Kita selalu berpikir bahwa kita hidup untuk bisa “berguna”, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, bahkan untuk negara dan kemanusiaan. Dengan konsep ini, seringkali kita menganggap bahwa kaum disabilitas adalah orang yang “tidak berguna” bahkan merepotkan. Lebih ekstrim lagi, saya telah bertemu dengan lebih dari satu orang yang menganggap bahwa mereka memiliki anak dengan disabilitas karena mereka …. dikutuk oleh Allah!
Apakah kita sudah sadar bahwa segala hambatan dan halangan yang dihadapi kaum disabilitas untuk menjadi “berguna” bukanlah tanggungjawab (bahkan kesalahan) mereka, melainkan masyarakat sekelilingnya? Kaum disabilitas tidak salah, mereka tidak memilih untuk dilahirkan dengan disabilitas. Kalaupun ada orangtua yang menganggap bahwa itu hukuman Allah karena kesalahan mereka, kenapa anak mereka yang lahir dengan disabilitas?
Jika kita pikir lebih jauh, kita semua memiliki disabilitas. Pernahkah anda menginginkan untuk punya sayap? Atau punya insang atau paru-paru seperti ikan paus yang bisa bertahan lama di air? Berarti, dibandingkan burung atau ikan, kita semua kekurangan, bukan? Saya sebagai komponis, seringkali mendapatkan bunyi musik untuk piano di benak saya, yang ketika dianalisa dan ditulis di atas kertas ternyata membutuhkan lebih dari 10 jari untuk memainkannya. Nah, jika berpikir seperti ini, kita jadi sadar bahwa kita semua punya kekurangan. Dulu kaum tunanetra tidak bisa membaca, dan solusi huruf Braille serta saat ini dengan aplikasi yang dapat mengubah teks menjadi suara menghilangkan “dis” dari “disabilitas” mereka dalam membaca.
Jika seseorang hanya memiliki satu tangan tapi ia ingin belajar main piano, solusinya bukanlah menumbuhkan satu tangan lagi (paling tidak saat ini, dimana teknologi masih belum memungkinkan), tapi membuat musik piano yang dapat dimainkan hanya dengan satu tangan tanpa menurunkan kualitas musik itu. Sang komponis harus bisa beradaptasi dengan medium yang ada, dan ini bukannya mengurangi kualitas artistiknya. Ini masalah ketrampilan dan teknik sang komponis menuliskan ide dan konsep musikal menjadi sesuatu yang bisa dieksekusi. Kita harus fokus kepada apa yang kita miliki, bukan yang kita tidak miliki. Setiap ruang publik harusnya memberi akses kepada mereka yang berkursi roda atau tunanetra untuk bisa memasuki wilayahnya. Intinya, bukan individu yang memiliki disabilitas, tapi masyarakat yang membuatnya menjadi seorang dengan disabilitas.
Dengan “mengkonfirmasi” para disabilitas dengan tidak menyediakan akses supaya mereka bisa berfungsi dan berguna, otomatis kita merendahkan mereka. Mereka pun akan merasa rendah diri, dan akhirnya mengkonfirmasi diri sendiri untuk tidak berkontribusi ke masyarakat. Lingkaran setan inilah yang harus kita hindari, dan harusnya di era 4.0 ini kaum disabilitas sudah memiliki akses ke semua bidang. Dan saya harus mengakui, untuk seni (khususnya musik), akses ini masih sangat ketinggalan.
Musik masih terlalu diyakini sebagai bidang yang hanya bisa dimainkan dengan 2 tangan, 10 jari bahkan kaki yang lengkap (ingat, bahwa seorang pianis juga membutuhkan kaki untuk mengatur pedal). Itu sebabnya sebuah yayasan di Spanyol (Fundacion Musica Abierta) beberapa tahun lalu mengundang 10 komponis dari berbagai negara, termasuk saya, untuk bekerja sama dan menulis musik untuk anak-anak yang berkebutuhan fisik khusus, seperti hanya memiliki satu tangan, atau beberapa jari dsb. Kami dituntut membuat musik yang bernilai tinggi secara artistik dan tidak menggunakan disabilitas sebagai alasan “tentu saja bunyinya tidak sebagus kalau dimainkan dua tangan” dan berbagai alasan lainnya.
Bicara soal disabilitas fisik tanpa disabilitas mental serasa tidak lengkap. Disabilitas mental lebih “tidak kelihatan” (buktinya, banyak yang tidak tahu –dan saya tidak berkoar-koar juga sih– bahwa saya pengidap Asperger’s Syndrome).
Tapi, saya memiliki kepercayaan kuat bahwa jika seseorang menjadi seniman itu karena kami memang punya disabilitas mental. Jangan marah dulu …. ini penjelasan saya.
Saya menganggap bahwa seni adalah muntahan atau kotoran yang kami, para seniman, keluarkan. Ya, memang menjijikkan sih. Karya seni itu sesuatu di dalam diri kami yang harus dikeluarkan. Jika tidak, itu akan menjelma jadi racun. Oleh karena itulah kami kerap tidak tahan mendengar musik kami sendiri atau melihat lukisan yang kami buat.
Karya seni lahir dari hasil olahan dari apa yang kita “makan” dari luar dan “dicerna” oleh rasa sakit, kesepian, penderitaan atau trauma masa lalu. Oleh karena itulah cukup banyak orang yang bingung kenapa seniman itu orang-orang yang kompleks bahkan “aneh”. Ini terjadi karena hanya dengan cara inilah kami mendapatkan keseimbangan bagi diri kami, mengeluarkannya dalam bentuk karya seni. Ini jelas beda dengan ‘orang-orang normal’ yang bisa bahagia tanpa menciptakan karya seni.
Saya harap ada lebih banyak orang yang memahami hal ini: Menciptakan seni tidak serta-merta berarti bahwa seniman itu ‘punya waktu dan merasa seneng aja gitu saat melakukannya,’ bukan…Bukan begitu. Menghasilkan karya seni sangat berbeda dari iseng-iseng main puzzle atau mengisi teka-teki silang.
Dan, kadang-kadang, mengeluarkan karya seni dari dalam tubuh kami tidaklah cukup. Itu sebabnya cukup banyak seniman yang memiliki masalah kejiwaan jika dia berhenti berkarya. Seringkali pendapat umum terbalik: karena dia seniman, dia jadi mengidap disabilitas mental. Padahal kenyataannya, seseorang menjadi seniman (yang seringkali mumpuni) karena dia mengidap disabilitas mental. Ini seperti mutiara dalam kerang, yang terbentuk justru karena adanya pasir / kerikil yang menyakiti kerang itu dan si kerang harus mentransformasinya menjadi mutiara. Berkesenian adalah kebutuhan, dan mengambil hak berkesenian adalah suatu kejahatan.
Saya percaya bahwa saat kami dikaruniai dengan kreativitas, sesungguhnya ada sesuatu yang diambil dari kami. Ini adalah cara alam (atau Tuhan) untuk menciptakan keseimbangan. Oleh karena itulah saya rasa semestinya Anda merasa bahagia kalau tidak punya kebutuhan untuk berkesenian karena itu pertanda bahwa Anda sudah seimbang secara mental.
Kebalikannya juga ada, yaitu masih banyak “penikmat seni” yang lebih tertarik ke proses pembuatan karya seni, bukan hasil akhir. Melukis menggunakan mulut, atau bermain piano dengan satu tangan atau oleh pianis yang tunanetra misalnya, lebih “mencengangkan” daripada kualitas artistik karya itu sendiri. Harusnya, disabilitas bukan bagian dari nilai artistik karya itu. Ini seringkali juga kesalahan kaum disabilitas yang menggunakan “keistimewaannya” dengan menunjukkannya saat ia mempersembahkan karyanya ke masyarakat. Ini tentu karena juga masih banyak orang yang menghargai karya seni ini karena disabilitas senimannya, bukan karena karya itu sendiri yang kualitasnya kadang-kadang tidak seberapa tinggi.
Pada akhirnya, disabilitas bukanlah mereka yang autis, tunanetra atau tidak memiliki jari yang cukup untuk bermain instrumen musik. Disabilitas adalah menyerah pada keadaan dan tidak bisa melihat serta mensyukuri apa yang kita miliki dan menggunakannya. Mengerti dan mencintai kaum disabilitas berarti mencintai diri kita sendiri, karena (dis-)abilitas tergantung dari cara pandang kita terhadap hidup ini. Pada akhirnya kita (tidak bisa) meraih cita-cita bukan dengan apa yang kita (tidak) miliki, tapi apa yang kita (tidak) berani lakukan, termasuk apa yang belum dicapai oleh siapapun. Seperti kata-kata pembukaan Star Trek : to boldly go where no man has gone before.