Selasa, Oktober 8, 2024

Data dan Bagaimana Tempurung Kepala Kita Memprosesnya

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Laporan dari Reuters ini dan laporan-laporan dari New York Times yang saya baca beberapa saat setelah bencana di Palu sungguh membuat saya berpikir. Bukan soal jurnalisme. Jelas, kedua media adalah jajaran papan atas dunia.

Lihatlah laporan Reuters yang saya tautkan ini. Infografis-nya lengkap. Ada perbandingan foto-foto daerah sebelum dan sesudah bencana. Ada simulasi grafis tentang bagaimana gempa dan tsunami itu terjadi.

Semuanya ditujukan untuk memudahkan pembacanya mencerna. Walaupun saya tidak tahu berapa banyak pembaca media-media ini di Indonesia. Mungkin ketidakmampuan berbahasa Inggris juga menjadi dalih.

Namun, kawan yang membagi informasi ini, sekali pun bisa berbahasa Inggris, masih merasa perlu menambahkan kata-kata “maaf informasinya dari luar.” Saya menjadi mengerti bahwa segala sesuatu yang dari luar itu selalu dianggap ancaman.

Soalnya adalah: Apakah kita bisa benar-benar lepas dari luar dan hidup hanya dalam tempurung kita sendiri?

Cobalah lihat sumber-sumber yang dipakai oleh Reuters untuk membuat laporannya ini:

Sources: Copernicus; Planet Labs; Indonesian Agency for Meteorology, Climatology and Geophysics (BMKG); United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA); Austin Elliott, Centre for Observation and Modelling of Earthquakes, Volcanoes and Tectonics (COMET), University of Oxford; Pacific Northwest Seismic Network; Open Street Map; Reuters

Apa artinya ini?

Untuk saya, ini berarti ketersediaan data yang bisa diakses oleh siapapun. Dan dan informasi itu tidak lagi rahasia. Data itu terbuka. Semuanya itu tersedia kalau mau mencari. Palu dan wilayah sekitarnya itu boleh terpencil. Namun ada foto satelit yang bisa secara detail bicara apa saja. Ada Google Map dan Open Street Map yang bisa mengidentifikasi lokasi manapun di muka bumi ini.

Apa lagi yang bisa disembunyikan? Persoalan ini membawa dimensi baru pada apa yang namanya pertahanan nasional. Kalau pemerintah melarang LSM-LSM dari luar bekerja di Palu dengan alasan perijinan, apa yang sebenarnya dikawatirkan? LSM-LSM tersebut akan memata-matai Indonesia?

Dengan informasi intelijen yang tersedia dimana-mana, Indonesia itu seperti berada di cawan petri di bawah mikroskop. Pemerintah bisa menyembunyikan ketidakberesannya dalam menangani bencana. Namun, itu tidak akan berlangsung lama. Tanpa perlu ke Indonesia, para pencari informasi akan tahu berapa jumlah tenda pengungsi di Palu. Berapa jumlah rumah sudah dibangun. Berapa panjang jalan yang sudah diperbaiki. Bagaimana listrik dan mungkin juga aliran air bersih.

Dua tahun lalu, LSM Human Rights Watch mendata pembakaran dan perusakan rumah-rumah orang Rohingya di Burma (Myanmar). Mereka tidak perlu datang ke lokasi. Karena mereka pun tidak diijinkan dan tidak akan diijinkan. Tapi mereka punya foto satelit. Mereka bisa menentukan lokasi dan mendata. Beayanya pun tidak lebih mahal daripada menurunkan orang ke lapangan dan mendata satu per satu.

Dengan data itu, mereka bisa menarik kesimpulan yang sahih secara metodologis dan legal: bahwa sudah terjadi genocide terhadap bangsa Rohingya.

Tidak ada yang bisa disembunyikan pada jaman digital sekarang ini. Dan, inilah revolusi industri kedua yang tidak bisa dihindarkan datangnya.

Perkembangan ini membuat saya bertanya-tanya. Apa artinya pertahanan nasional? Apa artinya nasionalisme? Bagaimana sebuah negara bertahan dari gempuran negara lain jika tidak ada lagi yang bisa disembunyikan?

Jaman ini adalah jaman data. Mereka yang berkuasa adalah mereka yang memiliki data. Semboyan “Di Laut Kita Jaya” (Jalasveva Jayamahe); di darat kita kuasa, di udara kita menang … semuanya itu sudah obsolete, kuno, dan tidak operational lagi.

Di data dan informasi kita jaya! Itu semboyan jaman sekarang. Sayangnya, kita mengabaikan itu. Sama seperti kita mengabaikan pelampung apung (buoy) pemberi peringatan Tsunami. Kita sibuk membangun jalan tol. Lupa pada pelampung-pelampung itu.

Bahkan data pahala (kabarnya) Anda dikumpulkan dan dihitung nanti sesudah mati, bukan?

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.