Kamis, April 25, 2024

Didi Kempot, Sisifus, dan Hati yang Pupus

Dan McCafferty, bersama Nazareth boleh saja terlebih dulu menyanyikan patah hati dengan “love hurts”-nya. Band asal Skotlandia yang berdiri tahun 1968 tersebut, sekilas seperti layaknya Deep Purple atau mungkin Black Sabbath dari penampilan personilnya. Sebelum kemudian mereka merengek;

“Love hurts, love scars, love wounds, and marks, any heart..”

Nazareth seperti sekumpulan rocker yang merayakan patah hati, bahkan “love hurts” adalah lagu patah hati yang sepertinya populer dari awal mereka nyanyikan di penghujung tahun 60-an, sampai sekarang.

Lengkingan vokal yang tinggi menyuarakan kesakitan hati akibat sayatan asmara juga disuarakan Amy Search di akhir 1980-an, penyanyi asal Malaysia dengan rambut ikal sebahu seperti rambut Dan McCaffey tersebut juga melengking saat menyanyikan “Hilang dalam Terang”, atau yang populer “Isabella” ketika menceritakan kisah cinta yang kandas perihal dunia yang berbeda. Terserah apa makna dunia di situ dimaknai, perihal adat yang berbeda dan cinta yang gugur kemudian, menjadi bagian lirik Isabella yang sangat populer di Indonesia pada masanya.

Tahun 1990-an, dari kota Solo, Didi Prasetyo menciptakan lagu “Stasiun Balapan”. Bercerita tentang mengantarkan kekasih di sebuah stasiun, dan setelah kepergian si kekasih, lantas tak ada kabar lagi setelah dinanti. Dengan nama panggung Didi Kempot, campur sarian dengan lirik bahasa Jawa kemudian menjadi penyuara juga tentang patah hati.

Kempot, bukan bermakna pipi yang cekung. Tapi singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar. Habitat di mana Didi berasal. Didi berangkat dari pengamen jalanan, dari 1984 hingga 1985 Didi ngamen di kota kelahirannya, Solo. Lantas tahun 1987 sampai 1989 dia mencoba mengadu peruntungan di Jakarta. Dari tahun itu sampai awal tahun 1990-an, Didi dengan teman-temannya kadang mengamen di Slipi, Palmerah, terkadang di Cakung atau di daerah Senen.

Jika ada kemiripan dari Dan McCafferty, Amy Search, dan Didi Kempot adalah rambut gondrong ikal mereka yang tersibak saat melantunkan kepingan-kepingan kenangan dan hati yang tersayat. Namun yang tidak dimiliki Dan McCafferty dan Amy Search adalah penjiwaan dari kesakit hatian tersebut.

Bagi Didi, sakit hati tidak berhenti hanya di lagu, mulut berucap kepedihan, tapi badan, kepala, dan anggota badan mereka yang mendengarkannya setidaknya bisa ikut bergoyang. Agus Mulyadi, salah satu fans “godfather of broken heart”(sebutan penghormatan untuk Didi Kempot) itu mengatakan;

“Didi Kempot membuktikan patah hati bisa menjadi hal yang menggembirakan. Menjadi hal yang tak perlu ditangisi, tapi justru harus dijogeti”

Satu lagi ciri khas dari Didi Kempot adalah patah hatinya membumi, pijakannya jelas. Dia tidak patah hati dengan lirik yang mengawang. Patah hatinya seperti berseri di tempat-tempat yang jamak sebagai transit sarana transportasi umum, seperti terminal, stasiun, pelabuhan, atau juga tempat wisata. Didi, seolah-olah ingin menyebar benih kenangan di tiap sudut-sudut kota tersebut.

Didi Kempot melalui lagu-lagunya adalah tentang pembelajaran terus bangkit, dan bangkit lagi, saat disakiti dan ditinggal pergi. Jatuh cinta dan patah hati seolah sudah menjadi hobi.

Dari “Stasiun Balapan” tentang mengantar pujaan hati yang pergi, dan tak ada kabar kembali. Tidak ada konfirmasi apakah sakit hatinya Didi Kempot sudah sembuh atau belum, dirinya kemudian juga diberi harapan palsu yang terekam dalam “Tanjung Mas Ninggal Janji”.

Sudah cukup? Belum ternyata, dirinya kembali dicabik-cabik hatinya ditinggal di “Terminal Tirtonadi”, dari akumulasi perih tersebut terciptalah “Sewu Kutho” saat dirinya menyambangi seribu kota mencari dimana kekasih hati. Tidak tahu dia mencari Sri, Tatik, atau Suprapti, nama-nama perempuan yang ada di beberapa karyanya.

Setelah ketemu, mungkin Didi kempot bisa tersenyum bahagia, tapi sayang itu tidak lama, ternyata dirinya ditinggal “Minggat” oleh Sri. Apakah Sri adalah dia yang ada di Terminal Tirtonadi, Pelabuhan Tanjung Mas, dan di Stasiun Balapan yang berulang kali meninggalkan Didi Kempot?

Saya tidak tahu, setahu saya, Sri dalam lagu “Minggat” kisahnya lebih tragis dibanding beberapa kisah lainnya yang terdokumentasi dalam beberapa lagu-lagunya. Saat dalam beberapa kisah, dirinya masih bisa mengantarkan pergi, tapi dalam “Minggat”-nya Sri, sakit tadi bertambah lagi, karena Sri tidak memberitahu untuk pergi, padahal alasannya hanya sebentar membeli terasi.

Tak usahlah lagu “Minggat” ini dimaknai dengan ambigu, dilihat dalam perspektif gender, saat Sri hanya diidentikkan dengan “hanya membeli terasi” tetapi juga patut dilihat, sisi lain Sri yang juga mandiri, karena dirinya berani untuk bersikap, pergi, minggat.

Seperti juga malam itu (23/7) di jalan Raden Saleh no 9, Jakarta Pusat. Beberapa anak muda, puluhan mungkin ratusan, berkerumun di depan pintu masuk kantor DPP kantor Partai Kebangkitan Bangsa.

Beberapa dari mereka memakai kaos band seperti Seringai, Barasuara, AC/DC, yang lain tampak dengan setelan kemeja rapi seperti tampak pulang bekerja.

Di kanan kiri jalan kantor tersebut sampai radius puluhan meter arah jalan Cikini, tampak umbul-umbul dengan gambar si ketua umum partai tersenyum.

Saya yakin anak-anak muda tadi bukan berniat betul menghadiri acara formal harlah ke 21, partai itu. Untuk bisa memasuki area panggung di pelataran kantor tersebut, setidaknya harus mempunyai undangan, yang berkepentingan, atau kalau bukan dari media yang akan meliput.

Mengingat acara tersebut akan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan beberapa tamu penting lain.

Pukul 20.00, jalan Raden Saleh tampak padat, orang-orang semakin banyak berkerumun di lokasi itu. Kondisi jalan nyaris tidak bisa dilalui kendaraan roda dua ataupun roda empat.

Polisi, Banser, dan puluhan laki-laki tegap berseragam safarai tampak sibuk mengamankan akses pintu masuk.

Selepas pukul 20.25, dan setelah orang-orang penting bergantian memberikan sambutan. Entah siapa yang mengkomando, tiba-tiba yel-yel cendol dawet bergemuruh, suasana semakin menghangat, orang-orang semakin berdesakan.

Ratusan orang atau lebih tadi, tiba-tiba melanjutkan menyanyikan lagu prau layar. Mereka seperti tidak sabar dengan penampilan Didi Kempot, malam semakin merambat sementara besok segera kembali bekerja. Lirik;

“prayogane becik bali wae, dene sesuk-esuk tumandang nyambut gawe”

Seperti menjadi representatif.

Sebelum kemudian Jusuf Kalla meninggalkan lokasi acara, dan pembawa acara memberikan informasi acara ditutup dengan penampilan Didi Kempot.

Orang-orang merangsek masuk, ruangan yang mungkin daya tampung di dalamnya tidak sampai kapasitas 200-an kursi.

Penjaga tampak kewalahan, gapura screening tidak berarti. Puncaknya saat Didi tampil di panggung dan mengucap salam, teriakan histeris menggema.

Saya dengan posisi puluhan meter dari panggung, hanya bisa menyaksikan Didi Kempot dengan samar-samar memakai baju batik warna hijau melambaikan tangan.

Beberapa lagu yang dibawakan; Suket Teki, Banyu Langit, Cidro, Sewu Kutho, Jambu Alas, Kalung Emas.

Malam itu, Didi Kempot seperti ingin menampar, mengingatkan bahwa patah hati juga patut dirayakan, atau setidaknya diziarahi. Hal yang dulu membuat menangis, siapa tahu hari ini bisa ditertawakan. Atau jika ada yang masih menangis, setidaknya mereka merasa tidak sendirian.

Didi Kempot bukan motivator, tapi mungkin dia salah satu yang berjasa meyakinkan mereka yang patah hati untuk tidak usah malu mengakui.

Saat beberapa dari mereka meresap lirik-lirik patah hatinya, Didi berseloroh;

“penakke”

Dan semua tampak berjamaah merapikan kenangan yang terserak, ada yang jebol dengan menangis. Ada yang mungkin sudah melaluinya hanya tertawa sembari berjoget.

Syair-syair Didi Kempot, seperti sebuah pembelajaran absurditas hidup. Bagaimana tidak, patah hati yang terus berulang dengan fragmen tambahan semisal di lirik Cidro, Kalung Emas, atau Suket Teki yang membuat dirinya berada di titik sakit yang teramat dalam. Lantas, dari sekian ratus lagu ciptaannya, Didi seolah tidak akan putus asa, sekarang atau besok mungkin dia akan menyanyi lagu patah hati dengan lanskap tempat yang berbeda lagi.

Didi Kempot, seolah-olah mengingatkan kita dengan Sisifus, salah satu esai Albert Camus yang terbit pada tahun 1942 itu. Dalam mitologi Yunani, Sisifus adalah putra raja Aeolus. Aeolus memerintah wilayah Thessaly dan Enarete serta mendirikan Ephyra yang juga dikenal sebagai Korintus. Sisifus dihukum para Dewa mendorong sebuah batu ke puncak gunung, dan setelah tiba di puncak, batu terguling lagi ke bawah. Begitu seterusnya, dan Sisifus harus selalu mengulangi lagi mendorong batu ke puncak gunung. Albert Camus lantas menutup kisah Sisifus tersebut seperti dengan senyuman;

“Perjuangan menuju ke puncak itu sendiri, sudah cukup mengisi hati manusia. Orang harus membayangkan Sisifus bahagia”

Albert Camus seperti mengajak saat kepungan absurditas merangsek, setidaknya manusia dapat menciptakan makna dalam kehidupan mereka sendiri, sehingga hidup menjadi berharga dan layak untuk diperjuangkan.

Patah hati yang terus berulang melanda sadboys dan sadgirls (sebutan untuk fans Didi Kempot) adalah jalan hidup yang sepertinya akan berulang layaknya Sisifus mengangkat batu ke puncak gunung dan jatuh lagi. Tapi, mereka seperti tidak gentar menghadapinya. Sepanjang lagu-lagu Didi Kempot menemani, dengan mata sembab seolah mereka akan berkata;

“ayo, terus sakiti aku lagi, terus..”

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.