Kamis, April 25, 2024

Editor Buku: Dari Eksistensi Menuju Apresiasi

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono
Esais, bertempat tinggal di Bantul.

Safar Banggai menulis tentang ketiadaan standar apresiasi material atas pekerjaan para editor buku, sehingga nasib mereka tak cukup jelas. Saya ingin menambahkan beberapa catatan untuk mendukung sudut pandang Safar, sekaligus secuil ide sebagai tawaran jalan keluar.

***

Sebelum total menjadi penulis, cukup lama saya menjalani profesi editor. Saya pernah menjadi editor bahasa di majalah kampus, menjadi editor buku-buku pelajaran sekolah selama beberapa tahun, menjadi supervisor yang merekrut serta mengontrol pekerjaan para editor yang menjadi anak buah saya, menjadi editor lepas pun pernah, dan dari segala aktivitas itu saya menemukan banyak hal yang menjadi dinamika kehidupan para editor.

Saya ingin memulainya dari gambaran karakter produsen buku dan masyarakat konsumen buku alias para pembaca sendiri.

Dalam konteks ini, paling asyik jika kita membandingkan buku dengan produk kebudayaan berupa film. Di akhir setiap film, selalu ditayangkan deretan nama yang puanjaaang, berisi siapa saja orang yang mengambil peran sekecil apa pun dalam proses kreatif film tersebut. Mulai sutradara, semua aktor yang bermain, produser, penata artistik, penata musik, penata kostum, penata make up, sampai ibaratnya tukang gulung kabel pun ditulis namanya.

Tayangan nama-nama kru tersebut menampakkan satu hal yang barangkali jarang disadari publik penonton: ada pengakuan dan upaya apresiasi atas kerja-kerja perfilman sampai sekecil-kecilnya. Sebuah film adalah sebuah karya yang kompleks, dan di situ terlibat keringat banyak sekali pihak dengan kontribusi peran masing-masing.

Nah, pertanyaannya, apakah perlakuan yang sama diterapkan pula pada produk kerja kebudayaan sekaligus kerja intelektual berupa buku? Ternyata tidak, Sodara.

Coba lihat saja halaman kolofon alias halaman data pada satu buku yang bisa Anda raih sekarang. Di baris paling atas ada nama penulis, lalu editor, lalu penata letak, lalu perancang sampul. Itu saja. Kalaulah ada tambahan, maksimal pemeriksa aksara dan ilustrator. Untuk fase proses cetak tak ada disebut satu pun nama.

Dulu, di pabrik buku tempat saya bekerja, kami menambahkan satu nama lagi yaitu pemimpin penerbitan. Pos tersebut dimunculkan untuk menampilkan siapa penanggung jawab utama proses produksi buku tersebut. Dia bisa disetarakan dengan sutradara untuk sebuah film.

Saya kira, itu langkah yang fair untuk menunjukkan apresiasi sekaligus untuk menegaskan siapa yang harus “dituntut” mula-mula jika terjadi sesuatu atas isi buku tersebut. Malangnya, malah ada yang bilang halaman kolofon buku-buku terbitan kami itu lebay, dan si pemimpin penerbitan numpang ngeksis saja hahaha.

Padahal, kalau dalam film ada sutradara, dalam buku pun pastinya ada. Kalau dalam film ada produser, dalam buku pun seharusnya ada.

Atau, kita ini menganggap buku sebagai produk kreatif yang kastanya jauh di bawah film, sehingga kompleksitas produksi sebuah buku dipandang tidak perlu digambarkan sebagaimana halnya film? Nah, itu yang mesti kita jawab dulu.

Dengan halaman kolofon yang tidak cukup lengkap menampilkan semua stake holder penerbitan buku, tumbuh iklim pengabaian-kolektif atas nama-nama yang berkontribusi dalam buku tersebut. Secara umum, masyarakat pembaca cuma mengingat nama penulis sebuah buku, tidak lebih dari itu. Saya berani bertaruh, tak sampai 10% pembaca peduli pada nama editor buku yang mereka baca.

Pengabaian itu diperkokoh lagi dalam aktivitas resensi. Dalam resensi-resensi film, jamak disebut nama selain sutradara. Kualitas akting para aktor dibahas, kualitas artistik diulas sehingga nama art director muncul, dan sering penata suara pun tampil namanya.

Dalam resensi buku, hampir semua pembahasan hanya berkutat pada penulis dan isi tulisannya. Jika sebuah buku disajikan dalam penataan tuturan yang buruk dan mengandung kesalahan teknis pengetikan di sana-sini, kadang ada juga perensi yang menyinggung kualitas buruk itu, tapi tanpa menyebut nama editornya.

Nah, bayangkan, kalau dalam kondisi negatif (hasil suntingan buruk) saja nama editor tidak disebut, apalagi bila kualitas editing itu bagus. Yang akan dipuji tetap saja penulisnya, bukan editornya!

Ini sungguh tidak fair. Ada banyak buku yang kelezatan isinya benar-benar dipengaruhi oleh tangan dingin editor. Saya mulai menyadari ini sejak masa kuliah, ketika membaca dua buku karya Frans Magniz Suseno. Yang pertama adalah Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Yang kedua berjudul Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme, dari Lenin sampai Tan Malaka.

Saat membaca buku pertama, saya yang masih sangat cupu waktu itu pun merasa buku itu klir sekali, pemaparannya gamblang, dengan bahasa yang gampang dipahami. Maka, saya lanjutkan dengan buku kedua dengan harapan yang persis sama. Malang, ternyata saya rasakan buku kedua itu sulit dipahami, dengan gaya tutur yang kaku dan belibet.

Di situlah saya menduga keras bahwa kunci kesuksesan buku Pemikiran Karl Marx bukan pada Romo Magnis seorang diri, melainkan juga pada tangan editornya.

Sialnya, nama editor itu tidak ditulis pada halaman kolofon kedua buku! Ketika saya periksa, halaman data buku itu hanya menampilkan nama penulis, lalu nama desainer isi yaitu Sukoco, dan nama desainer sampul yakni Suprianto.

Jadi begitulah, boro-boro nama editor buku pertama jadi harum, lha wong ditulis pun tidak. Padahal dia punya peran sepenting dan semenentukan itu dalam menyajikan sebuah buku berat menjadi ciamik.

Dari situ, saya ingin menceritakan gambaran selanjutnya tentang beratnya kerja editor pada banyak kasus.

***

Saya menemukan satu rumus yang saya yakini kebenarannya hingga hari ini, sehingga bahkan rumus itu membuat saya meninggalkan pekerjaan penyuntingan dan enggan kembali kepadanya.

Rumus itu adalah: “Seorang penulis dituntut untuk mencetak angka 10 dengan berangkat dari angka 0. Namun, seringkali tuntutan atas seorang editor adalah mencetak angka 10 bukan dengan berangkat dari angka 0, melainkan dari angka -10.”

Saya jelaskan dulu maksudnya.

Seorang penulis adalah kreator. Ia pencipta karya. Ia berangkat dari ketiadaan karya (atau angka 0) menjadi ada dan berkualitas (atau angka 10). Tak jarang angka yang diraih cuma 7 atau 8. Namun ia tetap disebut penulis, dengan standar apresiasi yang relatif jelas dan lazim. Kalau untuk penulis buku ya royalti 10 persen dari harga jual.

Tetapi, seorang editor beda. Dia bukan seorang pencipta, melainkan penata sajian. Kewajibannya adalah mengolah sajian dengan bahan dasar yang sudah ada, menjadi lezat, enak disantap, dan bernilai 10. Sialnya, bahan dasar sajian itu (baca: tulisan mentah dari sang penulis) kerap sekali bukan bernilai 0, melainkan sangat kacau balau alias nilai -10.

Di situlah, Anda sebagai pembaca tak akan pernah tahu seberapa keras seorang editor mati-matian merapikan sebuah karya tulis. Ketika kualitas penyajian sebuah buku Anda nilai dengan angka 8, belum tentu upaya sang editor adalah 8 pula. Bisa jadi keringat yang ia cucurkan senilai upaya 15 poin, karena kualitas naskah mentah yang ia garap setara dengan skor -7.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa seorang penulis terlalu dimanja. Tidak begitu. Tugas penulis memang bukan penyaji, melainkan pencipta. Nilainya akan dihitung berdasarkan kualitas gagasan atau imajinasi yang ia tulis, bukan kerapian mutlak pada tuturan-tuturan tertulisnya. Tapi saya hanya ingin menunjukkan bahwa di saat kita bisa menilai kualitas gagasan seorang penulis berikut bayangan seberapa keras usahanya untuk itu, situasi yang sama tidak terjadi pada para editor.

Itu baru pengandaian jika naskah yang dikerjakan seorang editor adalah naskah asli berbahasa yang sama, misalnya sama-sama berbahasa Indonesia. Belum lagi jika naskahnya terjemahan.

Dalam kerja penyuntingan naskah terjemahan, bahkan bukan hal yang aneh jika seorang editor merangkap jadi pemeriksa ulang kualitas terjemahan si penerjemah. Kadang ada terjemahan kata yang janggal, ada konteks kalimat yang aneh hasil dari alih bahasa yang kurang maksimal, dan seorang editor terpaksa harus membantu merapikannya juga.

Masih mending kalau dalam struktur sebuah proyek penerbitan ada pos pemeriksa aksara. Itu sedikit mempermudah kerja editor. Sang editor bisa memfokuskan diri pada kerapian dan kelogisan kalimat, menata paragraf yang runtut, menambal bolong-bolong yang merusak alur sebuah naskah, lalu untuk urusan salah ketik kecil-kecil seorang pemeriksa aksara akan turun tangan.

Faktanya, yang lebih sering berjalan adalah tiadanya pos tugas pemeriksa aksara, sehingga editor sekaligus menjalankan fungsi tersebut.

***

Dengan beban-beban kerja seberat sekaligus sekabur itu, lalu jalan tengah apa yang dapat diambil untuk menetapkan standar apresiasi atas kerja para editor?

Dalam pandangan saya, sistem yang paling fair tetap saja royalti. Hak atas persentase royalti merupakan wujud saham atas sebuah buku.

Sementara itu, bagus tidaknya (yang juga akan berpengaruh pada laris tidaknya) sebuah buku secara keseluruhan bukan merupakan hasil kerja penulis sendirian, melainkan kerja sama antara penulis, editor, dan perancang sampul (adapun di kebanyakan buku posisi perancang isi secara umum bersifat sangat teknis).

Meski demikian, penetapan sistem royalti bagi editor secara riil bisa sangat memberatkan penerbit, dan jika dipaksakan bisa-bisa banyak bos penerbit memilih banting setir jualan cilok atau es serut.

Karena itu, saya lebih suka jika para editor berani menetapkan tarif mereka masing-masing. Dengan cara apa? Tentu saja dengan berbekal kredibilitas dan reputasi. Editor junior bisa saja memakai kelaziman misalnya sekian ribu rupiah per halaman kuarto spasi ganda. Editor senior dengan portofolio banyak dan bagus bisa menetapkan tarif dua hingga lima kali lipat. Kenapa tidak?

Syaratnya, biarkan semua editor menata portofolio mereka dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan menuliskan nama mereka secara jelas di halaman kolofon, menegaskan pengakuan atas peran mereka, bahkan bila perlu menuliskan nama mereka di sampul muka.

Cara lain, berikan kesempatan kepada para editor untuk tampil namanya dalam resensi-resensi, bahkan dalam acara-acara promosi buku. Seorang editor adalah orang nomor dua yang paling memahami isi sebuah buku. Jadi, agak aneh ketika sampai sekarang saya sangaaat jarang (atau nyaris tidak pernah) mendengar acara bedah buku yang menghadirkan editor buku terkait sebagai pembahasnya.

Dengan langkah-langkah itu, publik pembaca akan semakin paham bahwa peran editor bukan main-main. Berangkat dari pemahaman publik secara massif, reputasi seorang editor akan terbangun secara lebih meyakinkan, apresiasi sosial akan berdatangan, dan apresiasi material akan menyusul kemudian.

Ini bukan berarti mengandaikan semacam glorifikasi berlebihan pada profesi editor buku. Sebab “pencatatan” reputasi yang lebih rapi sebagaimana saya gambarkan itu tetap akan sejalan dengan kualitas setiap editor sendiri.

Maksud saya, meski amat banyak editor hebat yang tidak diberi apresiasi selayaknya, tak sedikit juga editor buruk perusak karya (ini benar ada!) yang tidak mendapatkan “sanksi sosial” dan “sanksi material” yang semestinya.

Iqbal Aji Daryono
Iqbal Aji Daryono
Esais, bertempat tinggal di Bantul.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.