iran. IAEA menyatakan bahwa Iran menaati semua larangan yang terdapat dalam poin-poin JCPOA. Namun Trump tetap menganggap bahwa JCPOA tidak akan berhasil membawa perdamaian. Hal tersebut ia lakukan agar AS menemukan alasan baru untuk mengembalikan sanksi-sanksi embargo terhadap Iran seperti sebelumnya.

Sejak awal, AS berusaha keras untuk melumpuhkan, melemahkan, dan memaksa Iran menyerah dengan menerapkan sanksi-sanksi embargo kepada Iran. Akan tetapi, upaya pelumpuhan tersebut tidak pernah berhasil menjadi kenyataan.

Iran tetap tegar berdiri hingga kini dan berhasil melalui masa-masa sulit akibat embargo AS sampai meraih kemajuan dengan caranya sendiri. Bisa dikatakan bahwa embargo AS justru menjadi pemicu kemandirian dalam meningkatkan kemajuan Iran di berbagai bidang.

Sanksi embargo AS sebenarnya bukan hanya bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi juga bertentangan dengan pengadilan internasional dan HAM karena sanksi embargo telah mengakibatkan banyak korban jiwa. Banyak pasien kanker di Iran meninggal akibat embargo obat-obatan.

Meski demikian, Iran tetap bertahan dengan dukungan dari seluruh rakyatnya. Iran justru meningkatkan kemampuan produksi dalam negerinya. Iran tidak akan tunduk karena sanksi tersebut, justru Iran akan semakin menggebu dalam memajukan negaranya tanpa terikat dengan negara-negara lain untuk impor.

Buktinya, Iran kini sudah berhasil memproduksi obat-obatan sendiri dan suku cadang kendaraan sendiri. Iran bahkan pada awal 2019 kemarin sudah bisa membuat satelit sendiri. Di bidang industri pertahanan, Iran pun sudah berhasil membangun sendiri kapal dan rudal.

- Advertisement -

Kini lembaga-lembaga sains internasional telah mengakui kemajuan cepat Iran di berbagai bidang pasca Revolusi Islam. Iran telah melakukan inovasi di bidang teknologi strategis, termasuk bio-teknologi, teknologi nano, kedokteran, tanaman obat, dan energi terbarukan.

Di bidang medis, kini Iran berada di posisi pertama di Timur Tengah, dan menempati ranking 14 hingga 17 di dunia dalam bidang genetika. Iran telah berhasil membuat alat-alat pendukung kedokteran terbaru. Khusus terapi stem cell, Iran menempati peringkat pertama di Asia Barat.

Pihak kementerian kesehatan Indonesia yang pernah mengunjungi Iran secara langsung tanggal 14 hingga 15 September 2019 lalu, Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek, Sp.M(K), menilai kemajuan teknologi medis Iran cukup pesat karena memiliki sikap tekun dan fokus untuk menjadi negara mandiri.

Dalam kunjungan tersebut, mantan Menkes RI tersebut merasa kagum melihat negara yang selalu menerima sanksi embargo AS mampu membuat teknologi kesehatan yang luar biasa seperti robotic surgery dan stem cell.

Ia pun menceritakan bahwa Iran saat ini sedang mengembangkan riset untuk obat-obatan yang belum bisa diproduksi massal seperti obat kanker. Dan Indonesia ingin bermitra dalam hal ini.

Terkait stem cell atau sel punca, Iran adalah salah satu negara paling maju di dunia dalam bidang terapi stem cell untuk kulit. Operasi dan rekonstruksi kulit dengan stem cell telah berjalan di Iran selama lebih dari 50 tahun. Seiring perkembangan zaman, pusat-pusat layanan terapi kecantikan di Iran semakin meningkat pesat.

Bahkan di Iran terdapat layanan terapi stem cell (sel punca) dan jaringan yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit baru seperti transplantasi organ, penyakit kulit, patah tulang, otoimun, kanker, jantung, penyakit neurologis, diabetes, osteoarthritis, cedera tulang rawan, spinal cord injury, glukoma, luka bakar, hingga kaki diabetik.

Stem cell atau sel punca adalah sel biologis yang menjadi jejak utama DNA. Sel ini dapat meremajakan diri dan menghasilkan lebih banyak sel untuk sumber pembentukan sel baru. Ia bertugas untuk memastikan setiap sel yang rusak diganti dengan sel baru, dengan jenis dan fungsi yang sama. Melalui teknologi transplantasi khusus, stem cell yang telah diambil dimasukkan ke dalam tubuh untuk mengganti sel yang rusak ataupun abnormal.

Selain itu, stem cell di Iran juga bisa digunakan untuk mengobati infertilitas. Gangguan hormon, infeksi, polusi udara, tekanan hidup, dan stres adalah penyebab utama infertilitas. Metode baru terapi cel di Iran mampu mengobatinya. Dan ini adalah kemajuan yang luar biasa di bidang medis.

Sayangnya, salah satu profesor sekaligus ilmuwan di bidang biomedis stem cell di Iran, Prof. Masoud Soleimani, mendapatkan hukuman penjara secara ilegal di AS selama satu tahun. Ia dipenjara tanpa pengadilan yang adil. Ia ditahan oleh FBI ketika datang ke AS untuk memenuhi undangan pusat penelitian Mayo Clinic di Minnesota AS.

Dalam undangan tersebut, ia diminta untuk memimpin program penelitian tentang perawatan pasien stroke di Mayo Clinic, namun ia dituding oleh jaksa penuntut umum AS bahwa telah berusaha mengekspor bahan biologis dari AS ke Iran tanpa izin, yang melanggar sanksi embargo AS. Ia didakwa pada Juni 2018.

Kesehatannya pun memburuk selama penahanan di AS. Tentu ini adalah bukti kepengecutan AS dalam membendung kemajuan Iran, dan bahkan ingin melumpuhkan dan menghancurkan Iran. Tidak hanya melalui sanksi embargo, tetapi juga menahan para ilmuwan Iran yang telah diakui dunia.

Ayu Lestari
Ayu Lestari
Mahasiswi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Redaksi Jurnal ICMES (Indonesia Center for Middle East Studies)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.