Saya pikir, menjadi wakil rakyat itu posisi yang sangat sulit. Lebih mudah hidup saya sebagai penulis di media digital. Jauh. Kendatipun dituntut untuk selalu relevan (apa itu up-to-date? Tulisan kami harus up-to-second!) agar karya kami tidak hanya menjadi buih di tengah lautan informasi sembari terus membaca juga meriset, setidaknya efek positif dan negatif pekerjaan kami terukur.
Saat membuat tulisan clickbait demi memenuhi target klik bulanan, pastinya kami akan dirundung masyarakat. Saat target klik bulanan terpenuhi, kami ya tetap digaji, dan target klik kami ditambah. Simpel.
Kalau jadi wakil rakyat? Beda! Sudah bekerja dengan rapat sampai larut pun masyarakat tetap skeptis. Kalau ketahuan bolos, ketiduran, atau bertengkar saat rapat, wah, makin menjadi-jadi amuk publik. Belum lagi saat mengeluarkan pernyataan yang dianggap konyol di media massa.
Kendati demikian, walau dihujani hujatan sana-sini dan seperti tanpa henti, mereka tetap tangguh. Hampir tidak pernah kan kita mendengar berita ada wakil rakyat kita yang mengalami mental breakdown karena dirundung di media sosial? Tabik!
Ini artinya, sebenarnya kita tidak perlu repot-repot membuang energi kita untuk merundung mereka, mengingat wakil rakyat kita sudah punya ketahanan fisik dan mental yang baik.
Makanya, di tengah huru-hara yang ditimbulkan corona jenis baru ini kami kaget sekali saat mengetahui Anda-Anda para anggota DPR RI bersiap mengikuti rapid test Covid-19. Makin kaget karena ternyata tidak hanya 575 anggota DPR yang bakal dites, tetapi juga anggota keluarganya. Diperkirakan, rombongan yang antre di tes ini akan mencapai lebih dari 2.000 orang.
Kami kira dengan adanya Hak Imunitas, kondisi para anggota dewan sudah lebih aman, karena virus corona yang hendak menginfeksi bapak dan ibu harus mendapat rekomendasi dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan persetujuan tertulis dari presiden dulu.
Sejurus setelah membaca berita itu, saya langsung kangen dengan sikap sekelompok anggota DPRD Blora yang terang-terangan menolak dites kesehatannnya di Terminal Padangan sebagai antisipasi penularan Covid-19 sepulang kunjungan kerja dari Lombok belum lama ini. Yang saya kagum, mereka tidak menolak dengan cara yang halus cenderung malu-malu kucing seperti stereotip orang Jawa. Mereka tegas menolak, bahkan sampai menggunakan nada tinggi untuk menunjukkan keseriusannya.
Ketegasan itu mereka tunjukkan lagi dengan enggan datang ke RSUD Cepu – walau sudah sepakat dengan petugas kesehatan. Mereka secara meyakinkan ingin menunjukkan pada petugas bahwa mereka tidak perlu menjalani pemeriksaan karena sudah sehat semua.
Tidak seperti beberapa orang di media sosial, saya yakin ini murni bentuk optimisme anggota DPRD Blora bahwa imun tubuh mereka memang sudah baik. Mereka juga sudah punya cara jitu untuk menangkal serangan covid-19 apabila coba menginfeksi, yakni dengan menanyakan surat tugas resminya.
Suzanne Mettler dalam The Government-Citizen Disconnect (2018) membeberkan fakta bahwa publik makin hari makin muak dengan pemerintah Amerika Serikat. Tahun 70-an, mayoritas warga setempat (sebanyak lebih dari 60 persen) bilang bahwa mereka percaya pemerintahnya melakukan hal yang benar. Namun di tahun 2015, hanya satu dari lima orang Amerika yang punya pendirian semacam itu.
Fenomena serupa secara umum juga terjadi di Indonesia; secara spesifik tentang DPR, angkanya memprihatinkan. Survei dari LSI tahun 2019 membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat Tanah Air terhadap lembaga-lembaga negaranya kompak menurun. Di daftar itu, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR adalah yang paling kecil, yaitu 63,5 persen saja.
Sentimen negatif terhadap DPR juga tampak dalam survei serupa versi Indobarometer di awal tahun 2020. Dengan perolehan 44,8 persen, lagi-lagi DPR ada di posisi terbuncit. Kalau ranking DPR di daftar ini belum cukup membuat Anda kaget, tenang, nomor empatnya pasti akan membuat Anda tercengang!
Tantangan DPR periode ini tidak berhenti di sana. Dalam kondisi tanpa pandemi covid-19, anggota DPR periode 2014-2019 saja hanya bisa menyelesaikan 91 RUU dari target 189. Sebelum serangan virus ini, tugas DPR untuk meningkatkan kepercayaan publik –di samping menjalankan kewajibannya semaksimal mungkin–saja sudah besar, apalagi di tengah pandemi yang ending-nya tidak seperti sinetron Azab yang mudah ditebak ini.
Sementara anggota DPR RI dan keluarganya mengantre untuk rapid test covid-19, kecuali mereka segera sadar bahwa imunitas mereka sebenarnya begitu tinggi, mayoritas masyarakat paling hanya bisa pasrah. Sesekali cengengesan, lah.
Makanya, dengan segala hormat kepada salah satu grup komedi legendaris Indonesia, Warkop DKI, saya sebenarnya tidak terlalu setuju dengan adagium “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang” yang mereka populerkan. Soalnya, makhluk yang namanya manusia itu tidak mungkin bisa dilarang tertawa atau berhumor–meski nyawanya sedang jadi taruhan sekalipun. Makin gawat, terdesak, penuh keputusasaan, justru kita makin ingin melepaskan diri dari situasi itu dengan tertawa atau berhumor.
Pandangan Sigmund Freud, bahwa humor adalah mekanisme pertahanan manusia paling canggih, mungkin cukup menjelaskan alasannya. Buktinya, penyintas Holocaust memakai humor, saat Indonesia krisis ’98 pun malah terbit buku “Mati Ketawa Cara daripada Soeharto”. Terus kalau mau kita cermati lagi, humor dengan tema-tema hukuman mati jumlahnya tidak sedikit.
Salah satu yang saya temui di internet berbunyi seperti ini:
Seorang pemuka agama mendatangi narapidana yang segera akan menjalani hukuman mati dengan berkata: “Di sini, aku perlu memberitahumu sebuah pesan dari Tuhan.”
“Ah, sudah tak perlu lagi Pak,” kata narapidana itu, “Sebentar lagi toh aku kan sudah akan menjumpai Beliau sendiri.”
Sebuah gambaran sederhana tentang kepasrahan sekaligus eskapisme dari keadaan yang menjepit, bukan?
Ada lagi tebak-tebakan menarik lain, tentang kematian.
Mengapa Tuhan menciptakan kematian?
Supaya politisi korup punya masa pensiun.
Ya beginilah yang kami bisa. Sebagai warga biasa, kami cuma bisa menaikkan imun tubuh kami dengan berhumor. Semoga cukup untuk menjaga nyawa kami selama pandemi covid-19.